23 Tahun Reformasi: Janji Tanpa Bukti


Oleh: Rissa S Mulyana, S.Psi

 

Masih ingatkah dengan 21 Mei 1998? Ya, ditanggal inilah, tepatnya 23 tahun lalu, tuntutan reformasi disuarakan mahasiswa. Reformasi ditandai dengan lengsernya kekuasaan Orde Baru yakni rezim Soeharto selama 32 tahun. Adapun tuntutan reformasi berisi:1) Penegakan supremasi hukum. 2) Pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). 3) Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. 4) Amandemen konstitusi. 5) Pencabutan dwifungsi TNI/Polri. 6) Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

23 tahun berlalu, namun layaknya pungguk merindukan bulan, kita saksikan tuntunan reformasi hanya menjadi teori belaka. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai hak-hak sipil yang diperjuangkan lewat reformasi justru mengalami pengekangan dan represi dalam beberapa tahun terakhir (cnnindonesia.com, 22/5/2021).

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, menilai bahwa masih banyak sekali PR bangsa ini setelah 23 tahun reformasi yakni rakyat belum sejahtera, pendidikan dan kebudayaan yang masih harus diperjuangkan, impor pangan dan perdagangan, serta potensi keterbelahan di tengah masyarakat (nasional.kompas.com, 21/05/2021).

Jangan tanya soal pemberantasan KKN. Kita temui berbagai kasus korupsi masih menjamur di negeri ini, mulai dari kelas teri hingga para pejabat negeri, korupsi sudah seperti darah yang mengalir di arteri. Praktik kolusi dan nepotisme adalah hal yang menjadi rahasia umum dianggap lumrah di tengah masyarakat.

Masih lekat dalam ingatan kasus korupsi Bansos Covid-19 serta rentetan kasus korupsi lainnya terjadi lagi dan lagi. Baru-baru ini juga lembaga pemberantasan korupsi, KPK, diperlemah dengan adanya revisi UU KPK dan TWK (tes wawasan kebangsaan). Senjata melawan korupsi dibuat tumpul untuk kepentingan segelintir orang.

Melihat fakta negeri ini setelah dua dekade berlalu sejak tuntutan reformasi disuarakan, tampaknya kita dalam menyetujui bahwa kondisi hari ini masih jauh dari kondisi ideal, bahkan justru semakin bobrok dan terpuruk. Tahun boleh berganti, rezim berganti, tetap dengan janji mewujudkan reformasi, namun tetaplah kita saksikan seluruh janji itu tak tertunai. Maka pergantian rezim, pergantian penguasa, sejatinya hanya berganti topeng kekuasaan saja. Perubahan yang dibawa reformasi bukanlah perubahan yang mendasar pada akar persoalan melainkan hanya menebas batang-batang masalah di permukaan.

Akar masalah dari rimbunnya persoalan di negeri ini bukan karena gagalnya pelaksanaan reformasi maupun ketidakmampuan individu dalam mengatur urusan negeri. Ada yang lebih mendasar dari itu, yakni diabaikannya aturan Ilahi. Dasar berkehidupan yang digunakan saat ini adalah sekularisme, yakni pemisahan urusan agama dengan urusan kehidupan publik.

Sekularisme melahirkan kapitalisme, yakni sistem yang menjadikan manfaat sebagai asas dari interaksi antar manusia. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan aturan hidup sehingga wajarlah kebijakan yang lahir dalam sistem ini selalu mengikuti kepentingan segelintir orang yang memiliki kendali berupa uang alias para kapitalis. Ungkapan hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah menjadi analogi nyata dalam sistem ini sebab hukum dapat dikendalikan mengikuti kepentingan para pemegang kekuasaan.

Dalam sistem sekuler-kapitalis, lahir pula demokrasi. Meskipun slogan khas demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” sering dielukan sebagai bentuk ideal dari tatanan masyarakat, namun sejatinya ia juga cacat dari dasarnya. Slogan tersebut meniscayakan kebebasan bagi manusia untuk berperilaku termasuk dalam membuat aturan. Pergantian penguasa dan rezim dalam sistem ini menjadi tak berarti apa-apa sebab kebijakan yang lahir masih mengikuti hawa nafsu pemangku kepentingan.

Dari sinilah kita semestinya menyadari solusi perbaikan dari sistem yang rusak dengan mengganti sistem itu sendiri. Sistem yang meniadakan peran Sang Pencipta sebagai Pengatur manusia semestinya diganti dengan sistem yang berasal dari-Nya, ialah Islam.

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Pengaturannya tak hanya mencakup urusan manusia dengan Tuhannya, namun juga mencakup urusan manusia dengan sesamanya yang begitu kompleks termasuk urusan bernegara. Masyarakat dalam Islam diatur menggunakan syariat Islam sehingga dalam beraktivitas, terdapat kesadaran akan hadirnya Pencipta.

Masyarakat dalam Islam menyadari bahwa segala perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, sehingga kebijakan yang lahir semata-mata untuk kesejahteraan umat dan ditujukan untuk meraih ridha Allah. Inilah sistem solutif yang dapat menuntaskan ragam persoalan manusia saat ini.

Sebagai seorang mahasiswa Muslim tentu kita menginginkan perubahan hakiki, bukan janji perubahan tanpa bukti. Maka saatnya kita mengkaji Islam dari akar hingga daun, mendalami syariat Islam agar memahami hanya Islam satu-satunya pemecah persoalan. Saatnya suara mahasiswa adalah suara yang menyeru pada perubahan hakiki dengan diterapkan syariat Islam secara kaffah, bukan lagi suara-suara kebingungan dengan solusi tambal sulam. Bergeraklah bersama-sama dalam perjuangan menegakkan syariat Islam.[]

 

Post a Comment

Previous Post Next Post