Oleh: Nikmah Faiqoh S.E.
Aktivis Dakwah di Kota Depok
Lagi-lagi pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang
kontroversial. Belum lama ini Presiden Jokowi mensahkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Ekstrimisme (RAN PE) berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Tidak hanya kontroversial, bahkan banyak pengamat politik menganggap perpres tersebut
ambigu dalam sisi redaksi istilah dan tata pelaksanaannya.
Jika dikaji substansinya, Perpres
Nomor 7/2021 tentang RAN PE menuai polemik dan berpotensi besar menciptakan
kegaduhan. Isi peraturan tersebut ternyata bukan fokus di aksi terorisme, tapi
menyasar pada keyakinan dan mengarah kepada gejala pra aksi terorisme. Jika dibahasakan
sebagai ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme.
Sementara diksi ekstremisme multitafsir dan ambigu. Potensi subjektivitas dan tendensiusitas
akan muncul dan sulit dikontrol.
Sebenarnya, upaya mengaitkan
terorisme dengan dakwah para ulama atau dengan Islam bukan hal baru, upaya ini
terus diulang-ulang sejak program War on
Terrorism (perang melawan terorisme) dimulai oleh Amerika Serikat (AS) di
seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, yakni sejak
terjadinya Peledakan WTC 11 September 2001. Waktu itu AS menegaskan perang
melawan terorisme akan memakan waktu lama. Terbukti sampai sekarang AS tetap
menggunakan upaya tersebut.
Jika dilihat, yang diperangi oleh AS
bukanlah semata-mata terorisme, tapi Islam itu sendiri sebagai kekuatan ideologi
dan politik. AS menganggap Islam merupakan satu-satunya ancaman potensial bagi
ideologi kapitalisme yang dianutnya saat ini. Inilah sebetulnya yang harus
disadari dan dikritisi oleh kaum Muslimin.
Dalam konteks Islam, tentu kita
sepakat, tindakan teror atau kekerasan apapun tidak dibenarkan. Begitu juga,
teror dan kekerasan apapun yang dilakukan oleh negara, meski atas nama keamanan
seyogianya harus ditolak, apalagi hanya didasarkan pada kecurigaan. Salah satunya
penangkapan yang pernah dilakukan Kepolisian Jawa Tengah terhadap 17 anggota
Jamaah Tabligh yang sedang mengadakan ‘khuruj’ (dakwah) di Purbalingga dan
Solo. Mereka ditangkap hanya didasarkan pada tampilan fisik luar seperti
berjenggot dan bersorban saja.
Contoh lainnya, seperti yang
diberitakan Tempointeraktif.com (25/8/2009),
negara melakukan pengawasan terhadap kegiatan dakwah di masjid-masjid. Walaupun
Kapolri membantahnya, justru Muladi, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas)
mendukung pemantauan tersebut.
Bila hal tersebut terus dilakukan, artinya
pemerintah telah melakukan bentuk teror baru terhadap umat Islam. Tindakan tersebut
telah melecehkan Islam dan membuat sakit hati umat Islam. Seakan-akan dakwah
Islam pemicu terjadinya berbagai aksi terorisme.
Tindakan kepolisian mengawasi kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para dai,
mubalig dan khatib seolah memberikan pembenaran, bahwa mereka dianggap
membahayakan keamanan negara dan ini dampaknya akan muncul perpecahan di
tengah-tengah masyarakat. Jika sampai terjadi, berarti pemerintah sendirilah
yang sesungguhnya menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyaman di masyarakat.
Jika perpres ini dipaksakan untuk
diterapkan, maka dampak yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah: Pertama,
munculnya ketegangan dan konflik sosial serta akan timbulkan perpecahan di
tengah umat. Kedua, terwujudnya
politik belah bambu atas kelompok-kelompok Islam.
Namun, untuk mencegah hal itu terjadi,
sudah seharusnya kaum Muslimin sebagai mayoritas penduduk negeri ini, menolak
dengan tegas perpres ini. Wallahua’alam bi shawab. []
Post a Comment