Polemik Pembatalan Haji 2021


Oleh : Inna Indigo Hakim, S.Pd

Untuk kali kedua, calon jemaah haji Indonesia harus menelan kekecewaan. Pemerintah memutuskan haji tahun ini kembali ditiadakan. Alasannya, masih pandemi. Bukan hanya kecewa, calon jemaah haji benar-benar marah. Pasalnya, alasan keputusan ini terkesan mengada-ada. Malah menjadikan pihak Saudi sebagai kambing hitam.

Pemerintah beralasan, gegara pandemilah pihak Saudi tak memberi ruang bagi jemaah Indonesia. Padahal nyatanya, pihak otoritas Saudi sama sekali belum mengambil keputusan apa-apa. Hal itu tampak dari klarifikasi yang disampaikan Dubes Saudi. Hingga ia mengkritik, semestinya pemerintah berkomunikasi dengan pemilik otoritas di Saudi. Supaya info yang disampaikan benar-benar valid.

Pembatalan ini menimbulkan persoalan lain, yakni menambah panjang daftar antrean keberangkatan calon jemaah haji di Tanah Air. Sampai tahun ini, antrean terlama di Indonesia adalah pada tahun 2055. Sebagai negeri muslim dengan jumlah warga muslim yang besar, calon jemaah haji Indonesia patut kecewa karena batal berangkat selama dua tahun berturut-turut. Bagaimana kondisi ini bisa terjadi ?. Warga negara Indonesia yang muslim dan mampu akan terdorong untuk melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima ini. Mereka pun dan akan berusaha mengupayakan serta mempersiapkannya sebaik mungkin.

Jika negara serius mengurus rakyatnya, untuk ibadah yang pengurusannya rutin dilakukan negara setahun sekali ini, sebenarnya pemerintah memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari sebelumnya, termasuk mengatasi hambatan jika ada. Jangan sampai rakyat berkali-kali kecewa kepada pemimpinnya karena alasan yang seharusnya masih bisa diupayakan. Maka, komitmen Pemerintah sangat patut untuk kita pertanyakan kembali. Bagaimana peran negara menjamin kewajiban ibadah haji bagi warga negaranya?

*Pengurusan Haji dalam Islam*
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Inilah tugas pemimpin di dalam Islam, yaitu sebagai pengurus kebutuhan umat. Khalifah bertanggung jawab atas apa yang menjadi kebutuhan umat, termasuk permasalahan ibadah. Khalifah akan menciptakan sistem yang dapat menjaga jawil iman masyarakat, salah satunya dengan memfasilitasi warganya beribadah. Sehingga, mereka akan khusyuk menjalankannya, tanpa dibebankan permasalahan teknis lainnya.
Pengurusan haji termasuk pemberangkatannya adalah satu upaya khalifah melayani warganya dalam beribadah. K.H. Hafidz Abdurahman memperinci apa saja yang menjadi kebijakan khalifah dalam mengatur permasalahan haji agar umat bisa dengan mudahnya beribadah haji.

Pertama, khalifah membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga daerah. Departemen ini mengurusi urusan haji, mulai dari persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke negara asal. Departemen ini bisa berhubungan dengan Departemen Kesehatan dan transportasi.

Kedua, ongkos naik haji (ONH), besar kecilnya disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jaraknya dengan tanah haram (Makkah—Madinah). Adapun penentuan ONH bukan berdasarkan untung rugi, apalagi menggunakan dana haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Namun, paradigma yang harus dibangun adalah negara sebagai pengurus urusan umat. Hal ini akan memudahkan jemaah untuk pergi haji, misalnya dengan meringankan biaya haji. Semua itu adalah bentuk ketundukan penguasa pada syariat.

Seperti pada masa Kekhalifahan Utsmani, Khalifah Sultan Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jemaah haji dari berbagai pelosok dapat dengan mudah melaksanakan ibadah haji. Begitu pun yang dilakukan Khalifah pada masa Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekkah—Madinah). Di masing-masing titiknya dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, seperti KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir. Maka dari itu, rumitnya permasalahan birokrasi haji saat ini, faktor terbesarnya adalah karena negeri-negeri muslim sedang disekat-sekat oleh nasionalisme.

Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah. Kuota bisa berdasarkan hadis kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Dengan data yang akurat, Khalifah akan memprioritaskan jemaah yang memang belum pernah pergi haji. Begitu pun kuota bisa berdasarkan pada dalil kewajiban haji dan umrah pada seseorang yang mampu. Sehingga, seseorang yang belum mampu tidak usah memaksakan.

Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah Madinah tidak boleh menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam. Inilah yang dilakukan Khalifah agar warganya bisa beribadah dengan khusyuk. Maka dari itu, wahai kaum muslim, sesungguhnya polemik pengurusan haji termasuk pemberangkatan haji saat ini disebabkan oleh tata kelola negara yang bercorak sekuler, yang tak pernah serius mengurusi kebutuhan umat apalagi permasalahan ibadah.

Sungguh, kaum muslim akan bisa beribadah dengan tenang, termasuk berhaji dengan mudah jika seluruh pengurusan kehidupan kita kembalikan pada penerapan syariat Islam secara Kaffah. Wallahu’alam Bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post