Narasi Terima Sistem Manapun, Tak Berlaku untuk Khilafah ?


Oleh : Fani Ratu Rahmani
 (Aktivis dakwah dan Pendidik)

Pemerintah kembali mengeluarkan narasi yang mengkaitkan antara Agama dengan sistem politik dan negara. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, agama, khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, termasuk demokrasi. Baik demokrasi, kerajaan, monarki, otokrasi, teokrasi, dan sistem apapun saja. (Tribun news, Sabtu (18/4/2021)

Menurut Mahfud MD, prinsipnya agama bersifat netral. Urusan cara dan sistem hidup bernegara, prinsip organisasi pemerintahannya, diserahkan kepada masing-masing pemeluk agama. Apapun jenis sistem negara dan pemerintahannya, nilai dan tujuan yang diusung haruslah sama. Negara mesti ditujukan membangun keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan membangun akhlak.

Pernyataan pemerintah ini juga disambut senada oleh Dosen Monash University Australia, Nadirsyah Hossen.  Dosen ini menyatakan, agama dan demokrasi bisa berjalan beriringan. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia memandang agama penting dalam kehidupan bernegara. Hanya saja pemahaman agama banyak modelnya, juga demokrasi, banyak ragamnya. Dan perpaduan agama dan demokrasi yang sesuai akan menciptakan kehidupan lebih baik di tengah persoalan politik yang bermunculan. (Tribun News, 18/4/2021)

Untuk menelaah pernyataan agama Islam menerima sistem politik dan negara manapun, maka kita perlu memahami hakikat islam dan demokrasi. Dengan memahami hakikat keduanya, kita akan memiliki wawasan apakah Islam dan demokrasi sejalan, apakah demokrasi berasal dari Islam, atau apakah Islam bisa berkompromi dengan demokrasi.

Islam adalah sebuah diin Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia yang lain, yang dibawa oleh Rasulullah SAW kepada seluruh manusia. Islam bukan sekadar mengatur hubungan vertikal sebagaimana agama lainnya. Pengaturan hubungan dengan manusia lainnya ini yang mencakup sistem-sistem yang diterapkan di seluruh sendi kehidupan (politik, ekonomi, sosial, sanksi, dan sebagainya).

Syariat Islam hadir membawa pengaturan sistem di seluruh aspek kehidupan. Sesuai firman Allah di surah Al Ma'idah ayat 3, bahwa Islam telah disempurnakan oleh Allah dan diridhoi oleh-Nya sebagai agama kita. Artinya, kita tidak perlu ada keraguan terhadap syariat Islam, sebab telah membahas segala sesuatu yang menjadi penjelas dan pedoman bagi manusia.

Islam mencakup sistem politik dan pemerintahan. Politik dalam Islam bermakna ri'ayah syu'unil ummah (mengurusi segala urusan umat). Politik dalam Islam bukan hanya tentang kekuasaan, tapi bagaimana kekuasaan tersebut untuk menerapkan Islam Kaffah dan mengurus segala kebutuhan dan hak-hak umat sesuai Syara'. 

Pemerintahan pun dibahas dalam Islam yakni sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Para Sahabat yakni sistem khilafah. Khilafah adalah sebuah institusi yang menerapkan Islam secara kaffah sebagai bentuk politik dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai bentuk politik luar negeri. Khilafah ini eksis sejak masa Abu Bakar As Shiddiq hingga Kekhilafahan Utsmani yang berakhir di tahun 1924.

Allah berfirman di dalam Al Qur'an yang artinya, 
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah" [ TQS Al Hasyr ayat 7 ]

Ayat ini bermakna bahwa segala sesuatu yang telah rasul berikan yakni syariat Islam dan contoh penerapannya, maka wajib kita terima. Ditambah pula di ayat lain (Surah Al Ahzab ayat 33) Allah juga katakan bahwa Rasulullah adalah suri tauladan yang baik. Apabila kita benar ingin meneladani Rasulullah dalam segala hal, berarti kita menjadikan sistem politik Islam dan Khilafah sebagai satu-satunya sistem dalam kehidupan.

