Ritel Gulung Tikar, Siapa Bertanggungjawab ?

Oleh Ummu Raisya 
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

Pada akhir Juli 2021 PT Hero Supermarket Tbk atau Hero Group menjadi perusahaan ritel terbaru yang akan menutup semua gerai hipermarket Giant. Penutupan tersebut menjadi bagian dari strategi perusahaan untuk memfokuskan bisnisnya ke merk dagang IKEA, Guardian dan Hero Supermarket yang memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan Giant (Liputan6.com,25/5/2021)

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey menanggapi hal tersebut, bahwa tutupnya gerai ritel modern di masa pandemi ini, salah satunya disebabkan tingkat konsumsi di daerah tersebut rendah. 

Memang tak dipungkiri, selama pandemi perekonomian dunia porakporanda. Banyak perusahaan yang gulung tikar, tidak mampu bertahan, termasuk perusahaan ritel itu sendiri. 

Hal yang memprihatinkan, dampak dari tutupnya perusahaan ritel menjadi bertambahnya angka pengangguran. Keadaan ini memicu meningginya angka kemiskinan, kriminalitas, hingga rontoknya sendi-sendi keluarga. 

Sementara tutupnya perusahaam ritel tidak hanya dialami Giant. Toko ritel besar lainnya seperti Matahari Departemen Store sudah lebih dulu tutup. Terbayang bagaimana besarnya pertambahan jumlah pengangguran di negeri ini. 

Sebenarnya, munculnya kelesuan toko ritel sudah ada sejak tahun 2011, saat pertumbuhan ekonomi melemah dan pandemi memperparah kelesuannya. Lalu benarkah jika tutupnya toko-toko ritel disebabkan pandemi yang sudah mengubah perilaku belanja konsumen dari offline menuju online?

Menurut Staf Ahli Aprindo, Yongky Susilo mengatakan bahwa pertumbuhan e-commerce cepat sekali, namun keuntungannya masih sangat kecil. Total ritel di Indonesia memiliki nilai mencapai Rp 8.000 triliun, sementara e-commerce baru mencapai Rp120 triliun. 

Lanjutnya, Yongky menyebutkan terpuruknya sektor ritel lebih dipengaruhi oleh krisis global yang juga berimbas pada Indonesia. Kondisi ini dialami oleh negara-negara lainnya yang menyebabkan masyarakat menurunkan konsumsi ke produk yang lebih murah, bahkan cenderung mengurangi konsumsinya.

Ditambah kondisi ekonomi dalam negeri lainnya, berupa defisitnya neraca perdagangan, kebijakan impor yang mematikan produsen lokal. Kemudian adanya inflansi yang melemahkan mata uang rupiah yang secara otomatis berpengaruh pada harga-harga barang dan jasa menjadi meningkat. Jika harga barang dan jasa tinggi, maka daya beli masyarakat menurun. 

Apalagi jika kondisi pendapatan masyarakat rendah dan angka pengangguran tinggi akan semakin menurunkan daya beli masyarakat secara drastis. Dikarenakan tidak memiliki uang untuk membeli barang atau jasa yang harganya melambung. Inilah penyebab toko ritel besar tak memiliki pembeli. 

Oleh karena itu terjadinya fenomena banyak toko-toko ritel tutup bukan disebabkan karena pandemi yang mengubah perilaku belanja dari offline menuju online. Tapi, karena krisis global yang memporak porandakan seluruh negara. Pandemi hanyalah sebagai pemicu kian terpuruknya krisis ekonomi pada krisis seluruh sendi kehidupan.  

Krisis global bukanlah hal baru mendera dunia. Kondisi ini akan terus terjadi dan berulang selama sistem ekonomi dari Kapitalisme yang diterapkan oleh hampir seluruh negara di dunia dipertahankan. 

Sistem yang berasal dari Kapitalisme pula sebenarnya yang menjadikan pandemi ini kian larut tak berkesudahan. Karena Kapitalisme telah melegalkan penanganan wabah di bawah korporasi multinasional yang tidak memiliki kepentingan selain keuntungan untuk perusahaannya. 

Kondisi diperparah dengan membiarkan liberalisme dan privatisasi ala kapitalisme dalam mengelola kekayaan alam. Artinya pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan asing yang manfaat tak sepenuhnya dinikmati rakyat. Padahal kekayaan alam merupakan salah satu aset ekonomi yang bisa menjadi penopang tatkala terjadinya krisis ekonomi. 
Akan tetapi, sayangnya sumber pendapatan negara lebih bertumpu pada pajak, dimana beban yang diterima rakyat akan semakin berat, ketika pemerintah terus menekan rakyatnya bayar pajak. 

Inilah derita hidup dalam sistem Kapitalisme. Pandemi tak mampu dihentikan. Kehidupan makin terhimpit serta perusahaan ritel dan lainnya ikut hancur akibat sistem buatan manusia ini. 

Tanpa disadari, umat sudah terlalu lama merasakan penderitaan dan kesengsaraan hidup dibawah penerapan sistem Kapitalisme. Sudah saatnya umat ini mulai berfikir dan menyadari untuk menyelesaikan persoalan ini. Yaitu solusi yang bisa mengembalikan harta rakyat dan memberikan kesempatan untuk hidup sejahtera. Diantaranya nilai mata uang yang dipegang masyarakat stabil dan bernilai tinggi. Lainnya, sistem perdagangan yang adil, tanpa ada monopoli atau kartel dan pajak mampu tercipta. Terlebih intervensi asing. 

Semua ini bisa terwujud manakala kehidupan diatur oleh Islam. Dan Islam telah membuktikannya sama belasan abad lamanya. Rasulullah saw sendiri memberikan keteladanan bagaimana mewujudkan keselarasan ekonomi dan mencegah kesenjangan ekonomi. Setelah hijrah ke Madinah, pertama kali yang dilakukan yaitu membangun pusat ibadah dan pemerintahan, kemudian mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Saat itu kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah merupakan golongan ekonomi menengah ke atas. Sedangkan kaum Muhajirin rata-rata miskin di negeri Madinah. 

Dari persaudaraan ini, kaum Muhajirin mendapatkan akses harta dengan menjadi petani dan pedagang. Situasi perdagangan di Madinah pun ramai oleh masyarakat tanpa ada monopoli. 

Rasulullah saw pernah memberikan harta ghanimah yang diberikan pada kaum Muhajirin dan dua orang Anshar yang dhuafa untuk mencegah kesenjangan ekonomi. Sehingga terjadi keselarasan pendapatan. Pengaruhnya, daya beli masyarakat pun tetap terjaga dan hidupnya perekonomian di sektor riil.  

Inilah yang menjadikan stabilitas ekonomi dalam negeri, bahkan kesejahteraan pun dirasakan seluruh lapisan masyarakat. 
Wallahua'lam bi Ash-Showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post