Menyoal Pembatalan Haji di Tanah Air


Oleh: Rima Septiani, S. Pd.
(Pemerhati Masalah Umat)

Calon Jemaah Haji Indonesia tahun ini dinyatakan batal berangkat oleh pemerintah. Kebijakan tersebut tentu membuat sebagian besar dari mereka kecewa. Harapan yang selama bertahun-tahun diperjuangkan justru  pupus dan sirna. Alasan pemerintah menetapkan hal tersebut, mengingat peningkatan  kasus covid-19 yang semakin signifikan di negeri ini. 

Pemerintah melalui Kementrian Agama (Kemenag) RI menyampaikan bahwa ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi dibatalkan. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Kamis (3/6/2021). (Kompas.com ,04/06/2021).

Pembatalan ini justru menimbulkan persoalan lain, yakni menambah panjang daftar antrean keberangkatan calon jemaah haji di Tanah Air. Sampai tahun ini, antrean terlama di Indoensia adalah pada tahun 2055.

Selain itu, banyak pihak yang mengatakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut terkesan mengada-ngada, sebab Pemerintah Saudi sebenarnya belum mengambil keputusan apa-apa terkait pemberangkatan haji jemaah Indonesia, hanya saja pemerintah yang terburu-buru menjadikan pemerintah Saudi sebagai kambing hitam atas batalnya Haji tahun ini.

Masyarakat pun masih bertanya-tanya. Walaupun alasan pembatalan haji telah dibicarakan oleh berbagai elemen  pemerintahan seperti komisi III DPR RI, para alim ulama, dan para pimpinan ormas Islam, namun tetap saja sepertinya masyarakat kurang puas terhadap jawaban pemerintah mengenai alasan pembatalan haji 2021. 

Pasalnya jika memang pembatalan ini untuk kesehatan, masyarakat pun bertanya-taya, mengapa warga negara asing seperti Cina diperbolehkan masuk ke Indonesia? Mengapa sampai sekarang tempat-tempat umum yang menimbulkan kerumunan seperti restoran, mal dan pasar masih tetap eksis dibuka? Hal demikian  kontradiktif terhadap kebijakan pemutusan covid-19.

Di samping itu, meskipun pemerintah menyatakan keputusan tersebut tak berhubungan dengan uang, namun tetap saja hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar ,karena selama ini Indonesia selalu bermasalah terkait pengelolaan keuangan akibat pandemi covid-19. Guncangan ekonomi selalu saja menghantui negeri ini.  Utang Indonesia  terus saja menumpuk hingga kasus korupsi dan penyelewengan uang rakyat justru meningkat saat pandemi melanda. Maka wajar, rakyat pun was-was jika saja dana haji yang selama ini mereka kumpulkan justru dipakai untuk pendanaan yang lain. 

Terlepas dari polemik pembatalan haji, menurut pengamat ekonomi syariah, Nida Sa’adah, pembatalan haji yang kedua kalinya ini setidaknya akan berdampak pada dua aspek yaitu aspek dana dan aspek pengelolaan jemaah, karena pembatalan haji yang kedua ini akan makin menambah panjang antrean. 

Dari sini jelaslah sudah, manajemen haji dalam negara yang berasaskan sekularisme  akan terus mengecewakan umat. Penyelenggaraan haji seolah hanya dilihat dari aspek ekonominya saja, bukan pelayanan penguasa dalam memfasilitasi warganya dalam beribadah. Urusan agama dalam sistem sekuluer hanya diposisikan sebagai penguat ekonomi, bukan landasan berjalannya roda pemerintahan. 

Konsep kapitalisme yang dipakai sebagai dasar pengurusan masyarakat memang selalu bermasalah. Mahalnya biaya haji hanya merupakan dampak dari rantai kepentingan kapitalis. Ibadah haji dalam kapitalisme adalah lahan bisnis yang biasa dieksploitasi. Negara yang harusnya meriayah rakyat dengan asas syariat Islam, justru mengatur urusan rakyat layaknya sebuah korporasi yang selalu berhitung untung rugi. 

Berbeda dengan penerapan Islam secara kaffah, di mana negara berposisi sebagai ra’in (pengurus) sekaligus junnah (perisai) bagi umat atau rakyatnya. Termasuk dalam memfasilitasi dan mempermudah rakyat dalam menunaikan kewajibannya untuk taat pada syariat. 

Negara akan menjaga pelaksaan syariat sesuai dengan rambu-rambu yang Allah tetapkan. Termasuk ibadah haji, yang seharusnya diberi kemudahan dalam melaksanakannya. 

Ibadah Haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam Islam. Allah Swt. menyatakan dalam Al-Qur’an surah Al Imran ayat 97 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” p

Nabi Saw. pun bersabda “Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan salat, menunaikan zakat, berhaji dan saum Ramadan.” (HR Al-Bukhari)

Urusan haji bukanlah sekedar urusan pribadi semata meskipun bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib menunaikannya, namun hal tersebut belum sepenuhnya utuh. Harus ada peran negara yang mangatur masalah teknis dan administrasi. Kebijakan negaralah yang akan berpengaruh pada proses pelaksanaan haji.  Disinilah dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara. Misalnya saja membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. 

Sebagaimana pada masa kekhilafahan Umar ra. Pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin oleh Khalifah Umar ra. Hingga masa akhir kekhalifahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra., pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra. 

Pada masa khilafah utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid II pun membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Khalifah Harun ar Rasyid juga pernah membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz termasuk membangun saluran air yang menjamin jemaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan.

Demikianlah pengelolaah haji yang dilakukan dalam sistem Islam. Di mana, negara benar-benar mengurusi urusan umat hingga tuntas. Tak akan dibiarkan pelanggaran hukum syara dalam menjalankan ibadah haji yang agung. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post