IMPOR GARAM KAPAN BERAKHIR?


Oleh: Alfi Zikri 
(Aktivis Dakwah Kampus)

Bulan ini adalah realisasi keputusan pemerintah di bulan Maret 2021 terkait impor 3,07 juta ton garam dan akan menjadi impor terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang pada tahun 2018 pernah mencapai 2,839 juta ton. Selain kuantitas impor yang melebihi kebutuhan, alasan kualitas dan peruntukan garam impor juga mengemuka. 
(Kompas.com, 27/9/21) Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita  Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah kembali membuka keran impor garam pada tahun ini. Pertama, jumlah produksi garam lokal tak mampu memenuhi kebutuhan industri yang mencapai 84 persen dari jumlah kebutuhan garam nasional. Kedua, kualitas garam lokal tak sepadan dengan kebutuhan industri dengan kebutuhan garam antara lain khlor dan alkali, yang menghasilkan produk-produk perokimia, pulp, dan juga kertas.

Keputusan pemerintah yang kembali membuka keran impor garam sungguh bertentangan dengan harapan presiden Joko Widodo sendiri yang selalu menggaungkan cinta produk dalam negeri dan benci produk asing. Selain itu Indonesia juga sudah menargetkan swasembada garam pada 2025, namun jika sampai saat ini pemerintah masih melakukan impor tentu target swasemba hanyalah sebatas wacana. Ini adalah bukti tidak ada kesungguhan pemerintah untuk mengatasi masalah yang berulang ini.

Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah yang kembali melakukan aktifitas impor garam sangat  mencederai petambak garam. Pasalnya Jumlah impor garam yang berlebih akan sangat merugikan penambak garam karena potensi tidak terserapnya garam hasil petambak dalam negeri dan akan menimbulkan potensi turunnya harga jual garam. Seperti pada awal Januari 2021 lalu terdapat 800 ribu ton stok garam petambak yang tidak terserap dari tahun-tahun sebelumnya karena banyaknya serbuan garam impor. Alih-alih meningkatkan produksi jumlah garam lokal hal ini malah akan menghilangkan semangat penambak dan menurunkan jumlah produksi.

Klaim pemerintah masih melakukan impor disebabkan kuantitas dan kualitas garam nasional hanyalah efek dari kurangnya tanggung jawab pengurusan negara dan tidak adanya upaya negara untuk memfasilitasi serta membekali para petambak dan industri garam.  Pemerintah hanya hadir sebagai regulator, operator, unit pelaksana, dan otonomi daerah. Sehingga hadirnya pemerintah justru hanya untuk kemaslahatan korporasi. Padahal negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung) .
Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Begitulah akibatnya jika negara berjalan diatas kepentingan (materi). Sistem yang diterapkan pun bukan berlandaskan Islam melainkan sistem kapitalisme yang menyebabkan Indonesia terjajah secara ekonomi. Penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi atau ekonomi neoliberal yang menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi menyebabkan terjadinya pasar bebas, penghapusan subsidi, tidak adanya perlindungan produksi dalam negeri dalam bentuk pembatasan atau adanya bea Impor. 
Belum lagi diperparah dengan amanah UU Ciptaker yang memperbolehkan impor yang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan tapi juga dengan alasan untuk menjaga stok ketersediaan pangan. Padahal Indonesia merupakan negara maritim dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Seharusnya pemerintah dapat memanfaatkan potensi alam yang ada dengan teknologi mutakhir. Lagi-lagi masyarakat kecil lah yang akan menjadi korban bagi kepentingan korporat. Liberalisasi perdagangan hanya akan memberikan keuntungan kepada mereka-mereka yang memiliki modal, mereka yang memiliki kekuasaan maupun elit politik.

Semua ini apabila dikembalikan kepada sistem Islam maka akan mampu membangun ketahanan dan kedaulatan pangan. Sebab fokus politik pertanian dalam Islam terkait dua hal yaitu pertama, penyediaan pangan yang terkait dengan produksi. Sebab produksi merupakan sarana terpenting dalam merealisasikan ekonomi. Bangsa yang hanya menjadi kosumen selalu menjadi tawanan belenggu ekonomi dan lemah kemampuanya dalam perkembangan yang membebaskan dari ketergantungan terhadap dunia luar. Kedua, distribusi pangan yang merata untuk memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat baik muslim maupun non muslim. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar sehingga tidak adanya kelangkaan barang dan stabilitas harga pangan akan terjaga. 

Konsep ekonomi Islam dibangun di atas pondasi akidah Islam yang berpihak  pada kepentingan rakyat banyak. Seperti dalam hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أبْغُوْ نِي الضُّعَفَاءَ، فَإنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
 “Sesungguhnya kalian akan ditolong dan diberi rezeki oleh Allah dengan sebab (menolong) kaum dhuafa di antara kalian.” (HR. Abu Daud dan lainnya dalam Ash Shahihah 779).

Hadist ini menjelaskan bahwa rezeki dan pertolongan Allah akan datang manakala pemerintah melakukan pembelaan terhadap kepentingan masyarakat kecil yang mana ada hubungan yang sangat kuat antara kesejahteraan, keadilan ekonomi dan pembelaan hak-hak rakyat miskin.

Di dalam sistem Islam sendiri impor diperbolehkan tapi tidak boleh terus menerus sehingga menimbulkan ketergantungan. Karena hal tersebut haram sebab akan menghilangkan kedaulatan pangan dan memfasilitasi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin. 

Allah SWT berfirman: 
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (QS. An-Nissa’ (4); 141)

Adapun motif utama negara Islam dalam hubungan dagang dengan negara luar tidak dalam memenui kebutuhan dalam negeri melainkan adalah sebagai salah satu bagian dari upaya menyebarkan risalah Islam keseluruh dunia. Negara Islam juga tidak diperbolehkan  menjalin hubungan dagang dengan negara kafir harbi fi’lan yaitu negara yang menampakkan permusuhan dengan Islam dan kaum muslimin. Seperti Israel, Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan lainnya.
Karena itu persoalan dan polemik garam hanya bisa selesai jika sistem di negeri ini kembali kepada sistem Islam melalui institusi daulah Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Negara khilafah yang dipimpin seorang khalifah akan menyelesaikan persoalan rakyat termasuk persoalan garam berdasarkan peraturan Islam. Karena Islam lah satu-satunya sumber  kesejahteraan yang akan membawa perubahan mendasar dan menyelamatkan manusia dan dunia dari malapetaka.

Post a Comment

Previous Post Next Post