Kota Bebas Nepotisme, Mungkinkah?

Oleh : Nurul Ul Husna Nasution
Mahasiswi UMN Al-Washliyah Medan

Belum lama ini mencuat dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) di Lingkungan XI, Kelurahan Bahari, Kecamatan Medan Belawan. Pasalnya bangunan yang mengelilingi perusahaan diduga dimiliki pengusaha ternama di Sumatera Utara ini secara jelas tidak mengantongi izin. Anggota Komisi IV DPRD Medan Syaiful Ramadhan, meminta seluruh pengusaha untuk mengikuti aturan yang berlaku di Kota Medan. Sebab di masa kepemimpinan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang terbilang hitungan bulan, menargetkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perizinan (Waspada.co.id).

Dibalik pembangkangan PT STTC, Aulia Rachman juga menduga adanya oknum kuat yang membekingi anggota dalam mengurus izin-izinnya. Sehingga perusahaan tersebut terus aktif beroperasi tanpa izin mendirikan bangunan hingga kini. Ditambah lagi adanya penutupan akses jalan warga. Maka, wajar saja jika kasus ini ditindaklanjuti. Selain tidak mematuhi aturan yang berlaku tampak juga meresahkan warga sekitarnya. Lantas, benarkah adanya Nepotisme pada PT STTC yang dibekingi oknum kuat demi memuluskan kerjasama antar kelompok?

Nepotisme itu sendiri berarti memberikan jabatan kepada seseorang yang kurang berkompeten, dimana jabatan yang diperoleh hanya karena alasan suka atau adanya hubungan keluarga. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengkhianatan kepada masyarakat, dimana nantinya masyarakat bukan diurusi oleh orang yang terbaik di antara mereka akan tetapi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan semata. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak pada kinerja yang tidak maksimal dan tentunya, hasil kinerja juga akan berpengaruh terhadap sebuah perusahaan atau bahkan negeri ini.

Praktek Nepotisme ini juga menjadi ketidakadilan terhadap orang-orang yang lebih berkompeten sehingga mereka kehilangan motivasi, dan kepercayaan diri. Praktek ini juga dapat menyingkirkan karyawan yang memiliki keterampilan yang tinggi, membatasi persaingan dan inovasi. Maka, tanpa adanya perizinan dikhawatirkan akan banyak muncul bangunan perusahaan illegal yang semena-mena, abai pada keselamatan dan kenyamanan masyarakat sekitar akibat bekingan dari sang pemangku kekuasaan. Dengan maraknya Nepotisme di negeri ini akan melahirkan Kolusi berujung Korupsi (KKN).

Dalam sistem kapitalisme-liberal adalah rahasia umum adanya oknum-oknum nakal yang berpihak kepada pengusaha kapital, namun di saat bersamaan sistem tidak loyal kepada pelaku usaha menengah ke bawah. Sebagai kota paling Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia, sudah saatnya kota Medan bertindak tegas pada perilaku dan pelaku nepotisme yang merusak revolusi mental yang telah dicanangkan pemerintah jauh-jauh hari. Harus ada gebrakan berani yang membongkar kebiasaan buruk dalam sistem birokrasi di kota Medan. Namun idealisme lagi-lagi terhalang dengan sistem kapitalisme-demokrasi yang malah melahirkan kultur KKN secara subur. Inilah sistem kapitalisme-demokrasi dibalik rusaknya tatanan birokrasi sangat meniscayakan tidak terputusnya aksi Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme di negeri ini.

Maka jika dikomparasikan dengan sistem Islam sangat jauh berbeda. Dimana praktik KKN ini sangat minim terjadi, karena kekuasaan bukanlah jalan mencapai kepentingan pribadi tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Sehingga orang-orang yang diamanahkan dalam suatu urusan adalah mereka yang berkompeten dibidangnya bukan karena adanya Nepotisme. Maka hanya dengan beralih ke sistem Islamlah dapat menghilangkan praktik-praktik KKN yang amat meresahkan. 

Di dalam sistem Daulah Islamiyah, KKN adalah dosa besar yang dapat ditangani dengan dua treatment yakni sisi preventif dan kuratif.

Pertama, langkah preventif yang dilakukan adalah rekrutmen SDM aparat Negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Kemudian pembinaan aparat dan pegawainya berdasarkan hukum syara’ agar tidak terjadi kecurangan ataupun pelanggaran seperti suap-menyuap. Tentu adanya pengawasan baik dari Negara maupun dari masyarakat itu sendiri. Maka, selanjutnya dengan pemberian hak-hak aparat dan pegawai Negara secara layak menjadikan mereka tidak berkhianat.

Kedua, langkah kuratif yakni memberikan hukuman yang tegas berupa sanksi (uqubat) untuk pelaku khianat. Sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim seperti teguran atau nasihat dari hakim, pengumuman pelaku dihadapan publik atau media massa (tasyhir),  pengenaan denda, dipenjara, hukuman cambuk hingga dihukum mati. 

Dengan diterapkannya Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi kolusi nepotisme yang sudah menjamur. Wallahu’alam Bishawab[]

Post a Comment

Previous Post Next Post