Paradoks Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU)


Oleh : Enny Nurafifah  
Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin meresmikan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang ( GNWU) serta Brand Ekonomi Syariah Tahun 2021 di Istana Negara, Senin, 25 Januari 2021. Lebih lanjut Ma’ruf Amin mengatakan  GNWU  merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan nasional. Masih menurut beliau, program pengembangan ekonomi dan keuangan syariah terus didorong untuk diimplementasikan secara terintegrasi melalui sinergi dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, baik kementerian atau lembaga KNEKS ( Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) maupun intitusi lainnya. ( antaranews.com, 25/1/2021) 

Untuk itu ada upaya yang harus dilakukan untuk menyukseskan Gerakan Nasional Wakaf Uang ini yaitu pertama, melakukan rekayasa ulang proses bisnis wakaf uang. Kedua, menetapkan program strategis wakaf nasional yang didukung oleh para tokoh, alim ulama serta masyarakat. Ketiga, adanya gerakan kampanye bersama dalam mengumpukan wakaf uang sekaligus melakukan literasi dan edukasi agar masyarakat secara bersama-sama berwakaf dengan menyerahkan uang tunai untuk dikelola dan hasilnya akan digunakan untuk mendanai program strategis wakaf nasional.

Menurut Presiden Joko Widodo, potensi aset wakaf  di Indonesia sangat besar mencapai Rp2000 triliun pertahun dan potensi wakaf uang bisa menembus angka Rp188 triliun. (Bisnis.com,25/1/21) .  Bahkan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, wakaf dana tunai yang telah terkumpul dan dititipkan di perbankan nasional jumlahnya mencapai Rp328 miliar per 20 Desember 2020. (CNBCIndonesia.com,25/1/21).  Lebih lanjut Kepala Negara menyampaikan bahwa ekonomi syariah memiliki potensi sosial ekonomi yang sangat besar untuk dikembangkan. Tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi bisa mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat.  Masih menurut Menkeu, Pemerintah terus meningkatkan instrument pembiayaan berbasis  syariah, termasuk lewat wakaf tunai. 
               
Terkait wakaf ini, telah diatur dalam UU no 41 tahun 2004, yang diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf  Uang  di tahun 2002 bahwa harta wakaf diperluas tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tetapi juga meliputi benda bergerak berupa uang dan benda bergerak selain uang seperti kendaraan, mesin, logam muia, dan surat berharga syariah. Walaupun di kalangan ulama sendiri masih ada perbedaan pendapat tentang hukum wakaf uang. Umat Islam sudah lama mempraktikkan wakaf dalam kehidupan sehari-hari karena memang wakaf adalah bagian dari syariat Islam. Namun, potensi wakaf yang besar ini menurut Ma’ruf Amin belum dikelola secara maksimal karena masih banyak diperuntukkan bagi kegiatan sosial peribadatan seperti pembangunan masjid, madrasah/ pesantren, dan makam ( 3M).
              
Paradoks di  Balik Gerakan Nasional Wakaf Uang

Beberapa waktu belakangan  Pemerintah getol melirik ekonomi syariah dan pembiayaan syariah.  Sebelum ini juga ada wacana tentang dana haji yang dipakai untuk pembangunan infrastruktur.  Apa ini merupakan tanda pemerintah telah mendukung penerapan syariah kafah di negeri ini?

Tidak bisa dipungkiri negeri ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Kondisi pandemi yang tidak kunjung selesai menambah masalah kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan yang menuntut untuk diselesaikan. Apalagi Indonesia menempati peringkat pertama kasus Covid-19 dan kematian tertinggi di Asia Tenggara.  Di sektor ekonomi telah terjadi defisit anggaran APBN sepanjang tahun 2020 sebesar Rp956,3 triliun. Angka tersebut setara dengan 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Disebutkan bahkan penerimaan pajak ambles mendekati  minus 20% ( kontan.co.id, 6/1/21). Belum lagi hutang negeri ini mencapai Rp6000 triliun. (kompas.com, 24/1/21)
              
Mau tidak mau pemerintah harus mencari solusi lain untuk pembiayaan pembangunan dan pengurusan rakyat.  Di sinilah pemerintah mulai melirik tentang ekonomi dan pembiayaan syariah entah itu lewat dana haji, zakat termasuk seperti baru-baru ini dengan peresmian Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Tapi di sisi lain kita lihat sikap penguasa negeri ini begitu phobia terhadap Islam. Persekusi terhadap ulama, pembubaran ormas yang dianggap “radikal”, belum lagi terbunuhnya 6 laskar FPI yang menunggu keadilan di negeri ini. Kemudian pemberitaan viral  terkait  ortu menggugat  sebuah sekolah di Sumatera Barat yang memaksa siswi non muslim untuk berkerudung dimanipulatif sedemikian rupa seolah Islam adalah agama intoleran. Padahal  kasus lain ada siswi muslimah ingin berjilbab tapi dilarang oleh pihak sekolah seperti yang terjadi di Bali tapi tidak ada pembelaan sedikit pun dari publik atau penguasa.  
              
