Baliho di Tengah Pandemi, Ke mana Hati Nurani?


Oleh: Yuli Ummu Raihan
Aktivis Muslimah Tangerang

Pandemi yang belum kunjung usai tidak menyulutkan ambisi para politisi untuk meraih kekuasaan di negeri ini. Kontes politik 2024 masih tiga tahun lagi, tapi tercium aroma persaingannya dengan maraknya baliho calon politikus negeri ini. 

Wajar, jika maraknya baliho ini mendapat respon negatif dari masyarakat. Ke mana hati nurani mereka saat masang baliho yang tidak murah itu di tengah kesulitan hidup yang dialami rakyat saat ini? 

Seharusnya para pejabat atau politisi fokus menyelesaikan pandemi. Inilah saatnya mereka memberi bukti nyata peran mereka kepada rakyat. Sangat disayangkan mereka justru sibuk menaikkan citra diri dengan berlomba memasang baliho. Alangkah eloknya mereka memperhatikan nasib rakyat yang berjuang bertahan hidup dari pandemi dan kelaparan. 

Ke mana hati mereka memasang baliho dengan wajah sumringah, senyum manis, sementara rakyat berduka, menangis dan menjerit kelaparan. Tidakkah ada empati pada para nakes yang gugur dan terus berjuang di garda terdepan? 
Tidaklah tersentuh melihat ribuan anak menjadi yatim dan piatu karena ditinggal mati orang tuanya akibat pandemi? 

Beginilah wajah asli demokrasi. Atas dasar hak kebebasan berekspresi mereka merasa berhak melakukan semua ini. Penguasa lebih mementingkan kekuasaannya daripada kepentingan rakyat. Kalau pun ada hanya sekadar pencitraan dan formalitas semata. Kepentingan rakyat bukan orientasi mereka. Para politisi mengalami anosmia empati pada nasib rakyat. 

Fakta ini sangat berbeda ketika sistem Islam diterapkan. Dalam sistem Islam kepemimpinan itu amanah, dan pertanggungjawabannya sangat besar baik di dunia maupun akhirat. Sehingga seorang pemimpin akan bersungguh-sungguh dalam mengemban amanah ini. 

Nabi Muhammad saw. adalah contoh nyata yang menjadi suri tauladan kita. Beliau telah memberi teladan bagaimana memilih pemimpin hingga menetapkan kebijakan yang memiliki simpati dan empati tinggi. Dalam sistem Islam pemimpin wilayah ditunjuk langsung oleh khalifah. Khalifah akan memilih para Wali dan Gubernur yang terbaik dan memiliki kemampuan. Rasulullah saw. sebagai Khalifah bahkan menanyakan kepada para pembantunya tentang tata cara yang akan mereka pakai dalam mengatur pemerintahan. 

Khalifah senantiasa memantau kinerja para wali dan gubernurnya. Khalifah juga mengangkat qadhi untuk menetapkan keputusan hukum. Khalifah juga mengangkat sejumlah orang untuk mengurusi kemaslahatan umat. 

Umat juga senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi mungkar kepada penguasa. Ada majelis wilayah sebagai wadah penyaluran inspirasi dan pengaduan segala urusan umat.
Semua inspirasi dan pengaduan akan diterima dan direspon cepat. 
Jika terjadi pelanggaran oleh pejabat publik akan diberi sanksi berupa teguran, pemberhentian, bahkan sanksi hukum. 


Para khalifah juga memberikan teladan cara berempati pada rakyat terutama di saat sulit. Dulu juga pernah terjadi wabah, tapi sukses ditangani dengan baik. Hal ini tertulis dalam buku "The Great Leader of Umar bin Khathab" Karya Dr. Muhammad Ash-Shalabi. 
Para khalifah dalam Islam memilih hidup sederhana di saat wabah. Mengajak untuk muhasabah dan bertobat memohon ampunan dan 
meminta pertolongan Allah. 

Khalifah fokus menangani wabah dengan memprioritaskan nyawa manusia ketimbang hal lain termasuk ekonomi. Karena dalam Islam memelihara nyawa satu manusia sangat dihargai. 

Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 32 yang artinya:
"Dan  barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.... "

Dalam Islam jabatan itu bukan untuk kebanggaan apalagi sarana memuluskan kepentingan pribadi atau kelompok. Justru mereka takut dan menangis saat menerima jabatan bukan malah berpesta merayakan kemenangan. Mereka menyadari beratnya tanggung jawab seorang pemimpin. 

Mereka tidak butuh baliho atau kampanye ke sana ke mari dengan mengeluarkan uang, tenaga, bahkan menghalalkan segara cara. Mereka akan malu hidup berlebihan sementara rakyatnya serba kekurangan. Rakyat tidak butuh baliho, jika seseorang memiliki kelayakan dan kemampuan tentu rakyat akan suka rela memilih. 
Justru baliho yang curi start ini akan diingat masyarakat sebagai politikus tanpa empati yang berakibat kehilangan kepercayaan masyarakat saat pemilihan nanti. 
Wallahu a'lam bishashawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post