Kemudian, mengenai demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sebuah ide yang digagas oleh Plato, seorang filsuf Yunani yang membahas ide politik. Demokrasi meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat (manusia), menjadikan suara rakyat sama dengan suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Artinya demokrasi memberikan kewenangan pada manusia untuk membuat hukum dan mengatur sistem kehidupannya berdasarkan aturan pribadi, aturan buatan sendiri, karena kebenaran yang didefinisikan manusia sama benarnya dengan suara Tuhan.

Demokrasi adalah sebuah ide yang lahir di Eropa, menggantikan sebuah konsep pemerintahan yang dipegang oleh gerejawan dengan eksistensi agama Nasrani. Demokrasi hadir sebagai negasi kekuasaan agama yang kala itu ada di Eropa, agama harus dipisahkan dari kehidupan (sekulerisasi) sehingga aturan bernegara memakai demokrasi. Para cendikiawan dan filsuf bermain peran mengubah Eropa berdasarkan ide-ide mereka termasuk demokrasi.

Melihat asal muasal lahirnya demokrasi, sebenarnya telah jelas bahwa demokrasi bukan berasal dari Islam. Islam memiliki konsep politik sendiri berdasarkan Syara' dan tidak ada demokrasi di dalamnya. Islam meletakkan kedaulatan ada di tangan Allah dalam membuat hukum, sedangkan demokrasi mengingkari itu dengan mengatakan manusia yang berhak membuat hukum. Ini perbedaan mendasar dari kedua sistem ini, sehingga dari sisi manakah dikatakan sejalan?

Dan adapun jika berbicara relevansi demokrasi untuk dikompromikan dengan Islam, kita perlu pahami juga bahwa syariat Islam hadir dan tidak berubah hingga akhir zaman. Meski zaman telah maju hingga sekarang, ditambah eksistensi sistem sekuler juga makin nyata, sebagai muslim maka tetap harus menjadikan syariat sebagai acuan. Islam bukan hadir untuk menyesuaikan zaman, zaman yang mesti mengikuti Islam. Islam juga tidak mengenal istilah kompromi antara kebenaran dan kebathilan.

Oleh sebab itu, pernyataan Mahfud MD makin menyesatkan dan menampakkan penawaran hipokrisi konsep. Mengajarkan umat Islam untuk hipokrit terhadap ajarannya, mengabaikan dan mengingkari syariat. Islam tidak menerima sistem manapun selain sistem Islam. Konsep di luar Islam adalah ide bathil yang seharusnya tidak eksis di tengah umat.

Namun, pernyataan pemerintah ini sebenarnya bisa menjadi tantangan tersendiri. Apabila Islam menerima sistem politik dan negara manapun, bukankah seharusnya pemerintah juga menyerukan mengenai khilafah sebagai opsi? Karena khilafah juga merupakan sistem kehidupan sama halnya dengan demokrasi, teokrasi, monarki, dan sebagainya. Lantas, mengapa tidak menguji kelayakan sistem khilafah?

Ini jika pemerintah mau bersikap adil dan lebih bijak. Seharusnya menyerukan bahwa khilafah bisa menjadi opsi sistem bernegara, namun yang terlihat justru alergi dan terus menyerang serta menyesatkan informasi tentang sistem khilafah. Padahal, umat punya hak untuk mengetahui juga mengenai sistem khilafah yang berlangsung berabad-abad. Bahkan, ini adalah warisan Rasulullah SAW.

Tapi, demikianlah bentuk rezim dari ideologi selain Islam (kapitalisme). Mereka tidak akan memberi ruang bagi khilafah untuk sampai ke pemikiran umat, mereka akan terus mencitra burukkan. Mereka tidak ingin kekuasaan dan hegemoni ideologi ini hancur dan berganti dengan sistem Islam. Karena apabila itu terjadi, artinya mereka harus siap konsekuensi kehilangan cengkeraman dan kekayaan yang selama ini mereka dulang di negeri-negeri kaum muslim. Semestinya, umat menyadari akan hal itu. Semoga kita tidak lelah untuk membangkitkan pemikiran umat agar kembali pada syariat Islam dalam naungan khilafah. Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post