Maraknya Kasus Buang Bayi : Bukti Negara Abai ?


Oleh : Nilma Fitri S.Si 
(Aktivis Muslimah)


Peristiwa buang bayi di Wilayah Bekasi menggemparkan warga. Sosok mungil tidak berdaya itu ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. 

Komisaris Polisi (Kompol) Triesno selaku Kapolsek Cikarang Selatan, Bekasi, mengatakan, kondisi bayi tersebut ditemukan sudah dalam kondisi meninggal dunia dan dikerubungin lalat. ”Ditemukan dalam kardus dan ditutup kain warna biru di atas tumpukan sampah,” kata Triesno kepada wartawan sindonews.com, Rabu (24/3/2021). 

Peristiwa penemuan bayi juga dialami warga Kp. Srengseng Jaya RT. 02/02 Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani. Tangisan mungil tengah malam yang disangka makhluk halus dialami Nuraeni (32) warga setempat yang menjelaskan, bahwa bayi malang tersebut kali pertama terdengar pada Kamis (25/03/2021) malam di halaman rumahnya. 

“Saya awalnya denger tengah malam lah ini ada suara bayi, saya pikir kuntilanak. Orang saya kan sendirian ama anak doang, suami saya lagi kerja. Lah paginya ada bungkusan plastik disini saya liat ternyata bayi masih hidup,” kata Nuraeni saat ditemui di kediamannya, Jum’at (26/03/2021, beritacikarang.com). 

Kasus pembuangan bayi di Bekasi, yang entah kasus keberapa kali ini terjadi, memperlihatkan para pelaku tak pernah jera. Kesulitan ekonomi, pemerkosaan, dan hasil hubungan terlarang (zina), menjadikan kondisi mental dan moral pelaku menjadi penyebab nasib tragis yang dialami sang bayi. 

Psikolog Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Dr. Sukma Nurilawati Botutihe, M. Psi mengungkapkan, motif yang dapat melatarbelakangi fenemona pembuangan bayi berasal dari faktor internal yang berhubungan dengan kesiapan baik mental maupun fisik dari si ibu. Ketidakpahamannya membesarkan bayinya, atau rasa sakit hati (bahkan dendam) terhadap pasangan yang sudah menyebabkan kehamilan. Itu bisa juga karena cemas dan panik karena itu terjadi dari hubungan yang terlarang, selain itu faktor eksternal yang berasal dari tekanan pasangan yang tidak menghendaki lahirnya bayi itu, serta perasaan secara ekonomi tak siap membesarkan anak, ujar Sukma, Senin (29/7/2019, gopos.id). 

Nurani Tandas Keimanan Kandas 

Inilah faktor yang menyebabkan ibu menjadi sosok yang kehilangan empati, ketidakstabilan emosi, rasa tanggung jawab, dan keimanan yang raib, bahkan ketidakpahaman mereka terhadap hukum-hukum Allah menjadikannya tega membuang buah hati yang terlahir dari rahimnya. 

Fatalnya, kesulitan yang dialami oleh ibu, tidak menjadi perhatian dari pemimpin negara ini. Pemimpin yang berkewajiban melindungi rakyat, malah bersikap apatis, hingga membuat daftar panjang kasus pun bak gulungan yang tiada berujung. 

Indonesia Police Watch (IPW) mencatat pada tahun 2018, kasus pembuangan bayi bakal meningkat signifikan. Sebab, di tahun 2017 pada bulan yang sama hanya ada 26 kasus pembuangan bayi yang terjadi di Indonesia. Dari keseluruhan tahun 2017 angka pembuangan bayi di Indonesia tergolong tinggi dalam sejarah, yakni ada 179 bayi yang dibuang di jalanan. Seperti yang diungkapkan Ketua Presidium IPW Neta S. Pane melalui keterangan tertulis yang diterima Akurat.co Rabu (31/1/2018). 

Abainya Negara 

Kasus pembuang bayi yang berulang tiap tahun, menjadi bukti ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat. Sistem Sekuler Demokrasi yang menaungi negara, pun tak mampu menyelesaikan setiap problemantika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. 

