Saatnya Pemuda Melek Politik Islam

Oleh Etti Budiyanti
Member AMK 
dan 
Komunitas Muslimah Rindu Jannah


Pemuda sedang galau. Mungkin itu yang bisa kita sematkan pada pemuda untuk menggambarkan respon mereka atas survei Indikator Politik Indonesia yang bertajuk "Suara Anak Muda tentang Isu-Isu Soal Politik Bangsa", yang digelar pada 4-10 Maret 2021, melalui sambungan telepon dengan responden sebanyak 1.200 berusia 17-21 tahun, dengan tingkat kepercayaan survey ini adalah 95%.

Bagaimana tidak, mereka tidak puas dengan kinerja politisi dan parpol. Anggapan mereka, banyak persoalan politik dan ekonomi yang perlu mendapat pelayanan serius. Namun anehnya, mereka masih berharap jalan keluarnya adalah dengan perbaikan praktik demokrasi. Rupanya mereka tak sadar bahwa kompleksnya persoalan sosial politik yang saat ini terjadi merupakan akibat penerapan praktik demokrasi.

Dikutip dari merdeka.com, 21 Maret 2021, hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan  terdapat 64,7 persen anak muda yang menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.  Sedangkan yang menilai para politisi sudah cukup baik mendengarkan aspirasi adalah sebanyak 25,7 persen.

Survei itu menunjukkan pula bahwa pemuda masih galau antara melihat perlunya perubahan politik dan ketidakpahaman terhadap sistem politik alternatif. 

Sebagai generasi muda Islam seharusnya mereka mengenal dan melek politik Islam agar benar-benar mendapat gambaran dan harapan perubahan hakiki. Pemuda Islam juga wajib paham politik Islam agar bisa menghadapi hambatan dan tantangan yang dapat menggelincirkan mereka pada perjuangan selain perubahan hakiki.

Pemuda yang melek politik Islam, akan menyadari kebobrokan demokrasi. Secara teori, demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Rakyat dianggap berdaulat, tak ada yang lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. 

Tapi faktanya, dalam demokrasi, yang berdaulat adalah sekelompok kecil oligarki, yaitu penguasa dan kroninya.

Ironi sekali. Setidaknya ada tiga alasan yang menunjukkan betapa ironisnya demokrasi: 

Pertama, teori demokrasi bertentangan dengan fakta. Teorinya kedaulatan di tangan  rakyat, faktanya kedaulatan di tangan oligarki atau pemilik modal. 

Kedua, kelompok oligarki dalam demokrasi justru sering mengarah pada kekuasaan tangan besi. Akibatnya muncullah para penguasa otoriter dan represif, meski dipilih rakyat secara langsung. 

Ketiga, apa yang dijanjikan demokrasi berupa kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan, faktanya jauh dari harapan. Kesejahteraan hanya milik segelintir orang.

Berdasar tiga alasan di atas, sejatinya demokrasi layak untuk dicampakkan. Apalagi asas dari demokrasi adalah sekularisme, suatu paham memisahkan agama dari kehidupan. Saat politik diatur dengan demokrasi,  kerusakanlah yang akan muncul, karena mereka menafikan hukum Allah untuk mengatur kehidupan. Bukankah Allah Swt. sudah berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 50?

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah [4]: 50)

Meskipun demokrasi menunjukkan kebobrokannya, ternyata hal itu tidak serta merta membuat demokrasi segera dicampakkan. Masyarakat kecil yang tidak bisa apa-apa, dipaksa untuk menerimanya.

Di sinilah sistem alternatif yang menjawab kebobrokan demokrasi semestinya muncul. Sistem itu adalah Islam. Ajaran komprehensif yang mengatur seluruh sendi kehidupan berdasarkan tuntunan wahyu. 

Perbedaan Istilah Politik dalam Demokrasi dan Islam

Bila kita mengacu pada KBBI, politik diartikan sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Hal ini menunjukkan istilah politik dilihat secara bahasa menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.

Sedangkan politik di dalam Islam dikenal dengan istilah siyasah, yang berakar pada kata sâsa-yasûsu artinya mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya. Kata sasa-yasusu-siyasatan berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun, mengatur dan memelihara urusan. Politik Islam bisa diartikan sebagai pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.

Dengan demikian ada perbedaan dalam mengartikan politik. Dalam KBBI, politik lebih menekankan pada kekuasaan. Dalam bahasa Arab atau Islam arti siyasah lebih menekankan pada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan dalam mengartikan politik ini nenjadi penyebab perbedaan konsekuensi praktik politik. Jadi adalah hal yang wajar jika politik dalam demokrasi lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. 

Hadis-hadis juga banyak yang menunjukkan aktivitas pengurusan  kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda:

“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:

"Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah." (HR Imam Muslim dari Abi Hazim)

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa politik Islam melibatkan negara dan umat, adanya pengaturan dalam negeri dan luar negeri, serta sumber legislasi yang digunakan adalah hukum Islam.

Tentang legislasi, Islam menetapkan bahwa segala aturan harus berasal dari Sang Pencipta Allah Swt., karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu adalah Allah Swt. sesuai dengan firman Allah Swt.:

“Menetapkan hukum hanyalah milik Allah. Dia-lah yang menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang terbaik.” (QS. al-An’am [6]: 57)

Oleh karena itu, dalam Islam kedaulatan berada di tangan syara’ bukan di tangan rakyat. Sedangkan aturan itu tertuang dalam Al-Qur’an, Hadis, Ijma' dan Qiyas. Keempat sumber tersebut disebut sebagai sumber hukum syara’ (syari’at Islam). 

Perlu Perubahan Hakiki

Pemuda yang melek politik Islam, pasti akan menyadari bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Perlu adanya perubahan hakiki. Perubahan yang bukan sekadar dengan mengganti orang, tapi mengganti sistemnya. Karena sejatinya sistem kapitalis adalah biang kerok semua kezaliman ini. 

Oleh karena itu, saatnya pemuda melek politik Islam agar perubahan hakiki segera terwujud.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post