Mengejar Pajak Hingga ke Lubang Jarum


Oleh: Deasy Yuliandasari, SE
Mompreneur

Pemerintah melakukan terobosan baru dalam perpajakan  yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah berdalih bahwa UU HPP dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, serta mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Kemudian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, perluasan basis perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela WP.

Salah satu isi UU HPP adalah  menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April tahun 2022 mendatang. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, tarif PPN akan kembali naik mencapai 12 persen pada tahun 2025, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. 
Selain menaikkan tarif, pemerintah batal mengenakan PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Barang-barang yang tak dikenakan tarif PPN yakni barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.

Terobosan  kedua dari UU HPP yang bertujuan mewujudkan sistem administrasi perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberikan kepastian hukum, maka pemerintah menggunakan NIK KTP sebagai pengganti NPWP  yang akan memudahkan wajib pajak untuk menjalankan kewajiban pajak mereka.
Meski demikian penjelasan Mentri Hukun dan HAM  Yasonna Laoly, penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh, namun tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak. 

Syarat WNI yang wajib membayar PPh adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun.

Pajak sendiri merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Menurut UU No 28 tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara  yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Macam-macam Pajak: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang. 

Lantas bagaimanakah pengertian pajak dalam perekonomian Islam? 

Dalam sistem ekonomi Islam tidak dikenal pajak, sumber penerimaan negara yang mirip dengan pajak dikenal dengan nama dharibah  yang artinya adalah beban. Dharibah disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban.

Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara (Gusfahmi.2007).

Adapun perbedaan dharibah dengan pajak adalah sebagai berikut :

1.Dharibah bersifat temporer, tidak besifat continue,  hanya boleh dipungut ketika baitul mal (kas negara) tidak ada uang atau harta yang mencukupi untuk membiayai keperluan negara. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban dharibah bisa dihapuskan.  
Sedangkan pajak dalam perspektif non-syariah adalah selamanya (abadi).

2.Dharibah hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah anggaran yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.

Sedangkan pajak ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.

3.Dharibah hanya diambil dari kaum muslimin, tidak dari kaum non muslim.
Sedangkan pajak  tidak membedakan agama dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi

4.Dharibah hanya dipungut dari kaum muslimin yang kaya, tidak pungut dari selainnya. Sedangkan pajak kadangkala juga dipungut dari orang yang miskin seperti pajak bumi dan bangunan (PBB)

5.Dharibah dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan, sedangkan pajak tidak dapat dihapus karena merupakan sumber utama pendapatan negara.

Pendapat Ulama tentang Pajak

Membahas masalah pajak yang diterapkan dalam perekonomian non syariah saat ini di negara-negara kapitalis dan sekuler, maka banyak para ulama yang berpendapat bahwa pajak yang dipungut tidak sesuai dengan syariah Islam. Hal ini dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1.Pajak yang diterapkan saat ini dibebankan juga pada barang kebutuhan sehari-hari, dan bagi masyarakat berpenghasilan rendah pajak tersebut menjadi beban yang memberatkan

2.Hampir sebagian besar penerimaan pajak digunakan untuk membiayai hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan utama, tetapi justru digunakan untuk membiayai hal-hal kurang penting seperti  membangun tempat-tempat rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dikorupsi, pembelian mobil mewah para pejabat dan lain-lainnya

3.Pajak diwajbkan terus menerus kepada rakyat secara mutlak dan tidak terbatas

4.Pajak diwajibkan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali dan bagi wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenakan hukuman atau penyitaan harta bendanya.  

Pendapat ulama tentang dharibah
menyangkut dharibah banyak pemikir islam (ulama) yang berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban  kaum muslim atas harta selain zakat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat (Gusfahmi, 2007). pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh dari Faimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR Ibnu Majah)

Banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zalim sebagai perbuatan dosa besar. Karena itu, mayoritas para ulama berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam harta kekayaan ada kewajban lain selain zakat. Pendapat tersebut adalah pendapat Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibn Umar, Abu Hurairah dan lainnya." (Gusfahmi, 2007)

Dibolehkan mengambil dharibah dari kaum muslimin jika memang Negara sangat membutuhkan dana  dan untuk menerapkan kebijakan tersebut maka harus terpenuhi dulu beberapa syarat. Hal ini ddasarkan pada Al-Qur'an Surah al-Baqarah ayat 7 dan Surah al-An'am ayat 141.  Ayat-ayat ini merupakan alasan yang kuat mengenai adanya kewajiban atas harta selain zakat.

Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (darurah) maka ada kewajiban tambahan lain bagi umat Islam yaitu membayar berupa pajak (dharibah).

Dalam sistem perekonomian kapitalis pajak menjadi andalan Negara dalam memenuhi pendapatan Negara. Sementara pendapatan dari Sumber Alam yang sangat melimpah hanya bisa dinikmati segelintir orang. Sudah saatnya perekonmian negara ini diubah dalam perekonomian Islam yang akan memberian kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post