Inilah  paradoks dan watak kapitalisme yang selalu menjadikan manfaat sebagai parameter tingkah laku dan kebijakan dari pemerintah. Sehingga terlalu dini atau bahkan sulit untuk mengatakan bahwa Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) sebagai bentuk pelaksanaan syariat Islam di negeri ini atau mungkin dorongan dari pemerintah agar umat Islam di negeri ini semakin meningkatkan iman dan takwanya dengan cara berwakaf. Tidak dipungkiri negeri ini adalah negeri muslim terbesar di dunia tetapi aturan Islam ( syariat Islam) tidak dijadikan landasan aturan dalam berbangsa dan bernegara. Islam diposisikan hanya untuk mengurusi masalah ibadah ritual, seperti zakat, haji, nikah. Sedang untuk urusan yang lain Islam ditinggalkan. Bahkan dianggap radikal, teroris, fundamentalis kelompok atau ormas  yang berusaha mewujudkan formalitas syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah bentuk sekuler kapitalisme yang nyata di negeri ini. Di satu sisi narasi radikalisme santer ditujukan kepada Islam sementara di sisi lain ketika ada peluang manfaat materi diambillah sebagian aturan Islam terutama dalam aspek ekonomi  untuk dimanfaatkan dalam pembiayaan pembangunan. Bahkan kalau perlu ulama dilibatkan dalam rangka mengeluarkan fatwa yang bisa menyukseskan program pemerintah serta melakukan edukasi terhadap masyarakat.
               
Sementara  korupsi di negeri ini seperti gurita di semua lini kehidupan. Wakil ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan bahwa persoalan korupsi di Indonesia bukan sekedar persoalan personal tapi melainkan persoalan sistemik yang lahir dari sistem politik yang mengharuskan biaya tinggi sehingga penyelenggara negara yang terpilih harus “balik modal”, entah itu dengan memperjualbelikan kewenangan, fasilitas dan keuangan Negara. (kabar24bisnis.com,18/11/20). Kebijakan penguasa terhadap pengurusan urusan rakyat yang tidak pernah berpihak dan menyejahterakan rakyat  seperti dalam penanganan pandemik Covid-19, UU Omnibus Law, penegakkan hukum, korupsi dan lain-lain, maka wajar jika timbul distrust rakyat terhadap penguasa hari ini jika kemudian dana wakaf ini dikelola oleh pemerintah. Apa pemerintah bisa menjamin transparansi dan alokasi yang tepat sasaran? Karena banyak kasus justru pelaku korupsi adalah para pejabat negara mereka yang menilapkan uang rakyat. Seperti kasus korupsi dana bansos yang melanda eks menteri sosial, Juliari Batubara.

Negara Adalah Penanggung Jawab Utama
              
Islam memandang negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengaturan urusan rakyat di dalam maupun luar negeri. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Dalam hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
               
Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) sejatinya adalah bentuk pengalihan tanggung jawab yang harusnya diemban oleh Negara tapi dialihkan pada rakyat dengan motif agama. Wakaf menurut ulama adalah bentuk sedekah yang dinyatakan  di dalam hadis Nabi saw., yaitu sedekah jariyah. Pahala wakaf akan terus mengalir kepada pelakunya meski ia telah wafat. Rasul saw. bersabda, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga, sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan dirinya.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Setiap muslim tentu menyadari, saat mereka berwakaf, tentu ditujukan meraih rida-Nya, apalagi dalam Islam dikatakan wakaf sebagai salah satu amalan yang utama. 
                 
Di sisi yang lain, pemerintah mendorong rakyatnya untuk berwakaf dalam rangka menutupi kegagalannya dalam menyejahterakan rakyat. Negara yang harusnya bertanggung jawab menyejahterakan rakyat bukan rakyat yang diminta untuk menopang ekonomi negara. Wakaf adalah amalan fardiyah umat walaupun manfaatnya bisa dirasakan oleh jamaah/ masyarakat. Sehingga wakaf bukan menjadi pilar ekonomi Islam. Karena sistem ekonomi Islam sebenarnya memiliki sumber pendapatan mandiri. Tidak bertumpu hanya pada wakaf saja. Wakaf hanya menjadi nilai tambah pada sistem ekonomi yang membuat perputaran kehidupan jadi semakin baik dan berkah.
                