Sistem Sekuler, memisahkan agama dari kehidupan, membuat manusia berbuat tanpa aturan yang benar. Sistem pengusung liberalisme, menjadikan kebebasan tanpa dilandasi rasa tanggung jawab telah memporakporandakan tiap jengkal lini kehidupan manusia. Menggerus aqidah, mencabut rahim dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Fitrah manusia pun terkoyak. Sejatinya, Ibu dengan kelembutan dan kasihnya, tak akan tega menyakiti buah hati yang terlahir dari rahimnya. 

Kebebasan dalam pergaulan berujung pada perzinahan juga marak terjadi. Sistem liberalisme, menghilangkan urat malu manusia, menghasilkan bayi-bayi lahir tanpa ikatan pernikahan. 

Bak benang kusut, permasalahan ekonomi yang tiada kunjung terurai, ikut menjadi kambing hitam penyebab krisis mental ibu kala masa kehamilannya. Sulitnya seorang bapak mencari pekerjaan, yang kian bertambah di saat pandemi mewabah, menyentil nurani ibu sebagai pengatur rumah tangga tanpa ada pemasukan. 

Peran negara abai, sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Bahkan Sekulerisme Demokrasi tidak mampu memberikan solusi. 

Berbeda dengan Sistem Demokrasi, yang berideologi Kapitalis Sekuler, Sistem Ideologi Islam memberikan solusi setiap permasalahan. Islam datang dari Sang Pencipta, Allah SWT, menyediakan aturan paripurna untuk manusia, mulai dari bangun tidur sampai membangun negara. Dalam Islam, aturan dan hukum-Nya adalah landasan perbuatan manusia. 

Mengembalikan Peran Ibu dan Negara 

Islam menjaga dan mengatur peran para ibu, yang sangat mulia. Tugas dan kewajiban sebagai seorang ibu, isteri dan pengatur urusan rumah tangga yg didasarkan atas keimanan dan ketaqwaan sehingga tercipta keluarga yg tenteram yg akhirnya mampu mencetak generasi dalam peradaban Islam. Perannya tidak tergantikan oleh lelaki sehebat apapun. Bahkan Rasulullah memberikan penghargaan bagi seorang ibu dalam sabdanya :
Dari Abu Hurairah r.a, seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: 
“Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti? 
Rasulullah menjawab, Ibumu! 
Orang tersebut bertanya kembali, kemudian kepada siapa lagi? 
Rasulullah menjawab, Ibumu! 
Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi?
Rasulullah menjawab, Ibumu!
Orang tersebut bertanya kembali, kemudian siapa lagi?
Rasulullah menjawab, kemudian Bapakmu! 
(HR. Bukhari No 597 dan Muslim No 2548) 

Itulah kemuliaan seorang ibu. Ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anaknya selama 2 tahun. Ibu pun menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Peran agung dan mulia itu diberikan Allah kepada seorang ibu. 

Islam mengatur adab pergaulan. Syakhsiyah (kepribadian) islam membentuk standar pemikirannya berdasarkan aqidah islam sehingga tercermin dalam tingkah lakunya sesuai dengan islam. Dalam islam, negara berperan dalam mengatur kurikulum pendidikan yang berbasis aqidah Islam. Sehingga pergaulan di masyarakat terkontrol sebagaimana Syari'at Islam mengaturnya. 

Permasalahan ekonomi juga tidak lepas dari peran dan tanggung jawab negara. Negara berkewajiban menyediakan lapang kerja seluas-luasnya, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, dan kesehatan. Sehingga persoalan ekonomi bukan lagi menjadi beban dalam masyarakat Islam. 

Sudah saatnya kita kembalikan Peran Negara sesuai dengan Islam. Kewajiban negara sebagai pengurus dan pemberi solusi setiap permasalahan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah. Maka sudah sepatutnyalah kita senantiasa berjuang demi tegaknya syari'at Islam dengan sempurna dan menyeluruh. Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? 

Wallaahu a'lam bish showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post