Pengakuan Atas Eksistensi Agama Sesat Baha'i


Penulis : Aisha Besima (Aktivis Muslimah Banua)

Hingga hari ini, topik moderasi beragama (baca: moderasi Islam) masih saja mengarus di berbagai forum dan media massa. Berbagai simposium, seminar, dan pidato para pejabat masih mengangkat narasi ini dengan berbagai pendekatan. Fakta terbaru yang mengarah kepada arus moderasi beragama dengan Ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bukan hanya menuai polemik, tapi juga mendorong perlunya perlindungan dan perbaikan layanan terhadap kelompok agama minoritas. (BBC.com, Kamis 5/8/2021).

Video ucapan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas "Selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i" menuai polemik di masyarakat. Banyak yang mendukung, tapi tak sedikit yang menganggap agama Baha'i sebagai ajaran sesat. (BBC.com, Kamis 5/8/2021). Setelah menuai kecaman karena ucapan hari raya Menag pada aliran sesat Baha'i, kini pemerintah juga terus melakukan pembelaan dengan menyatakan tidak ada aturan yang dilanggar dari pemberian ucapan selamat tersebut. (BBC.com, Kamis 5/8/2021).

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tak ambil pusing terkait sorotan yang ditujukan kepadanya perihal ucapan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha'i. Yaqut menegaskan kehadirannya di acara komunitas Baha'i sudah sesuai dengan konstitusi. Tanggapan Menag, saat dimintai tanggapan mengenai sorotan tersebut, Yaqut membeberkan alasannya hadir di acara komunitas Baha'it. Yaqut memberikan penjelasan lebih lanjut. Dia menerangkan dalam konstitusi Indonesia tak dikenal istilah agama 'diakui'. "Konstitusi kita tidak mengenal istilah agama 'diakui' atau 'tidak diakui', juga tidak mengenal istilah 'mayoritas' dan 'minoritas'. Hal ini bisa dirujuk pada UU PNPS tahun 1965 tersebut," kata Yaqut lewat pesan singkat. (news.detik.com, Rabu 28/7/2021).

Selama dua tahun terakhir ini, narasi moderasi beragama memang begitu gencar diaruskan, bersamaan dengan proyek-proyek liberalisasi ekonomi yang juga gencar dilakukan. Demi sukses moderasi, pihak pemerintah—khususnya Kemenag—telah melakukan berbagai langkah, mulai dari riset-riset, diklat-diklat, training for trainer, sosialisasi konten di berbagai kanal medsos, deteksi dini konflik keagamaan, hingga memasifkan agenda-agenda dialog antaragama di berbagai level.

Kebebasan beragama selalu menjadi salah satu tolok ukur berjalannya pilar demokrasi. Jika beragama dihalangi dan didiskriminasi, maka hal itu dianggap bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Jadi, apa yang dilakukan Yaqut dan pembelaan aktivis kebebasan beragama sudah sesuai dengan prinsip demokrasi. 
Kebebasan beragama makin menyuburkan aliran sesat meski pada akhirnya aliran-aliran itu menjelma menjadi agama baru seperti halnya Ahmadiyah dan Baha’i. Ketua MUI Sumatera Barat (Sumbar), Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa menegaskan, bahwa esensi dari agama Baha’i tersebut adalah ajaran sesat. “Bahaiyyah ditinjau dari latar belakang sejarah, esensi ajaran dan gerakan penyebaran merupakan ajaran sesat yang menodai ajaran Islam dan menjadi pintu masuk musuh untuk merusak umat Islam,” katanya (suara.com, 30/7/2021).

Sisten kapitalisme demokrasi yang memang memperbolehkan masyarakat untuk bertindak dan bertingkah laku sebebas-bebasnya, bahkan dalam beragama sekalipun boleh bebas kebablasan. Inilah yang terjadi di negeri yang mayoritas Islam ini, dimana seharusnya akidah umat dijaga dan tugas pemerintah untuk menjaga akidah umat Islam, tapi jikalau saat ini mengharapkan hal demikian, rasanya mustahil akan didapatkan.

Jelas-jelas Menag adalah refresentasi dari simbol pemerintah dalam mengurusi perihal ke agamaan umatnya, terutama perwakilan umat Islam toh nyatanya malah terang benderang mengakui eksistensi agama yang sesat, berdalih negara kita demokrasi.
Islam sangat jauh berbeda dengan demokrasi, Islam memiliki sistem pemerintahan khilafahnya. Dalam khilafah, khalifah adalah perisai tempat umat berlindung padanya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa atau azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim). 
 
Negara khilafah wajib menjaga akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan, serta penyesatan sebagaimana syariat Islam berfungsi  menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keamanannya. Terhadap aliran-aliran sesat, negara khilafah akan  menghentikan aktivitasnya, membubarkan jamaah atau organisasinya. 

Adapun orang-orang yang terjebak pada aliran sesat tersebut, negara khilafah akan memberikan pendampingan berupa pembinaan hingga ia kembali pada akidah yang lurus, memberikan pemahama, menjelaskan kesesatan dan kepalsuan ajaran tersebut dengan bukti dan argumentasi yang mampu memuaskan akal pikiran dan perasaanya. Serta mendorong agar mereka melakukan taubatan nasuha.
Maka jelaslah jika umat Islam dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini semakin mengalami kerugian yang besar, akibat sistem yang mengagungkan kebebasan beragama ini. Inilah saatnya kita menyadari bahwa hakikat manusia kembali kepada aturan Sang maha Penciptanya yaitu Allah SWT. 

Kembali kepada Islam, diterapkannya sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiyyah tentu akan kita dapatkan penjagaan akidah umat serta kemaslahatan dalam seluruh aspek kehidupan ditambah keberkahan yang akan mengiringi setiap sendi kehidupan kita, Masya Allah. 

Wallahu 'alam bishowab.[].

Post a Comment

Previous Post Next Post