Infrastruktur di Negara Berkembang Timpang, Islam Solusinya


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif.

Jokowi menegaskan bahwa pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) tetap berjalan meskipun saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Ironis, padahal banyak penolakan. Permasalahannya, pemerintah banyak (PR) seperti, keuangan negara defisit, APBN membengkak, utang terancam gagal bayar, serta pembangunan infrastruktur tidak merata, dan lainnya. Harusnya pemerintah fokus memperbaiki ekonomi. Bukannya malah menambah masalah dan menambah utang. 

Sejatinya pembagunan infrastruktur bukan untuk rakyat tetapi buat konglomerat, para pemilik modal, korporasi, dan oligarki. Sebab, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, pembangunan IKN akan memakan biaya sangat fantastis Rp466,98 triliun. Sumber dana IKN berasal dari APBN hanya sekitar 19 persen dan sisanya 81 persen dari investor swasta. Utang inilah yang menjadikan negara tidak berdaulat. Sedangkan untuk mengembalikan utang akan dibebankan pada rakyat yakni dipalak melalui pajak. Sebab, pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara penyumbang 80 persen yang dipungut secara berkelanjutan. Dalam sistem kapitalis, rakyat dijadikan sapi perah. 

Pada faktanya, pembangunan infrasruktur hanya fokus di kota-kota, sehingga hanya dinikmati oleh orang berduit dan para pemilik modal. Sedangkan masyarakat desa yang terpinggirkan, untuk mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan saja harus mempertaruhkan nyawanya. Contohnya, anak SD yang menuju ke sekolah harus menyeberang sungai menggunakan styrofoam, videonya viral di media sosial. Ada yang lewat jembatan gantung ala kadarnya. Hal tersebut merupakan sebuah representatif betapa di negeri ini pembangunan infrastruktur tidak merata sehingga terjadi ketimpangan yang begitu mendalam. Pembangunan infrastruktur ala kapitalis sungguh mirist. Faktanya, rakyat sengsara.

Infrastruktur Dalam Sistem Islam.

Islam bukan sekadar agama, tetapi sebuah mabda' (ideologi) yang terdiri dari akidah dan syariah (aturan), merupakan pedoman hidup seluruh umat manusia. Aturan yang berasal dari Allah Swt. begitu sempurna. Mengatur semua hal termasuk aturan infrastruktur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), infrastruktur adalah prasarana, yang dikaitkan dengan struktur fasilitas dasar untuk kepentingan umum. Misalnya, pendidikan membutuhkan infrastruktur sekolah. Kesehatan membutuhkan rumah sakit, apotik. Pertanian membutuhkan irigasi, dan lainnya. Oleh karena itu, Islam memandang infrastruktur termasuk hal yang sangat penting untuk membangun dan meratakan ekonomi sebuah Negara Khilafah demi kesejahteraan rakyatnya. 

Oleh sebab itu, mengacu pada kaidah syarak, "Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu (+tersebut) hukumnya wajib."

Jadi, hukum membangun infrastruktur yang berkualitas ke seluruh pelosok Negara Khilafah adalah wajib. Islam melarang pembangunan infrastruktur terpusat hanya pada satu negara atau kota saja.

Kebijakan pembangunan dalam Negara Khilafah terikat dengan sistem ekonomi Islam. Di mana syariat Islam telah mengatur menjadi tiga pokok terkait: (1) Kepemilikan (milkiyyah), digolongkan menjadi tiga, yakni kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu. (2) Pengelolaan kepemilikan (tasharruf), dan (3) Pendistribusian barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat (tauzi'). Lebih dari itu, khilafah harus memastikan politik ekonomi (siyasah iqtishadiyah) berjalan dengan benar sesuai syariat Islam. Dimaksudkan agar harta kekayakan tidak dikuasai oleh individu atau sekelompok orang, karena peruntukannya sudah diatur dalam hukum syarak. 

Rasulullah Saw. bersabda, "Orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir." (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadis di atas tampak jelas bahwa kepemilikan umum "air" (sungai, air laut, mata air, dll), "rumput" (pohon/hutan, padang rumput, dll), dan "api" (gas, minyak bumi, barang tambang, dll). Semua milik umum tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu dan kelompok tertentu. Sebab, semua membutuhkannya, sehingga merupakan fasilitas publik. Dalam hal ini, Negara Khilafah berkewajiban mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi atau infrastruktur.

