Rakyat Dipalak Pajak, SDA Dikuasai Korporat




Oleh : Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)

Gelisah, begitulah yang dirasakan masyarakat ketika mendengar rencana pemerintah akan menarik pajak pada 12 bahan makanan pokok dan jasa pendidikan. Bagaimana tidak, hal tersebut dilakukan ditengah kondisi masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup terutama pasca menghadapi dampak pandemi Covid-19. Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Apabila pengenaan pajak atas sembako dan jasa pendidikan jadi dilaksanakan rakyat akan menjadi semakin susah.
Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas sembako dan jasa pendidikan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang disampaikan oleh Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) melalui email yang dikirimkan secara serentak kepada wajib pajak. Ditjen Pajak menyebutkan di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi, pemerintah memandang perlu menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, diantara usulannya perubahan pengaturan PPN. (Dikutip dari kompas, 13/06/2021)

Berpijak pada pajak dalam menopang kondisi ekonomi sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Bahkan hal tersebut sudah tercantum sebagai salah satu sarana pemenuhan kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menutupi defisit. Sebagaimana dicantumkan pada UU No 20 tahun 2019 bahwa pendapatan pemerintah didapatkan melalui penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Dilansir pada laman Kemenkeu RI bahwa jumlah pendapatan negara dari penerimaan perpajakan adalah sebesar 1.481,9 T.

Hal tersebut semakin memberi kesan bahwa sistem ekonomi negeri ini bercorak kapitalis dimana mengandalkan pada utang dan pajak dalam menopang ekonomi. Nampak dalam mekanismenya, negara terus memaksimalkan pajak agar kebutuhan negara bisa tercukupi. Hal ini sekaligus mengarahkan negara untuk terus memalak rakyatnya. Padahal apabila negara ini mampu mengelola kekayaan alam dengan baik, maka hal itu sudah cukup untuk membiayai pengeluaran negara. 

Sesungguhnya, Indonesia memiliki sumber kekayaan alam (SDA) yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik secara mandiri, hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat. Sayangnya, sistem ekonomi di negeri ini telah  melegalkan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh korporasi. Sehingga pemerintah kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta/asing. Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta maupun asing. 

Selayaknya, Indonesia merujuk pada aturan pencipta dalam mengatur sistem ekonomi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh negara Khilafah dalam menyelenggarakan pemeliharaan seluruh urusan rakyat dan melaksanakan aspek administratif terhadap harta yang masuk ke negara, termasuk juga cara penggunaannya, sehingga memungkinkan bagi negara untuk memelihara urusan masyarakat dengan baik. Dalil-dalil syara' telah menjelaskan sumber-sumber pendapatan harta negara, jenis-jenisnya, cara perolehannya, pihak-pihak yang berhak menerimanya serta pos-pos pembelanjaannya.

Baitul Mal adalah bagian dari struktur sistem pemerintahan  Khilafah Islamiyah yang bertugas mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang sesuai dengan syariah islam untuk mensejahterakan rakyatnya secara orang-perorang dan menyeluruh. Dalam tata kelolanya, anggaran negara akan dibagi berdasarkan pos-pos yang ditinjau dari jenis harta dimana terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari fa’i dan kharaj yang menghimpun pemasukan dari ghanimah, fa’i, anfal, khumus anfal, kharaj, jizyah, harta milik negara, harta ilegal penguasa, harta waris yang tidak ada ahli warisnya, dan harta dharibah. Bagian kedua adalah bagian pemilikan umum yang menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan harta milik umum. Bagian ketiga, bagian zakat yang menghimpun harta zakat.

Perbedaan jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu, memberikan batasan kepada khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara. Khalifah tidak boleh mencampuradukan ketiga bagian penerimaan tersebut baik dari sisi pencampuran harta maupun administrasi pembukuan. Khalifah juga tidak boleh mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang memang tidak memiliki hak terhadap bagian penerimaan tertentu. Pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu bagian penerimaan negara ke pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan negara lainnya dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhiketentuan syariah, misalnya kas baitul mal kosong. 

Melalui pengaturan yang demikian, wajar apabila ketika Khilafah tegak selama berabad-abad lamanya, tidak pernah ada pungutan pajak. Khilafah bisa mendapatkan pendapatan yang besar dan beragam tanpa harus membebani rakyat dengan pajak maupun utang luar negeri. Sebab bersumber dari aturan sang pencipta manusia dan alam semesta akan melahirkan sistem ekonomi yang manusiawi dan mensejahterakan. Mekanisme demikianlah yang selayaknya diterapkan di negeri ini. 
Wallahu alam bi shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post