Fatimah Nasution

By Rumaisha

"Kamu ... kamu membaca buku-buku ini?" Sergah Anita. Nada bicaranya tinggi. Terlihat ada kemarahan di raut wajahnya yang sudah mulai keriput.

"Iya, Ibu," Mary menatap ibunya dengan tenang.

Tidak cukup sampai di situ, Anita membuka lemari buku yang ada dekat tempat tidur Mary. Selain buku-buku pelajaran umum, ia menemukan buku-buku agama yang asing dalam pandangannya. Satu-persatu ia baca judulnya, "Sistem Peraturan Hidup dalam Islam, Sistem Pergaulan dalam Islam, dan ada beberapa lagi buku agama yang lainnya.

Pandangannya semakin liar. Sebuah kitab suci yang sering ia lihat dan dibaca banyak orang, tersembunyi agak tersembunyi ke dalam. Al-Quran, kita sucinya umat Islam.

"Kenapa benda ini, ada di sini? Apakah kamu juga membacanya?"

"Mary tertarik kepada Islam Bu. Mary ... mungkin akan memeluk agama ini," setengah tak sadar ia mengucapkannya.

"Apa?" kata Anita setengah membentak. Bola matanya melotot, seakan mau keluar dari tempatnya.

"Mary bilang, Mary mungkin akan memeluk Islam," ulangnya dengan suara lebih keras.

"Ibu tidak setuju!" 

"Tetapi, Mary sudah yakin Bu. Mary sudah menemukan apa yang selama ini dicari." 

Tak dipungkiri, setelah ia banyak membaca buku-buku yang dipinjam dari sahabatnya Wadiah, hatinya semakin mantap. Mary semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, yang bisa menjadi solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan yang hari ini karut marut. Terutama, setelah sampai ke pembahasan tiga pertanyaan besar yang wajib dijawab oleh setiap orang. Dari mana  berasal, untuk apa hidup, dan mau kemana kelak setelah kehidupan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menghantarkan ia kepada sebuah keyakinan, bahwa di balik  manusia, alam semesta, dan kehidupan ada Pencipta, yang menciptakan segalanya dari tidak ada menjadi ada, Allah Swt. Kekuatan inilah yang semakin memantapkan untuk melangkah lebih jauh. 

"Kamu sinting!" rutuk  ibunya, membuyarkan lamunannya.

Sejak itulah terjadi perang dingin antara Mary dan ibunya. Sedangkan Deni, sikapnya lebih terbuka, dan menerima keputusan Mary yang akan pindah keyakinan. Menurutnya, yang penting anak-anak mereka memiliki sebuah keyakinan beragama. Keluarga Deni sendiri, banyak yang Muslim, mungkin inilah yang membuatnya bersikap demokratis dan tidak memaksakan kehendak kepada keluarganya.

"Biarkan saja Bu, Mary sudah besar. Kita juga jadi orang tua jangan egois," kata Deni, sambil menyeruput kopinya.

"Tidak, Ibu tidak setuju kalau Mary pindah agama. Lebih baik kehilangan satu anak, dari pada nanti mencoreng nama baik keluarga. Toh kita masih punya si Anton."

Dari hari ke hari, sikap ibunya semakin memperlihatkan kebencian. Tidak pernah ditanya, mereka bagai orang asing di dalam rumah. Uang jajan pun distopnya. Segala kebutuhannya dihentikan, padahal ia belum menjadi seorang muslimah sejati.

Untung saja, uang tabungannya selama ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tanpa sepengetahuan ibunya, bapaknya kerap memberikan uang tambahan, walaupun ala kadarnya. 

Akhirnya, untuk menghindari konflik yang lebih keras dengan ibunya, Mary untuk sementara berniat  menumpang di rumah sahabatnya, Wadiah. Orang tua Wadiah sendiri, pemeluk Islam yang taat. Ayahnya, ketua DKM, di lingkungan tempat tinggalnya yang berdomisili di Bandung.

Setelah ngobrol via telpon dengan Wadiah, akhirnya Mary memutuskan lusa untuk berangkat ke Bandung dengan menggunakan kereta malam dari stasiun Solo Balapan.

