Impor Garam Lagi, Swasembada Hanya Ilusi


Oleh Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 

Janjinya saat kampanye tahun 2014 silam, mau stop impor pangan, stop impor beras, stop impor dagung, bawang, kedelai, sayur buah, ikan. Mungkin janji ini masih terngiang di telinga rakyat tujuh tahun silam. Janji itu pun kembali diikrarkan saat menemui petani garam tahun 2019 lalu. Presiden menjanjikan akan swasembada garam secara bertahap. 

Namun janji tinggallah janji, setiap tahun impor garam malah makin meningkat. Pada 2015 saja, jumlah realisasi impor 1,864 juta ton. Setiap tahun terjadi lonjakan yang cukup signifikan. Bahkan dalam kurun waktu delapan bulan saja yaitu selama Januari-Agustus 2020, pemerintah sudah mengalokasikan dana senilai 55,79 juta dolar AS untuk impor garam. 

Kebijakan impor makin jor-joran, puncaknya ditahun ini pemerintah berencana akan impor garam sebanyak 3,07 juta ton. Hal ini disebabkan kebutuhan 4,7 juta ton yang tidak bisa dipenuhi oleh garam lokal. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan bahwa dari jumlah kebutuhan garam nasional, sebagian besar merupakan peruntukan untuk bahan baku industri manufaktur. (Kompas.com, 27/09/2021) 

Kebijakan impor garam yang semakin meningkat ini mengonfirmasi bahwa negara sudah gagal menepati janji untuk swasembada garam. Hal ini juga semakin menguatkan pandangan publik bahwa tidak ada keseriusan dalam meningkatkan produksi garam dalam negeri. Pemerintah lebih nyaman dengan kebijakan impor yang menguntungkan para kartel namun mematikan petani garam lokal. 

Potensi Besar Yang Terbengkalai 

Besarnya kebutuhan garam dalam negeri harusnya berpotensi menjadikan negeri ini produsen garam, bukan berpasrah diri menjadi konsumen. Negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia adalah sebuah modal yang lebih dari cukup untuk swasembada garam. Begitu juga dengan potensi sinar matahari yang melimpah ruah menjadi aset besar bagi petani garam. 

Sumber daya manusia pun bukan perkara sulit untuk diberdayakan. Jutaan pengangguran sangat mungkin diserap jika pemerintah mau serius mewujudkan janjinya. Hanya butuh dukungan negara memfasilitasi petani untuk bisa memproduksi lebih banyak dan berkualitas. Memanfaatkan potensi produksi garam dalam negeri, selain bisa swasembada juga bisa membantu perekonomian negara. 

Nasib Petani Garam yang Terpinggirkan

Meskipun kebutuhan akan garam sangat besar, namun bukan berarti petani garam sejahtera. Faktanya para petani hanya mampu berproduksi dengan peralatan tradisional dan bergantung pada cuaca. Ketika mengalami anomali cuaca, maka hasil produksi garam akan anjlok. Tidak hanya sampai disitu, harga garam yang rendah dan kualitasnya tidak memenuhi standar garam produksi membuat petani garam pasrah pada kebijakan pasar. 

Petani garam tidak didukung dengan serius. Pemerintah terkesan tidak mau 'capek' mendampingi petani garam agar bisa swasembada. Swasembada membutuhkan banyak tahapan yaitu menyiapkan lahan yang luas, kualitas yang bagus, dan penyuluhan terhadap petani. Dan hal ini membutuhkan waktu dan kerjasama dengan para ahli terkait. 

Tidak Berdaya Dibawah Kendali Kartel

Selain rendahnya kualitas dan kuantitas garam yang di hasilkan, petani garam harus mati-matian bertahan dari tsunami impor. Jalan yang paling mudah bagi pemerintah untuk menjaga ketersediaan garam yaitu membuka kran impor. Hal ini tentu saya tidak terlepas dari intervensi importir dan kartel. Kongkalikong antara pengusaha dan penguasa dalam menentukan kebijakan impor semakin menambah caruk maruk pergaraman. 

Lagi-lagi petani yang paling dirugikan. Besarnya angka kebutuhan akan garam tidak serta merta membuat petani mendapatkan harga jual yang bagus. Secara kualitas harus bersaing dengan garam impor. Regulasi distribusi yang panjang, infrastruktur yang buruk membuat petani harus mengeluarkan ongkos logistik yang mahal. 

Selain itu, hasil panen petani tidak bisa diserap pasar secara maksimal dikarenakan terbatasnya kegunaan garam lokal hanya untuk pangan. Hal ini karena adanya regulasi Permendag No.88 tahun 2014 yang sebelumnya garam lokal bisa digunakan untuk industri namun setelah terbit peraturan ini, garam industri memakai garam impor. Padahal justru penggunaan terbesar dari garam adalah untuk kebutuhan industri. 

Swasembada Garam Hanya Sebatas Angan 

Dengan berbagai fakta diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa swasembada yang digaungkan selama ini hanyalah retorika politik belaka. Pemerintah tidak serius dalam memajukan produk nasional karena memerlukan waktu yang lama dan modal yang besar. Lebih dari itu, corak pemerintahan yang mengadopsi tata kelola kapitalisme sekularisme tidak menjadikan rakyat sebagai prioritas utama. 

Kuatnya kungkungan para kapital yang berada dibalik panggung kekuasaan, membuat penguasa bak boneka. Paradigma sistem ekonomi kapitalisme liberal membuat fungsi pemerintah dimandulkan. Kebijakan pasar diserahkan pada pemilik modal yang orientasinya hanya pada profit. Lalu kepada siapa lagi rakyat menggantungkan harapan? 

Negeri ini sudah diberikan kekayaan alam yang banyak oleh Allah Ta’ala. Pantai yang luas, sinar matahari yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak. Hanya diperlukan sistem yang benar untuk bisa menjalankan kehidupan dengan benar. Kembali pada paradigma sistem yang paripurna lagi diridlai. Asas kehidupan yang tidak bisa diintervensi siapapun karena tolak ukur kebijakannya adalah hukum syariah. 

Sesungguhnya Allah SWT menjanjikan kesejahteraan bagi umatnya yang mau berhukum dengan Al-Qur'an. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A'raf : 96)

Wallahu'alam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post