Adapun kepemilikan negara seperti, fa'i, kharaj, jizyah, dan sebagainya harus dikelola negara, dan disediakan untuk melayani masyarakat sehingga memudahkan kehidupan mereka. Negara dibolehkan mengambil keuntungan. Misalnya tarif jalan tol, tarif listrik. Keuntungannya masuk pos fa'i dan kharaj yang digunakan sesuai peruntukannya.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, khilafah mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan asas seluruh rakyatnya yakni pangan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Serta untuk membiayai penyelenggaraan negara yang diambilkan dari Baitul Mal. Mengingat sumber kekayaan Negara Khilafah yang membentang di 2/3 dunia sangat melimpah dan luar biasa. Oleh sebab itu, sumber dana infrastruktur tidak boleh dari utang riba karena diharamkan (QS. al-Baqarah [2]: 278) dan menarik dana dari rakyat berupa pajak. Sebab, utang merupakan pintu masuk penjajahan, negara tidak berdaulat karena ada persyaratan yang menjerat.

Pengadaan Infrastruktur

Untuk pengadaan infrasruktur khilafah boleh meminta pendapat dan masukan dari Majelis Umat yang mewakili aspirasi kaum muslimin. Karena Majelis Umat menjadi tempat pertimbangan khalifah dalam urusan-urusan berbagai persoalan kaum muslimin, dan bersifat mengikat. Oleh sebab itu, dalam pengadaan infrastruktur berlaku skala aulawiyat (skala prioritas) dan penyebarannya merata.

Islam membagi dua jenis yakni:
1. Infrastruktur sangat dibutuhkan oleh rakyat, apabila ditunda akan menimbulkan bahaya (dharar). Misalnya, di desa tidak ada rumah sakit, sekolah, jalan umum, dan lainnya. Maka infrastruktur tersebut harus tetap dibangun, meskipun Baitul Mal (APBN) kosong. Caranya, khilafah boleh menarik infak, jika masih kurang boleh memungut pajak bagi yang mampu secara temporer hingga Baitul Mal terpenuhi. Namun, jika sifatnya darurat dan Baitul Mal kosong, khilafah dibolehkan meminjam kepada pihak lain tanpa riba.

2. Infrastruktur yang dibutuhkan, tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda atau ditangguhkan. Seperti perluasan masjid, penambahan gedung sekolah, membuat jalan alternatif, dan lainnya.
Infrastruktur ini tidak boleh dibangun dengan utang dan pungutan pajak. Hanya boleh dibangun ketika Baitul Mal (APBN) mencukupi.

Bahkan ada infrastruktur yang dibangun dari dana milik individu (pribadi). Ini muncul dari dorongan ruhiyyah. Tujuannya untuk membantu pemerintah melayani kepentingan masyarakat. Negara tidak boleh melarangnya, justru harus mendorong agar setiap individu berperan aktif dalam membantu pemerintah.

Begitu banyak peninggalan dan catatan sejarah yang menggambarkan kemajuan infrastruktur. Sejak kekhilafahan Rasyidah, Bani Umayah, Bani Abbasiyah, hingga kekhilafan Utsmani.

Salah satu contoh, kemajuan infrastruktur kesehatan di masa Abassiyah. Pada abad ke-9, pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid di Bagdad,  membangun rumah sakit Islam pertama dengan konsep terintegrasi dan modern, diberi nama Bimaristin. Rumah sakit ini memberikan pelayanan tanpa memandang agama, ras, kewarganegaraan, maupun jenis kelamin.
 
Contoh lainnya, pada masa akhir kekhilafahan Utsmani, dibangun infrastuktur rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul. Dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II, hanya dalam waktu dua tahun dengan dana pribadi. Tujuannya untuk memudahkan bagi calon jamaah haji menuju ke Makkah, yang sebelumnya ditempuh berbulan-bulan dengan menunggang unta. Dan masih banyak contoh lainnya.

Majunya infrastruktur di suatu negara menunjukkan majunya taraf ekonomi, kesejahteraan, dan juga peradaban. 
Hanya sistem Islam (khilafah) yang berhasil mewujudkan infrastruktur yang berkualitas dan merata di seluruh negeri Islam. Dengan sistem ekonomi Islam yang unggul dalam institusi khilafah dapat merencanakan keuangan dan pembangunan infrastrukrur. Tanpa harus merendahkan harkat martabat Islam dan kaum muslimin di mata pihak kafir penjajah. Saatnya kita campakkan demokrasi-kapitalis dan kembali pada sistem Islam (khilafah).
 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post