Utang Selamatkan Rakyat dan Ekonomi?



Oleh:  Misriyaningsih
Alumni Universitas Indraprastha PGRI 

Utang pemerintah Indonesia kian meroket, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum terlihat solusi tuntasnya. Dilansir dari media Bisnis.com, hingga April, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang menembus angka Rp.6.527,29 triliun. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Jokowi. Bisa dibayangkan sampai generasi ke berapa utang ini bisa dilunasi. Anak cucu kita tanpa kita sadari sudah mendapat beban utang sejak lahir. Sungguh ironi dengan kekayaan sumber daya alam di Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19. Pasalnya, APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang (Jakarta, CNN Indonesia).

Dalam acara Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Sabtu (24/7), Sri Mulyani mengatakan, “Kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, dia (utang) adalah merupakan instrumen whatever it takes, untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita.

Bendahara negara menjelaskan APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi Covid-19. Di satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, bantuan kepada dunia usaha dan lainnya. Di lain pihak, penerimaan negara justru merosot karena aktivitas ekonomi lesu.

Namun benarkah utang dapat selamatkan rakyat dan ekonomi? Nyatanya dengan bertambahnya utang ini tidak bisa menyelamatkan rakyat dan memperbaiki ekonomi di masa pandemi ini. Bisa dirasakan, penanganan yang masih lambat, fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan yang belum mencukupi, rakyat masih merasakan kesulitan dalam berobat. Belum lagi biaya kesehatan yang mahal.

Pun dalam memenuhi kebutuhan hidup lainnya, karena kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah dirasa belum tepat sasaran dan bukan solusi yang tuntas, bahkan dari awal pandemi pemerintah seakan lalai dan tidak serius. Itu semua mencerminkan buruknya penanganan penguasa dalam pandemi ini.

Apalagi praktiknya di lapangan yang seperti bansos yang dikorupsi, kebijakan PSBB, PPKM dan lain-lain yang dirasa kurang tepat karena tidak dibarengi dengan penjaminan kebutuhan pokok rakyat, belum lagi kebijakan seperti UU Omnibus law yang hanya menguntungkan Investor.

Hal ini memang tidak asing dalam pemerintahan di sistem kapitalisme. Sistem ini yang akidahnya adalah asas manfaat yang kebijakan-kebijakannya dibuat berdasarkan akan manfaatnya bagi segelintir orang, hanya untuk kepentingan individu atau korporat saja. Ketika pandemi semakin parah maka pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk pemulihan ekonomi global yaitu salah satunya dengan menambah utang.

Padahal utang yang terus menerus dan tidak terkontrol akan sangat berbahaya. Dampak yang paling bahaya dapat menyebabkan konversi kepemilikan Indonesia menjadi kepemilikan asing, apalagi tempat berutangnya adalah negara kapitalisme.

Lain halnya dengan kebijakan ekonomi dalam Islam. Pemerintah dalam hal ini adalah khalifah dan jajarannya mempunyai kewajiban sebagai periayah bagi rakyatnya, yaitu seorang khalifah menjadi pelayan dan penjamin bagi seluruh kebutuhan rakyatnya. Seperti dalam Hadits Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyat nya” (HR Al-Bukhari).

Di dalam negara Islam untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya seperti dalam pemenuhan kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan pekerjaan dan kepentingan umum lainnya berasal dari baitul mal, yaitu lembaga dalam daulah Khilafah Islamiyah yang bertugas khusus untuk menangani harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. 

Pos-pos pemasukan baitul mal itu berasal dari fai, zakat, kharaj, usyur jizyah dan seluruh sumber daya alam (SDA) negara yang pengelolaannya dilakukan secara mandiri oleh Daulah Khilafah tanpa campur tangan asing, Adapun asing sifatnya hanya sementara dan tidak terikat.

Pemasukan dari pos-pos baitul mal ini sudah sangat cukup untuk memenuhi seluruh kemaslahatan rakyat dalam dalam Daulah Khilafah Islamiyah. Tentunya negara tidak perlu untuk menarik pajak dari rakyat atau bahkan berutang. Itulah bedanya dengan pemerintahan saat ini, pajak dan utang menjadi sumber pendapatan negara.

Karena dalam Islam utang piutang merupakan permasalahan penting. Praktiknya sangat diatur oleh syariat. Islam sangat menentang orang yang lalai terhadap utangnya. Seseorang yang berutang maka hukumnya wajib untuk membayar. Jika tidak maka dosanya tidak akan diampuni sekalipun orang yang berutang itu mendapat kemuliaan syahid, dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang” (HR Muslim).

Islam sebagai ad-din sekaligus sebagai ad-daulah di samping mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, Islam juga mengatur dalam hal interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam bermuamalah dan bidang politik dan kenegaraan. Pemerintah sebagai pembawa amanat Allah SWT berkewajiban mengurus kemaslahatan rakyatnya, yaitu dengan tidak membebani rakyat dengan utang negara.

Pinjaman-pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan Internasional tidak diperbolehkan dalam hokum syara’, sebab pinjam seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba jelas diharamkan hukum syara’ , sedangkan persyaratan tertentu yang menyertai pinjaman sama saja dengan memberikan jalan masuk bagi negara asing untuk berkuasa di negeri ini. Maka, utang tidak boleh dijadikan sumber pendapatan untuk menutupi anggaran belanja negara.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post