Mengapa Lunak terhadap Pelaku Kekerasan Seksual?


Oleh Sri Wahyuni Bungai  
(Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Banggai Laut, Sulteng)  
  
Seorang pria yang berstatus sebagai pegawai KPI pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di kantor KPI pusat selama periode 2011-2020.  
  
Pengakuan korban itu muncul ke publik lewat siaran tertulis yang diterima oleh sejumlah media nasional di Jakarta. Dalam pengakuan itu, korban mengaku mengalami trauma dan stres akibat pelecehan seksual dan perundungan yang menjatuhkan martabat dan harga diri korban.  
  
Korban menyampaikan ia sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian. Namun, saat melaporkan kasus yang dia alami, polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor.  
  
“(KPI pusat) melakukan langkah-langkah investigasi internal dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak,” kata Agung Suprio sebagaimana dikutip dari pernyataan sikap KPI Pusat.  
  
Dilihat dari viralnya surat salah satu pegawai KPI yang menjadi korban perundungan serta pelecehan seksual, seharusnya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan. Apalagi, bila kejadian tersebut sudah diranah menghancurkan kehidupan korban. Hal ini seharusnya ditangani dengan cepat bukannya dibiarkan begitu saja.  
  
Kekerasan seksual yang terjadi terhadap pegawai KPI baru diproses setelah desakan kuat muncul dari publik.  Sedangkan kasus lain berupa sikap toleran KPI atas tampilnya artis pelaku kekerasan seksual di TV,  menegaskan lembaga ini begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual. Berkebalikan dengan kampanye nasional anti kekerasan seksual.   
  
Hal ini akibat kurangnya pemahaman tentang agama di kalangan masyarakat, menjadi salah satu faktor perundungan dan juga pelecehan seksual. Sehingganya hanya karena masalah senioritas dan yunioritas bisa menjadi sumber dari perundungan yang terjadi selama ini.  
  
Kasus pelecehan seksual bukan hanya terjadi pada sekarang ini. Tetapi sudah sering berulang, mulai dari pembuliyan sampai pelecehan dan berujung pembunuhan.  
  
Kekerasan seksual tetap menjadi wabah menjijikkan di negeri mayoritas muslim bila nilai dan sistem sekuler terus dipraktikkan. Bahkan mendefinisikan kekerasan seksual saja bisa terus mengalami perubahan.    
  
Hal ini seharusnya juga perlu menjadi perhatian apalagi kasus tersebut sudah banyak terjadi di kalangan para remaja maupun orang dewasa.  
  
Pelecehan Seksual Subur di Alam Kapitalisme
  
Kasus pelecehan Seksual wajar terjadi di negara yang menganut sistem kapitalisme sekularisme. Karena sistem ini memberikan kebebasan berperilaku bagi masyarakat. Padahal tidak semua masyarakat dapat menggunakan kebebasan tersebut untuk melakukan hal-hal positif apalagi dengan pemahaman yang kurang tentang kesopanan dan tata krama.  
  
Generasi milenial sekarang ini memang terlahir dari pemahaman-pemahaman sekuler akibat modernisasi kehidupan di lingkungan mereka. Ditambah kurangnya sikap tegas dan hukuman yang menjerakan, mustahil mampu memberantas pelecehan seksual di sistem sekuler liberal saat ini.  
  
Perlu kita pahami bahwasanya kasus yang terjadi diproses akibat besarnya pengaruh publik sehingga mau tidak mau harus diproses. Seandainya jika kasus tersebut tidak dihebohkan oleh publik, mungkin bisa jadi kasus tersebut dibiarkan begitu saja. Buktinya kasus seperti ini sudah sering terjadi terutama dikalangan remaja tetapi tidak terselesaikan malah ditutup-tutupi oleh para pihak tertentu hanya demi kepentingan pribadi mereka.  
  
Kasus tersebut adalah tanggungjawab negara. Sayang, negara gagal memberantas pelecehan seksual. Ini menjadi bukti bagaimana sistem tidak berhasil menjaga rakyat dalam kasus pelecehan seksual. Dari sini membuat kita sadar bahwa berharap pada sistem ini untuk memberantas pelecehan seksual secara tuntas mustahil adanya. Buktinya, kasus demi kasus terus berulang bahkan tumbuh subur. 

Dari sini, apakah sistem ini masih layak kita pertahankan? 
Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post