Dalam sistem ekonomi Islam, sumber pendapatan utama negara berasal dari kekayaan negara dan kekayaan umum. Kekayaan negara meliputi fai, kharaj, jizyah. Sedangkan pendapatan kekayaan umum dari pengelolaan SDA. Seperti hutan, tambang, hingga hasil lautan. Semua pendapatan ini disimpan di baitul mal. Penggunaannya pun sudah ada alokasinya. Kekayaan negara dipakai untuk biaya administrasi, gaji pegawai, dll. Kekayaan umum dipakai untuk memenuhi kebutuhan umat, seperti layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
              
 Apalagi jika dilihat sebenarnya Indonesia ini memiliki kekayaan yang melimpah ruah yang bisa digunakan untuk membiayai pembangunan dan menyejahterakan rakyat. Tapi penerapan ekonomi kapitalisme yang membuat kekayaan yang melimpah ruah itu semua dikuasai oleh asing dan aseng sehingga rakyat yang dieksploitasi untuk ikut membiayai pembangunan. Di sisi yang lain  Presiden Jokowi pernah bilang bahwa di kantongnya ada uang sebesar  11 triliun dimana itu adalah uang WNI yang ada di luar negeri dan Presiden Jokowi berjanji  akan membawa pulang uang tersebut melalui program tax amnesty sehingga bisa membantu untuk membangun ekonomi di dalam negeri. ( detikfinance.com 1/3/2019). Pertanyaan kritisnya adalah kenapa pemerintah tidak menggunakan dana ini saja untuk pembiayaan pembangunan? Tapi justru lebih melirik pada dana wakaf umat Islam yang rawan untuk diekploitasi. 
                
Dalam sistem ekonomi kapitalisme  sumber utama pendapatan hanya dari pajak. Negara macam itu dipastikan akan kesulitan dalam menjalankan roda ekonominya. Sudah saatnya negeri ini taubat dan beralih kepada sistem ekonomi Islam yang sudah jelas bisa mensejahterakan dan tahan banting terhadap resesi walaupun di saat pandemi. Tapi ada hal yang perlu diperhatikan. Sistem ekonomi Islam yang mandiri tidak bisa berjalan dalam sistem kapitalisme. Secara asa saja sudah berbeda, yang satu ingin mendapat rida Allah sedang satunya berdasar materi atau hanya mengambil sisi manfaatnya. Oleh karena itu perlu disandingkan dengan sistem Islam lainnya. Mulai dari sistem pemerintahannya, pendidikan, sosial, hingga sistem sanksi. Semua sistem ini akan saling mendukung. Tentunya sistem ini akan dapat berjalan hanya di negara yang berdasar akidah Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang kedua, ‘ala minhaj an nubuwwah.

Pelaksanaan Wakaf di  Era Kepemimpinan Islam
               
Banyak teladan yang bisa kita ambil dari amaliyah sahabat dan para khalifah di era kepemimpinan Islam. Umar bin Khattab mewakafkan tanah Khaibar untuk fakir miskin, para sahabat dan penduduk Madinah saat itu. Kebun Bairuha’ adalah wakaf dari Abu Thalhah padahal itu adalah harta yang sangat dicintainya. Usman bin Affan yang mewakafkan sumur Raumah yang dibelinya dari Yahudi disaat kaum muslimin kesulitan air.
              
Pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M), Kekhilafahan Umayyah, Taubah bin Ghar al-Hadhramiy merupakan hakim di Mesir menjadi perintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya. Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, biasa disebut dengan “hakimnya para hakim”. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.
Keberadaan Lembaga wakaf ini juga diteruskan pada pemerintahan Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberi nama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Bahkan keberadaan Universitas Al Azhar Cairo adalah juga dari dana wakaf sampai sekarang sehingga belajar di sana tanpa dipungut biaya. Tidak sedikit para khalifah yang mewakafkan harta mereka di jalan Allah. Pengelolaan wakaf dalam Islam ditujukan untuk kemudahan rakyat serta meraih rida Allah Swt., di samping penguasanya mengurusi rakyat dengan menjamin segala kebutuhan hidup mereka. Bukan malah memanfaatkan rakyat untuk mengambil keuntungan. 

Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post