"Kamu bisa jemput aku di stasiun nanti?" tanya Mary.

"Insya Allah. Tenang saja, Bandung aman buat pendatang he he," sahut Wadiah.

"Sampai ketemu nanti ya!" suara di seberang menutup pembicaraan.

Hari yang sudah dijanjikan pun tiba. Mary berbicara kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke Bandung menemui sahabatnya. Tidak ada reaksi dari ibunya, tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya. Keheningan malam menjadi saksi bisu kala itu. Hanya bapaknya yang terlihat khawatir atas kepergiannya. Mary tahu, ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Di rumah ibunya yang berkuasa terhadap semua keputusan.

"Hati-hati di jalan, kasih kabar kalau sudah sampai di sana," bapaknya mengingatkan.

*****

Seorang gadis dengan gamis hitam kerudung biru dongker sudah duduk di stasiun. Di sebelahnya, ada seorang bapak paruh baya duduk sambil membaca harian pagi "Pikiran Rakyat." Saking asyiknya, ia tidak menyadari anaknya memanggil-manggil dari jarak yang agak jauh.

"Ayah, ayo, keretanya sudah sampai," katanya sambil menarik lengan ayahnya.

"Ya ... ya bentar."

"Mary ... senang bertemu denganmu. Selamat datang di kota kembang!" katanya sambil mengembangkan kedua tangannya, menyambut sahabatnya.

"Makasih sahabatku, entah apa jadinya kalau enggak ada kamu."

"Pagi Om," Mary menganggukkan kepala ke sosok bapak yang ada di sebelah Wadiah.

"Pagi, Nak, panggil aja Ayah, biar lebih akrab." kata Pak Hasan.

"Iya ... iya Aaaayah," panggil Mary agak canggung dan malu.

"Santai aja, Ayahku paling baik sedunia," kata Wadiah merajuk.

Setelah semuanya beres, akhirnya mereka meninggalkan stasiun Bandung dengan perasaan bahagia. Mary menarik napas lega, ia bersyukur punya keluarga baru yang sangat baik.

Seminggu setelah Mary tinggal di rumah Wadiah. 

"Alhamdulillahirabbil 'Alamin." Hadirin semuanya nyaris berbarengan mengucapkan kalimat itu saat Mary mengucapkan kalimat syahadat. Mengenakan gamis dan khimar serba putih, Mary terlihat lebih anggun dengan pakaian kebesarannya. Mary tampak lega, seakan-akan ia terlahir kembali dari rahim ibunya. Ia teringat dari buku yang dibacanya dari hadis Nabi Muhammad saw. bahwa semua anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah, dalam keadaan suci, orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Matanya berkaca-kaca. Dua butir air matanya  bergulir, melelehi pipinya.

"Hadirin sekalian, mulai saat ini saudara kita ini atas keinginan sendiri berganti nama Fatimah. Fatimah Nasution. Ia menggunakan nama itu sebagai tanda kecintaannya kepada mereka yang telah melahirkan, mendidik, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang," ucap Imam Ahmad yang tadi membimbing Mary masuk Islam.

Tanpa berjabat tangan, Imam Ahmad mengucapkan selamat kepada Fatimah Nasution. Lalu keduanya berdiri. Imam mempersilahkan hadirin untuk memberi ucapan selamat kepada Fatimah.

Wadiah memeluk Fatimah dengan linangan air mata. Tak menyangka sahabatnya ini, akhirnya mempunyai keyakinan yang sama. Seorang muslimah, predikat yang agung bagi siapa pun. Hidayah telah menyapanya setelah tujuh bulan terakhir dalam proses pencarian, melihat fakta, memahami  yang ada di sekitarnya. Ketika Allah Swt. sudah berkehendak, maka hidayah itu akan datang tepat pada waktunya. Kepada siapapun, tanpa mengenal status ekonomi, suku, ataupun warna kulit.

"Terima kasih, kau selalu ada di saat-saat aku sulit," katanya, sambil memeluk balik Wadiah.

"Nak, selamat ya, engkau sekarang sudah menjadi muslimah. Jangan sungkan kalau ada kesulitan, kami pasti akan membantumu."

"Ya, Ayah. Terima kasih, jangan bosan mengingatkan dan megajarkan saya tentang Islam."

