Siaran Bernuansa Islami, Mengapa Hanya Setahun Sekali?


Oleh Eti Setyawati
(Pemerhati Kebijakan Publik) 

Bulan Ramadan adalah bulan suci yang kehadirannya dinanti-nanti umat Islam. Ada banyak keberkahan dan kenikmatan tersendiri bagi yang ikhlas menjalankan. Nuansa islami pun tercermin dalam setiap aktivitas masyarakat. Tak terkecuali lembaga penyiaran, menyajikan tontonan yang menggugah semangat beribadah.

Bak gayung bersambut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun merespon keinginan umat Islam dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021 yang berisi Panduan bagi lembaga penyiaran pada Ramadan 1442 H. Setelah digodog dalam Rapat Koordinasi menyambut Ramadan yang dihadiri KPI, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan perwakilan lembaga penyiaran. “Maksud dan tujuan dari edaran ini adalah untuk menghormati nilai-nilai agama berkaitan dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan” ucap Agung Suprio, selaku Ketua KPI Pusat. (kpi.go.id, 21/03/2021).

Beberapa poin Panduan Penyiaran selama Ramadan di antaranya, memperhatikan busana presenter agar sesuai dengan suasana Ramadan. Tidak menampilkan kegiatan konsumsi makanan yang mengurangi kekhusyukan berpuasa. Tidak menampilkan adegan berpelukan lawan jenis, gerak tubuh yang berasosiasi erotis, sensual, cabul. Tidak menampakkan ungkapan kasar, makian yang menghina agama dan nilai-nilai keagamaan. Juga melarang tayangan dengan muatan LGBT, horor, dan mistik yang dapat mengeksploitasi konflik. Juga bincang-bincang seks yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan.

Poin-poin aturan yang diterbitkan KPI tentu disambut hangat khususnya umat muslim. Namun sayangnya aturan yang terkesan baik ini berlaku hanya pada bulan Ramadan saja. Sangat disesalkan jika indahnya suasana Ramadan hanya muncul satu tahun sekali, setelahnya kembali pada suasana hedonis. 

Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar mestinya penjagaan negara terhadap masyarakat bisa sepanjang waktu. Apadaya hal ini sulit dijalankan di negara yang menganut sistem sekularisme-kapitalisme. Dimana agama dipisahkan dari kehidupan. Ibadah hanya sebatas ritual belaka yaitu salat, zakat, puasa dan haji. 

Dalam sistem kapitalisme, materilah yang menjadi tujuan. Sepanjang itu menguntungkannya berbagai cara akan ditempuh. Tak peduli jika harus menayangkan konten-konten yang merusak akhlak seperti mengumbar aurat, sinetron tak mendidik, atau tarian yang mengumbar gerakan erotis. Atas nama seni dan tuntutan pasar para kapital terus memproduksinya. Begitulah media dalam sistem kapitalisme menderaskan liberalisme dan sekularisme.

Berbeda dengan media Islam, fungsinya harus senantiasa menebar kebaikan, sebagai alat kontrol dan sarana syiar agama. Peran media strategis sebagai benteng penjaga umat dan negara sehingga suasana taat terus tercipta. Di sisi lain media juga berperan menjelaskan pada masyarakat umum akan keagungan ideologi Islam, membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia, mengungkap cara-cara busuk musuh Islam memecah umat. Melalui media juga, Islam melarang mengambil ideologi di luar ajaran Rasulullah saw., menayangkan konten-konten pornografi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau pun melarang situs asing beredar bebas.

Hal tersebut baru bisa terwujud bila Islam diterapkan secara kafah dalam naungan khilafah. Hanya Islam yang mampu menyelamatkan manusia dengan aturan yang jelas dan tegas.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post