Pembatalan Haji 2021 serta Tanggung Jawab Negara


Oleh  Ummu Aziz

Masyarakat terpaksa menelan pil pahit lagi, karena mendapat kabar pembatalan ibadah haji pada tahun ini. Penyelenggaraan  keberangkatan haji tahun 2021 resmi dibatalkan. Keputusan ini merupakan keputusan final setelah mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi.

Keputusan ini juga mendapat dukungan dari komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 juni 2021 kemarin di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M.
Keputusan pemerintah membatalkan keberangkatan jamaah haji 2021 menuai kontroversi. Di tengah polemik, muncul isu-isu


miring soal keputusan pembatalan haji 2021 ini. Pemerintah pun menepisnya.

Diketahui Keputusan pembatalan pemberangkatan ibadah haji itu dituangkan dalam Keputusan Menag No 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi. Ada sejumlah pertimbangan pemerintah yang dijadikan alasan keputusan ini dibuat.

Alasan yang dikemukakan Kemenag perihal pembatalan keberangkatan jamaah haji adalah karena otoritas Arab Saudi hingga saat ini belum juga memutuskan apakah akan membuka kembali ibadah haji untuk negara lain.
Selain faktor kebijakan Arab Saudi yang menjadi alasan dibatalkannya pemberangkatan jamaah, ada faktor internal yang juga menjadi alasan kuat, yaitu ketidaksiapan Kemenag dalam menyelenggarakan pemberangkatan haji di situasi pandemi. Waktunya mepet, sedangkan pada 26 Juni jamaah haji Indonesia dijadwalkan mulai berangkat.

Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak dugaan, ada apa di balik itu semua? Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, tentu hal demikian tak sesuai dengan kebijakan “new normal” yang akan diberlakukan.

Bandara, mall, pasar, dan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi kerumunan, sudah diaktifkan asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan nyawa.
Seharusnya, jika ingin konsisten terhadap arah kebijakan, maka pemerintah tidak usah takut dengan pemberangkatan haji.

Selain itu, pihak Saudi pun belum memutuskan apakah dibuka atau ditutup.
Seharusnya keputusan jamaah berangkat atau tidak, diputuskan setelah otoritas Saudi memberikan keputusan.

Dari analisis di atas, ditambah kondisi keuangan Indonesia yang morat-marit. Semua anggaran dipangkas untuk menanggulangi pandemi dan rupiah pun melemah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Wajar jika akhirnya masyarakat menjadi tidak percaya bahwa keputusan batal pemberangkatan semata karena pandemi.

Bagaimana pandangan Islam terkait pembatalan ibadah haji yang dilakukan pemerintah? Apakah mubah(mubah) atau sebaliknya?
Berikut penjelasan yang dikemukakan oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi. Dalil bolehnya menunda haji adalah sunah. Karena haji telah diwajibkan tahun ke-6 Hijriyah, sedang Fathu Makkah terjadi tahun ke-8 Hijriyah. Namun faktanya Rasulullah Saw tidak melaksanakan haji tahun ke-8 Hijriyah itu.

Padahal kondisi sudah memungkinkan karena Makkah sudah ditaklukkan. Rasulullah saw. baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau tahun ke-10 Hijriyah. Ini adalah dalil bolehnya menunda haji. (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 7/103-104; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/11). (detik.com/Sabtu/5/6/2021).

Namun hukum boleh ini adalah untuk individu (perorangan). Adapun jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas (suatu desa, kota, organisasi, ormas, dll), sehingga kemudian diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, hukumnya haram. Karena berarti penundaan atau penghentian tersebut telah menghapuskan syiar-syiar Allah (sya’airallah)  yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah-tengah masyarakat.

Yang dimaksud syiar-syiar Allah (sya’airallah), adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah Swt. Seperti salat jamaah, salat Jumat, salat Idulfitri/Adha, puasa, haji, adzan, iqamat, dan sebagainya. Ibadah kurban juga merupakan bagian syiar-syiar Allah (sya’airallah), meskipun hukumnya sunnah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/97-98).

Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah  disebutkan :
يجب على المسلمين اقامة شعائر  الإسلام الظاهرة وإظهارها فرضا كانت هذه الشعيرة أم غير فرض
”Wajib hukumnya atas kaum Muslimin untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat zhahir, dan juga wajib menampakkannya (di tengah masyarakat), baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya tidak wajib [sunnah, dll].” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/98).

Kewajiban menampakkan syiar Islam tersebut dalilnya firman Allah Swt :
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al Hajj [22] : 32).

Bahkan secara khusus penyembelihan kurban seperti unta disebut bagian dari syiar Allah, sesuai firman Allah Swt :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ
”Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar-syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, .” (QS Al Hajj [22] : 36).

Maka dari itu, jika penundaan atau penghentian sementara ibadah kurban itu bukan dari individu tetapi kebijakan dari pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas, misal sebuah desa, suatu organisasi atau suatu ormas, yang diberlakukan secara umum, hukumnya haram. Sebab penundaan atau penghentian ibadah tersebut berarti telah menghapuskan syiar-syiar Allah yang seharusnya wajib ditampakkan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post