Di pojok masjid yang terasing dari keramaian, seorang laki-laki memperhatikan mereka. Ia tidak berani untuk menghampiri, tetapi ia mengetahui dengan pasti siapa yang baru saja mengucapkan syahadat tersebut.

Yunus, nama laki-laki itu adalah sepupu Wadiah. Ia baru saja datang dari menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di daerah Solo. Selain keilmuannya dalam hal agama, ia juga seorang anak yang sangat bertanggung jawab. Selama di pondok, biaya kebutuhannya, ia cari sendiri agar tidak terlalu memberatkan orang tuanya. Maklum orang tuanya hanya buruh tani di desa.

Sejak lama, Wadiah senantiasa menceritakan tentang sosok Fatimah kepadanya, dari mulai sifat, sampai latar belakang keluarganya.

Begitu juga, Wadiah menceritakan perihal sepupunya kepada Fatimah. Ia berharap, mereka akan berjodo, dan Yunus bisa membimbing Fatimah yang mualaf untuk lebih memahami Islam.

"Hai, ada salam buat kamu," ungkap Wadiah di telinga Fatimah sambil menunjuk ke arah laki-laki  yang ada di pojokan.

"Itu, Yunus, yang sering aku ceritakan," lanjutnya.

" Ooohh."

Pandangan keduanya bertemu. Tetapi Yunus cepat-cepat menundukkan pandangan ke arah lain.

Fatimah sendiri tidak berharap banyak Yunus menyukainya dan mau menjadikannya istri. Ia menyadari siapa dirinya, dan pasti Wadiah sudah menceritakan siapa keluarganya.

Fatimah berharap dan berdoa, seandainya Yunus adalah jodohnya, ia berharap Yunus adalah malaikat penolongnya yang akan membimbingnya agar lebih memahami Islam lebih baik lagi, agar hijrahnya semakin sempurna. Itulah, harapan yang ia sematkan di penghujung malam-malamnya. 

"Ayo, Nak kita pulang. Ibu sudah menyiapkan selamatan sederhana untuk kamu," ajakan Hasan membuyarkan lamunannya yang indah.

"Iya, hayu!" celetuk Wadiah yang ada di sampingnya.

Mereka akhirnya pulang, berjalan bersama dengan yang lainnya. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari masjid. Tujuh menit perjalanan mereka sampai di sebuah rumah sederhana yang asri. Ibu Aminah sudah menyambutnya di halaman. Ia mengucapkan selamat kepada Fatimah sambil memeluknya sehangat pelukan ibunya di rumahnya. Ibu Aminah juga sudah mempersiapkan makanan ala kadarnya untuk tasyakur bi nikmat atas masuk Islamnya Fatimah. Ia sudah menganggap Fatimah sebagai putrinya sendiri.

Fatimah sangat terharu dengan apa yang ia dapatkan dari keluarga barunya. Persahabatannya yang tulus dengan Wadiah begitu berharga dan menghantarkan ia ada dalam kondisi seperti ini. Ada di dalam keridaan Allah Swt. Obrolan-obrolan  sederhana dengan Wadiah di media sosial yang telah berlangsung lama membawa barakah, menghujam di dalam dadanya dan ia bisa menjemput hidayah dengan limpahan barokah. "Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba menyerahkan segala urusan hamba, jangan palingkan kembali keyakinan hamba. Kuatkan iman hamba, Aamiin."

Dua bulan setelah menjadi mualaf, Yunus dengan tekad yang bulat dan hasil dari istikharahnya mengkhitbah Fatimah lewat pak Hasan, uwanya. Yunus tidak mau menunda kalau itu tentang kebaikan. Orang tua dan keluarga besarnya juga tidak keberatan atas keputusannya.

Gayung bersambut, Fatimah pun menerima niat baik Yunus. Ia berpikir, dengan menikah akan menyempurnakan hijrahnya untuk menjadi seorang muslimah yang sejati. Bersama mengarungi bahtera rumah tangga yang diridai Allah Swt. Semoga sakinah, mawaddah dan rahmah melingkupi keluarga barunya kelak.

Tamat

Post a Comment

Previous Post Next Post