7 Persen Pajak Pendidikan, Siap-siap Saturasi Turun!


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Sesak.  Ya, rasa-rasanya saturasi oksigen Ibu Pertiwi semakin menurun saja belakangan ini.  Bagaimana tidak, sektor pendidikan yang  dikenal sebagai hajat hidup orang banyak bakal dikenai pajak.  Wow!  

Melansir dari laman daring,   pemerintah tengah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Konsekuensinya,  jasa pendidikan tak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP).  Agenda tersebut termaktub dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (kontan.co.id, 9/9/2021)

Meski yang berwenang berdalih akan melakukan pengkajian secara mendalam tentang pemberlakuan pajak ini, tetap saja wacananya membuat cemas banyak pihak.  Tidak terbayang bila akses pendidikan bagi rakyat yang kini sudah berat dijangkau bakal semakin berat lagi.  Lalu di mana slogan Education for All atau pendidikan untuk semua yang telah dicanangkan sejak dulu?  Benarkah satire yang beredar di meme para netizen, orang miskin dilarang sekolah?  Tragis.

Setelah dana BOS yang dipangkas untuk sekolah ‘kurus,’ sekarang pajak pun mengintai.   Jelas terpampang  potret dari carut-marutnya kelola pendidikan di negeri yang menerapkan kapitalisme ini. 
Banyak pengamat dan pakar bahkan sudah mengingatkan akan masa depan suram pendidikan di negeri ini bila pajak keukeuh ditetapkan. 
Terbayang efek domino yang siap mengintai.  Apalagi ditambah kondisi  pandemi yang belum kunjung usai.   Hal ini notabene menjadikan beban hidup rakyat semakin berat dan berat lagi.  

Sedihnya, di saat seperti ini negara seolah justru absen dari menjalankan amanahnya yaitu mengurus dan melindungi.  

Mari renungkan bersama, bukankah tak satu pihak pun bisa membantah bahwa pendidikan merupakan hak  setiap warga negara, dan kewajiban negara memenuhinya?  Sayang, untuk menikmati sekolah dengan biaya yang terjangkau dan fasilitas yang mumpuni masih sebatas mimpi.  Alih-alih ditambahkan pajak pendidikan, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah dirasakan berat untuk dipikul di tengah subsidi yang sudah lama menguap dan pajak lainnya.

Sementara keberpihakan negara pada oligarki kapitalis tampak semakin menguat.  Salah satunya tampak dengan dibebaskannya pajak untuk barang mewah sementara rakyat diwajibkan bayar pajak demi  membayar utang negara.

Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan saat ideologi Islam memimpin peradaban dunia.  Di bawah payung sistem pemerintahan warisan Rasulullah Saw, para khalifah yang memimpin khilafah tegak mengayomi dan mengurusi seluruh urusan setiap warga negara. Baik muslim maupun non muslim  berhak atas akses ke semua sektor publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Sikap ini merujuk pada sabda Rasulullah Saw, 

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad)

Tentu  mengurus urusan rakyat manusia tidak sesederhana menggembala domba.  Mengurus urusan manusia berarti mengurus kebutuhan manusia yang bersifat kompleks.  Manusia tidak hanya punya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan, namun juga kesehatan, keamanan dan pendidikan. 

Maka Islam mewajibkan  negara secara mutlak menyelenggarakan   semua hal tersebut berikut infrastrukturnya seperti misalnya gedung sekolah, perpustakaan dan laboratorium yang bisa diakses rakyat  secara gratis.  

Sebagaimana  dicatat sejarah dengan pena emas, saat Khalifah Al-Muntashir Billah bahkan membagikan beasiswa  emas kepada setiap siswa seharga 1 dinar ( 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas).  Begitu pula dengan salah satu sekolah yang terkenal di masa kejayaan peradaban Islam, Madrasah Nizamiyah.  Sekolah ini  memiliki fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari 6.000 judul buku,  laboratorium, dan beasiswa yang berprestasi.  Pembelajaran di sekolah diselenggarakan dengan sangat murah bahkan tak sedikit yang disediakan cuma-cuma.

Sehingga dalam perjalanannya selama berabad-abad tak dikenal cerita generasi putus sekolah akibat minim dana maupun minus sarana dan prasarana (sarpras) pendidikan.  Begitulah indahnya hidup dalam naungan syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh.  Ya, hanya itu syaratnya agar semua keindahan dan rahmatan lil alamin-nya Islam bisa terwujud sebagaimana janji Allah yang Maha Menepati Janji.  Saya yakin, semoga Anda juga.  Wallaahua’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post