Pernikahan Dini Bukan Masalah, Tapi Solusi


Oleh Erni Setianingsih 
(Aktivis Dakwah Kampus)


Dikutip dari CNN Indonesia (10/2/2021), Ramainya kabar soal Aisha Wedding telah memicu fenomena gunung es di Indonesia soal perkawinan di bawah umur atau pernikahan dini.

Mengutip juga dari CNN Indonesia (10/2/2021), Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menilai, anjuran pernikahan muda pada usia 12-21 tahun bagi perempuan muslim yang dilakukan jasa penyelenggara pernikahan, Aisha Weddings melanggar aturan di Indonesia.

Menurut Dadang, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
"Merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU Nomor 1 tahun 74 pernikahan di usia dini tidak diperkenankan kan," kata Dadang, Rabu (10/2).

Hingga saat ini batas usia kawin perempuan dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan adalah 16 tahun. Menurut mereka, pernikahan pada usia 16 tahun yang masih dalam kategori anak berarti menghilangkan hak belajar 12 tahun yang diwajibkan pemerintah. Selain itu, menikah pada usia 16 tahun membuat perempuan sangat rentan menghadapi masalah kesehatan, eksploitasi, ancaman kekerasan, hingga perceraian.

Pernikahan dini menjadi problem bagi mereka yang tak paham akan pentingnya ikatan suci yang berlabel halal daripada kebebasan yang kian marak akibat hubungan tidak karuan, seperti halnya pacaran (haram). Pernikahan dini atau menikah di usia muda terjadi salah satunya karena rangsangan dari lingkungan sekitar yang sekuler liberal yang memicu gharizah an-nau’ (naluri berkasih sayang antara pemuda dan pemudi). 

Tingkat kematangan organ reproduksi pada anak-anak pada zaman sekarang tidak diimbangi dengan kematangan cara berpikir. Tontonan dan gaya hidup bebas pada saat ini cenderung mendorong anak-anak dan remaja untuk pacaran, bersenang-senang sesuai keinginan mereka dan mengumbar syahwat. Selain itu, pemerintah juga terus melakukan propaganda massif melawan praktik pernikahan dini atau perkawinan anak ke tengah masyarakat. 

Bahwa hak anak merupakan hal yang wajib dijaga, memang tak bisa dinafikkan. Mengingat, anak merupakan aset strategis bangsa yang kelak akan menentukan masa depan umat secara keseluruhan. Bahkan kewajiban ini bukan hanya terbeban kepada pihak pemerintah saja, tetapi menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik keluarga, orang tua, lembaga pendidikan, maupun masyarakat secara umum.

Bukan rahasia jika seks bebas di kalangan remaja, bahkan anak-anak di Indonesia sudah sedemikian merebak hingga taraf mengenaskan karena ada yang sudah menjurus pada tindak kekerasan seperti pemerkosaan anak oleh anak. Demikian juga dengan dampak turunannya, seperti kehamilan di luar nikah yang sebagian berujung pernikahan dini, serta kelahiran tak diinginkan yang berujung aborsi atau penelantaran anak, hingga merebaknya prostitusi anak dan penyakit seksual menular di kalangan anak yang kasusnya juga terus meningkat.

Minimnya perhatian dan kesungguhan penguasa untuk mengatasi kerusakan moral generasi juga bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang kurang berorientasi pada penyelamatan generasi. Lihat saja bagaimana longgarnya aturan pemerintah menyangkut informasi dan media massa. Media televisi dan internet kini justru menjadi jalan mulus bagi proses introduksi produk-produk pornografi dan pornoaksi yang merusak alam pikir dan laku anak-anak. 

Sementara di pihak lain sistem pendidikan dan pergaulan makin dijauhkan dari aturan-aturan agama, hingga alih-alih mampu menghasilkan output generasi yang punya kepribadian yang matang dan visioner, tapi justru membuat mereka tumbuh sebagai generasi GeJe (ga jelas) dengan orientasi seksual yang berkembang lebih cepat dibanding daya nalar dan kecerdasan spiritualnya.

Dengan demikian, yang menjadi ancaman bagi generasi bukanlah nikah muda tapi sistem liberal-sekuler yang melahirkan pergaulan bebas. Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana agar sistem yang menaungi para remaja kita tidak lagi sistem liberal-sekuler, namun sistem Islami yang membentuk pribadi yang kokok imannya, kuat kepribadiannya dan tangguh menghadapi tantangan zaman.

Dalam Islam, pernikahan dini tidak dilarang, bahkan bisa menjadi solusi menjauhkan anak-anak muda dari keburukan zina dan menjaga kehormatan mereka.

Upaya melarang pernikahan dini bisa dianggap salah satu bentuk kedurhakaan, karena apa yang telah dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh diharamkan manusia. Sebagaimana firman-Nya:

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تُØ­َرِّÙ…ُوا Ø·َÙŠِّبَاتِ Ù…َا Ø£َØ­َÙ„َّ اللَّÙ‡ُ Ù„َÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َا تَعْتَدُوا ۚ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ù„َا ÙŠُØ­ِبُّ الْÙ…ُعْتَدِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah : 87)

Dengan demikian, pernikahan dini diperolehkan (halal), selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi (kemampuan memberi nafkah), serta kesiapan fisik.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post