Rakyat Menjerit, Pajak Melejit

Oleh Aisyah
(Pendidik generasi dan Aktivis Subang)

Pernyataan tentang yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin, menjadi gambaran aktual di negeri plus enam dua. Mengapa demikian? Sebab hanya di negeri inilah koruptor merajalela, sedang rakyat kecil terus-terusan dipalak demi pembangunan dan kesejahteraan. Negara memungut pajak atau  PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dengan berbagai variasi.

Akhir-akhir ini pemerintah kembali menuai kebijakan yang kontroversial, yakni berencana akan mengenakan PPN pada sembako, dan bukan itu saja namun terhadap biaya sekolah dan jasa ibu melahirkan. Wacana pengenaan PPN tersebut tertuang dalam rencana revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(cnnindonesia.com,10/06/2021).

Rencana pungutan PPN tersebut pun menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan. Mulai dari ikatan para pedagang, pengusaha, dan pastinya adalah ibu-ibu rumah tangga, karena mereka setiap hari berurusan langsung dengan sembako.

Sungguh ironis memang, saat penghasilan rakyat merosot akibat Covid-19, ditambah lagi dengan banyaknya pekerja yang terkena PHK. Lain lagi harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung naik, pemerintah justru berwacana mengenakan PPN pada kebutuhan sembako. Maka bagai perumpamaan hidup segan mati tak mau.
Itulah gambaran yang dirasakan rakyat saat ini.

Hal ini memang sudah tidak aneh terjadi di negeri pengusung ideologi sekuler kapitalis, karena pendapatan negara selain didapatkan dari sumber daya alam yang sebagian besarnya dikelola swasta, juga didapatkan melalui utang dan pajak.

Dengan berutang, negara senantiasa akan tunduk kepada pemberi utang (baca: para kapitalis), karena dalam kapitalis tidak ada makan siang gratis, maka untuk menutupi itu semua dengan sendirinya negara akan menyerahkan bahkan mengorbankan kekayaannya tanpa peduli lagi terhadap rakyatnya. Bahkan dengan seenaknya negara terus menerus membebani rakyatnya melalui berbagai jenis pungutan pajak. Mulai dari pajak tanah bumi bangunan, pajak penghasilan, jasa dan kini sembako.

Beda halnya dengan Islam. Negara dalam sistem Islam sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Negara menjamin semua kebutuhan rakyatnya mulai dari sandang, pangan dan papan.

Pemasukan dalam negara Islam diperoleh dari: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan yang masuk dalam kas negara atau baitul maal.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitul mal tetap harus berjalan. Jika di baitul mal ada harta, maka dibiayai dari itu. Namun, Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat baitul mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai atau terpenuhi. Sehingga jika baitul mal mempunyai dana untuk mengcovernya maka tidak ada kewajiban negara memungut pajak.

Dengan demikian hanya dalam penerapan Islam kafah-lah rakyat senantiasa akan sejahtera.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post