Diskon Pinangki : Lemah Lembutnya Hukum terhadap Koruptor

Penulis : Dinda Kusuma W T
 (aktivis muslimah jember)

Pemotongan hukuman bagi Jaksa Pinangki Sirna Malasari sedang ramai dibicarakan. Potongan masa hukuman bagi Jaksa Pinangki didapatkannya saat mengajukan  banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Tidak main-main, Pengadilan Tinggi Jakarta memotong vonis Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun penjara. Pinangki diyakini menerima uang 500.000 dollar AS dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra sebagai uang muka terkait kepengurusan fatwa. Fatwa itu menjadi upaya agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Selain itu, Pinangki juga diyakini melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar 450.000 dollar AS dengan membeli mobil BMW X5, membayar dokter kecantikan di AS, hingga membayar tagihan kartu kredit. Terakhir, JPU meyakini Pinangki melakukan pemufakatan jahat bersama terdakwa Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa.

Atas perbuatannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Pinangki dengan hukuman 4 tahun penjara, namun hakim memberikan hukuman yang lebih berat, yakni 10 tahun penjara dan denda 600 juta rupiah subsider kurungan 6 bulan penjara. Ironisnya, justru dalam proses banding, hakim memberikan diskon hukuman menjadi 4 tahun penjara persis seperti tuntutan jaksa sebelumnya. Rupanya, para penegak hukum sedang mempertontonkan "drama komedi" di ruang sidang.

Publik pun bereaksi, banyak pihak merasa heran bahkan mengecam pemotongan hukuman tersebut. Dalam sidang banding, ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik, menyampaikan bahwa potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Padahal hal-hal seperti itu sebelumnya jarang atau bahkan tidak pernah dijadikan  sebagai pertimbangan yang sampai-sampai bisa memberi diskon hukuman lebih dari 50 persen. Apalagi Pinangki termasuk seorang penegak hukum, bukan hanya merugikan rakyat tapi ia juga telah mengkhianati profesi dan kepercayaan masyarakat.

Bila kita lihat kasus yang lain, misalnya kasus korupsi eks anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh yang juga pada saat itu memiliki anak yang masih balita, justru mendapat hukuman yang lebih berat saat kasasi. Penyesalan dan posisi sebagai ibu sekaligus orang tua tunggal, sama sekali tidak menciutkan hakim untuk memberinya keringanan hukuman. Namun, hukuman Angie berkurang menjadi 10 tahun setelah MA mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.

Tampaknya hukum di negeri ini semakin amburadul dan tidak jelas. Pada akhirnya, tidak ada batasan-batasan yang pasti tentang bagaimana seorang hakim harus mempertimbangkan keputusan hukumnya. Khususnya bagi tindak pidana korupsi, hukum di negeri ini kelihatan bersikap sangat lemah lembut dan luwes. Maka jangan salahkan masyarakat bila mencurigai, bahkan meyakini bahwa uang bisa membeli hukum. Sebagaimana Koruptor yang notabene pasti memiliki banyak uang dari hasil korupsinya, entah korupsinya terungkap atau ada yang tidak terungkap, dengan uangnya itu ia bisa membebaskan dirinya dari hukuman yang berat. Hal ini pulalah yang menyebabkan korupsi terus terjadi dan semakin merajalela. Malah sering kita lihat, saat para koruptor ditangkap oleh penegak hukum, mereka melempar senyum ke arah kamera, tanpa rasa penyesalan dan malu. Demikian karena ketika koruptor tertangkap, mereka tidak diberi hukuman setimpal dan tetap bisa menikmati kekayaannya.

Pemotongan hukuman terhadap para koruptor bukan sekali ini terjadi, pembobol Jiwasraya, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan mendapat potongan hukuman dari seumur hidup menjadi 18 tahun penjara. Dirut Jiwasraya, Hendrisman Rahim, yang awalnya dihukum penjara seumur hidup disunat menjadi 20 tahun penjara. Masih banyak lagi kasus-kasus yang memperlihatkan betapa lemahnya hukum terhadap para perampok rakyat.

Berbagai upaya telah dilakukan negeri ini untuk memberantas korupsi. Sejak awal kemerdekaannya hingga saat ini, lebih dari 75 tahun kemudian. Namun, bukannya terselesaikan, justru negara ini semakin terpuruk dan bangkrut. Bahkan pada tahun 2002 pemerintah membentuk badan khusus bagi penanganan kasus korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, badan khusus ini pun kini semakin dilemahkan perannya oleh pemerintah itu sendiri. Berkaca dari ini, usaha pemberantasan korupsi tidak pernah mencapai pada akarnya. Sistem Demokrasi yang berjalan di Indonesia, membuka celah lebar bagi siapapun terutama penguasa dan pemilik modal untuk membeli dan mempermainkan hukum.

Mari kita renungkan baik-baik, bukankah selama puluhan tahun diterapkan, demokrasi tak lantas membuat kualitas bangsa membaik, justru memburuk. Pemikiran bahwa pilihan lain selain demokrasi adalah pilihan yang kriminal, harus disudahi. Akar dari seluruh permasalahan negeri ini tentu adalah sistem utama yang menjalankannya. Apabila dengan pikiran terbuka, kita mampu mengalihkan pandangan dari demokrasi, maka usaha menyelamatkan negeri ini tidak akan selamanya jalan di tempat. Islam adalah sebuah ideologi sempurna dengan seperangkat aturan yang menyeluruh. Bagi Islam, tidak ada yang tidak tersolusi. Sudah saatnya kita menyudahi kesengsaraan bangsa ini dengan perubahan sistem demokrasi menjadi sistem yang lebih luhur dan sempurna, yaitu Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post