Masalah Miras Tak Kunjung Tuntas


Oleh Ummu Raisya 
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah 

Dalam rangka memperingati HUT Bhayangkara ke-75, Polresta Bandung bersama dengan Forkopimda Kabupaten Bandung memusnahkan 11.570 botol minuman keras (miras) berbagai merk dan  1.500 liter tuak di halaman Mapolresta Bandung. Jumlah sebanyak itu merupakan hasil razia sejak Januari sampai Juni 2021.(dara.co.id, 1Juli 2021)

Masalah peredaran miras di negeri ini tak kunjung tuntas. Padahal, razia terus dilakukan oleh pihak kepolisian. Tentunya hal tersebut menjadi pertanyaan bersama. Kenapa begitu sulitnya masalah miras ditangani? Apakah karena penanganannya yang keliru atau ada faktor lain sehingga masalahnya tak kunjung tuntas?

Menurut Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan, penyebab maraknya para penjual miras di Kabupaten Bandung disebabkan kesadaran masyarakat yang masih kurang. Karenanya, Bupati Bandung, Dadang Supriatna meminta kerjasama dari seluruh pihak mulai dari pemerintahan tingkat daerah sampai RT untuk menekan angka peredaran miras tersebut. Dengan harapan Kabupaten Bandung bisa mencapai zero minol. Selain razia, untuk memperketat peredaran miras pemerintahan merancang peraturan daerah tentang miras atau minol. 

Dalam menyelesaikan masalah miras, perlu untuk melihat dari berbagai sisi. Jika diperhatikan, faktor penyebab terjadinya kecanduan miras tidak jarang disebabkan oleh berbagai permasalahan hidup yang membuat depresi dan miras dijadikan sebagai pengalihan. Mulai dari persoalan ekonomi, keluarga, pendidikan dan lain sebagainya, yang membuat otak kacau dan tidak berpikir panjang akan bahaya yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi miras. 

Tidak hanya itu, gaya hidup dan pengaruh lingkungan sosial yang bebas dan sekuler pun bisa menjadi pemicu kecanduan miras. Diperparah dengan adanya regulasi pemerintah yang tidak melarang secara tegas peredaran minuman beralkohol tersebut. Seperti isi pasal-pasal peraturan daerah yang  tidak memuat larangan melainkan hanya sekedar pembatasan peredaran minol atau miras. Padahal, seharusnya untuk pembahasan rancangan peraturan daerah yang baru harus sampai pada titik kesepahaman terkait pelarangan produksi, distribusi dan konsumsi minol atau miras secara menyeluruh. Langkah ini ditempuh sebagai upaya preventif terhadap maraknya peredaran miras. 

Pembahasan penyelesaian masalah miras yang berlarut-larut, menunjukkan begitu tidak berdayanya pemerintah dalam menentukan arah dan tujuan pengelolaan negara. Padahal seharusnya pemerintah bisa melindungi masyarakat dari bahaya minuman yang memabukan ini. 

Akan tetapi karena sekulerisme dan penerapan ekonomi kapitalisme yang begitu melekat kuat, maka  kebijakan yang dibuat pun tidak mampu menyelesaikan sampai ke akarnya. Standar manfaat dan kepentingan lebih diutamakan. Terutama oleh segelintir orang yang meraup keuntungan besar dalam bisnis minuman keras ini. Tentunya, mereka akan menjadi pihak yang paling tidak setuju dengan pemberlakuan aturan pelarangan peredaran miras secara total. Akhirnya terjadi tarik-menarik kepentingan. Jika demikian harapan zero minol niscaya akan sulit terwujud. Penyelesaian masalah miras membutuhkan solusi yang menyeluruh dan terintegrasi satu sama lain. Artinya dibutuhkan upaya preventif, kuratif hingga represif yang tegas dan keras. Tidak bisa hanya berupa himbauan kepada masyarakat saja ataupun razia. Sementara produksi, distribusi maupun promosi masih legal secara undang-undang.
 
Ketika Islam datang, keharaman miras telah tegas ditetapkan, hal ini bertujuan untuk menjaga dan melindungi akal manusia dari kebahayaannya. Karena tidak ada kebaikan sedikit pun dari barang haram tersebut, bahkan lebih banyak mudharatnya. Allah Swt. begitu tegas menetapkan larangannya dalam kalam-Nya :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (TQS. al-Maidah : 90) 

Selain berdosa bagi yang mengkonsumsinya, berdosa juga bagi siapa saja yang terlibat dalam aktifitas produksi, distribusi dan promosi miras. 
"Allah mengutuk khamr, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penahan atau penyimpannya, pembawanya, dan penerimanya." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)

Sanksi bagi peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan akan dikenai hukuman cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Sebagaimana yang  dilakukan oleh Rasulullah yang pernah memberikan cambukan sebanyak 40 kali. Dan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab,  80 kali cambukan. Jumlah hukuman cambukan yang ditetapkan  pun merupakan suatu ketetapan sunnah. 

Dan bagi selain peminum khamr  seperti penyaji, pedagang, pembeli, pemeras, penyimpan, pembawa hingga penerima pun  tidak akan luput dari hukuman. Mereka diberi hukuman berupa ta'zir yaitu hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim) sesuai dengan ketetapan syariah yang tentunya akan memberikan efek jera. 

Penerapan aturan Islam sejatinya akan sulit dilakukan dalam sistem kapitalisme seperti saat ini. Oleh karenanya, untuk mencapai solusi tuntas dalam menyelesaikan masalah miras diperlukan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan kembali negeri yang akan  menerapkan aturan Islam secara menyeluruh di atas muka bumi. Karena hanya Islam yang sudah terbukti memberikan solusi secara mengakar bagi seluruh permasalahan manusia termasuk perkara minuman keras.

Wallahu'alam bi ash-Showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post