Komisionaris BUMN : Kompetensi atau Balas Budi?





Oleh Ika Marinawati, A.Md. 
(Muslimah Peduli Umat)


Nama Abdi Negara santer menjadi pemberitaan dan banyak diperbincangkan di media sosial. Bukan karena Bandnya - Slank mengeluarkan album baru, tapi nama Abdi yang juga dikenal dengan sebutan Abdee Slank diangkat menjadi Komisaris PT Telkom Indonesia Tbk (Persero). 

Pengangkatan Abdee dilakukan oleh Erick melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada Jumat, (28/5) lalu. Abdee adalah salah satu personel Slank, Band yang memang dikenal sebagai salah satu pendukung Jokowi bahkan sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu. Bukan hanya Abdee, namun sejumlah nama yang pernah mendukung pencalonan presiden Jokowi maupun wakilnya dalam pilpres sebelumnya mendapatkan kursi komisionaris di perusahaan plat merah. (cnnindonesia.com)

Banyak pihak menilai pengangkatan para komisaris tersebut bukan karena kapabilitas mereka, melainkan karena politik balas budi. Salah satu yang berpandangan demikian adalah Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf mengkritik penempatan Abdee itu hanya akan merugikan Telkom karena latar belakang profesi yang tidak sesuai.
"Ini jelas merugikan Telkom, karena tidak sesuai dengan profesi yang dijabatnya sebagai komisaris dan, jika Telkom dirugikan, negara yang akan dirugikan, karena penempatan orang-orang yang selama ini dianggap berjasa dalam pemenangan Jokowi 2019 tanpa melihat kemampuan justru akan merusak tatanan, Sudah barang tentu ini merupakan bagi-bagi kekuasaan politik balas jasa, dan itu tidak sesuai dengan janji Jokowi sendiri." kata Bukhori kepada wartawan, Sabtu (29/5/2021).

Praktik oligarki  terjadi, dimana kekuasaan dibagi hanya pada segelintir orang di lingkaran rezim saja. Hal ini dilakukan tanpa memperhatikan kompetensi pejabat negara tersebut. Padahal komisaris merupakan jabatan prestisius, dengan gaji yang sangat besar. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com (30/5/2021), gaji Abdee Slank sebagai Komisaris Independen Telkom jika mengacu pada Laporan Keuangan Tahun 2020 sekitar Rp1,49 miliar sampai dengan Rp11,31 miliar. Dana untuk menggaji para komisaris ini berasal dari rakyat. Namun, kekuasaan itu dibagi-bagi di lingkar dalam istana saja, demi melanggengkan rezim.

Akibat bagi-bagi kue kekuasaan ini, rakyat pun terhalangi untuk mendapatkan pejabat yang adil dan berkualitas. Pejabat yang ada justru bukan pakar di bidang yang ia geluti. Padahal BUMN selama ini dijadikan mesin pertumbuhan ekonomi dan salah satu elemen utama untuk mencapai cita-cita Indonesia menjadi negara maju. Akibat dikelola secara oligarki dan tidak profesional, BUMN tidak mampu tumbuh kuat dan profesional. Banyak BUMN yang kini gulung tikar, sedangkan yang lain menawarkan pensiun dini pada karyawannya. Bloomberg, Kamis (9/4/2020), menulis bahwa banyak BUMN Indonesia yang terbelit utang selama bertahun-tahun, menghadapi tuduhan kesalahan pengelolaan dan korupsi, dan mengalami masalah pembayaran.
Padahal BUMN mengelola hajat hidup publik. BUMN-lah yang mengelola sektor energi, infrastruktur, listrik, migas, dan sektor strategis lainnya. Maka BUMN haruslah dikelola secara benar,  sehingga bisa mengabdi pada kepentingan rakyat. BUMN bukan milik individu, kelompok, partai, dan bahkan bukan milik rezim penguasa.

BUMN adalah milik negara. Melalui BUMN, negara mengelola harta milik umum (rakyat) atau mengelola layanan untuk umum, sehingga poros kerja BUMN seharusnya adalah kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan individu, kelompok, partai, atau rezim.

Banyaknya utang BUMN dan kerugiannya menunjukkan bahwa pejabat yang diserahi urusan ini telah menelantarkannya. Padahal penelantaran tersebut merupakan sebuah hal yang terlarang dalam Islam dan pelakunya akan berdosa.

Praktik bagi-bagi kue kekuasaan di kalangan pendukung rezim merupakan aplikasi dari pemahaman tentang kekuasaan ala kapitalisme. Kekuasaan dalam pandangan kapitalisme adalah alat untuk meraih keuntungan materi. Sedangkan keuntungan materi merupakan makna kebahagiaannya. 

Akibatnya, para politisi dalam kapitalisme selalu mengejar kekuasaan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Para politisi ini rela menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan tersebut, meski harus merugikan rakyat. Mereka tak peduli. Sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan pandangan Islam tentang kekuasaan. Menurut Islam, kekuasaan adalah amanah. Sedangkan amanah adalah taklif hukum dari Allah Swt. Sikap amanah penguasa terlihat dari caranya mengurusi kemaslahatan rakyat berdasarkan aturan-aturan Allah. Penguasa yang amanah adalah penguasa yang melakukan riayah (pengaturan) terhadap urusan rakyat berdasarkan syariat Islam kaffah dan dengan penuh keoptimalan.
 
Demikian juga diingatkan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits, beliau menyebutkan, jika sebuah urusan diserahkan kepda bukan ahlinya, maka hal itu adalah "amanah yang disia-siakan". Jika amanah itu disia-siakan, maka tunggulan kehancuran atau kekacauan. Masalah tak terselesaikan. Tugas tidak dijalankan dengan baik dan benar. 
"Jika  amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).

"Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum muslimin." (Hadis Riwayat Al-Hakim).

Kompetensi menjadi perhatian khusus dalam Islam. Intinya, berdasarkan hadits di atas, serahkan urusan pada ahlinya berdasarkan kompetensi dan keilmuannya, bukan atas dasar kolusi, nepotisme, balas jasa, atau bagi-bagi jabatan.

Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post