Infrastruktur dalam Negara Islam


Oleh Neneng Sriwidianti
Pengasuh Majelis Taklim dan Ibu Rumah Tangga

Islam merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh untuk memberikan solusi bagi seluruh problematika manusia hingga hari kiamat. Karena Islam datang dari Zat yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yaitu Allah Swt. Oleh karena itu, tidak ada satu celah pun yang luput dari aturan Islam. Termasuk bagaimana Islam mengatur masalah infrastruktur dan memberikan solusi yang nyata atas permasalahan yang terjadi.

Infrastruktur atau biasa dikenal dengan prasarana yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama penyelenggara suatu proses. Infrastruktur juga adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, dibutuhkan secara harian, serta akan menimbulkan permasalahan kalau keberadaannya tidak ada. Sehingga, tidak boleh ada fasilitas umum yang dikuasai individu. Misalnya, jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semua fasilitas ini adalah hak rakyat untuk mendapatkannya dan kewajiban negara untuk menyediakannya. Tanpa pandang bulu, baik yang ada di perkotaan atau di pedesaan secara gratis.

Infrastruktur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, infrastruktur keras. Meliputi jalan raya, kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan, dan saluran irigasi.

Kedua, infrastruktur keras non-fisik. Meliputi ketersediaan air bersih berikut instalasi pengelolaan air dan jaringan pipa penyalur, pasokan listrik, jaringan telekomunikasi (telepon dan Internet), dan pasokan energi mulai dari minyak bumi, biodesel dan gas berikut pipa distribusinya.

Ketiga, infrastruktur lunak. Biasa juga disebut kerangka institusional yang meliputi berbagai nilai (termasuk etos kerja), norma, serta kwalitas pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah.

Syekh 'Abd al-Qadim Zallum, dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, menjelaskan bahwa ada dua strategi yang dilakukan oleh negara untuk membiayai proyek infrastruktur ini.

Pertama, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas, dan tambang (Fosfat, Emas, Tembaga, dan Sejenisnya). Proteksi ini dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sebagai contoh, Nabi saw. pernah memproteksi tanah an-Naqi, tempat yang terletak di Madinah al-Nunawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda untuk kepentingan kaum muslimin. (HR Abu Ubaid)

Kedua, mengambil pajak dari kaum Muslim untuk membiayai infrastruktur. Cara ini hanya diperbolehkan ketika kas Baitul Mal kosong. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana yang vital. Diambil dari kaum Muslim, laki-laki, dan mampu. Pengambilannya sesuai dengan kadar kebutuhan. Ketika kebutuhannya sudah tertutup, maka pengambilan pajak tersebut dihentikan. Kalau pun berlebih, maka dikembalikan kepada pemberi pajak.

Ada pun pembiayaan infrastruktur dari hasil meminjam pada pihak asing atau lembaga keuangan global apalagi dengan bunga, jelas diharamkan dalam Islam. Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, tidak ada makan siang gratis, karena pasti akan disertai berbagai syarat yang mengikat dan merugikan kaum muslimin. Pihak asing  atau lembaga keuangan tersebut akan semakin leluasa untuk mendikte dan mengontrol khilafah. Kebijakan ini haram dilakukan oleh seorang pemimpin dalam Islam karena akan menjadi jalan masuknya penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin.

Demikianlah, seorang pemimpin dalam Islam telah mengatur masalah infrastruktur ini dengan cemerlang. Dr. Kasem Ajran (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, telah memuji pesatnya pembangunan infrastruktur transfortasi jalan yang dilakukan di zaman kekhilafahan Islam.

"Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M," cetus Ajran.

Seorang pemimpin dalam Islam akan memastikan bahwa semua infrastruktur berjalan dengan baik dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Sehingga tidak satu pun rakyat yang terhalang dalam menggunakan atau pun menimbulkan kebahayaan atas jiwanya. Karena, seorang khalifah paham, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. atas kepemimpinannya. Semua itu akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai khilafah. 

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Ahmad dan Bukhari)

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post