Musibah dan Muhasabah, Solusi Islam Kafah


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Member AMK

Awal Januari 2021, selama dua pekan terjadi musibah dan bencana alam silih berganti melanda negeri ini. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah pandemi Corona yang kasusnya terus meninggi. Rentetan musibah itu menimbulkan kerugian materiil dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Bencana longsor di Sumedang, Jawa Barat. Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Gunung Semeru Lumajang-Malang erupsi. Sementara di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, diguncang gempa.

Begitu juga banjir yang melanda hampir seluruh wilayah Kalimantan Selatan, tercatat sebanyak 27.111 rumah terendam, 112.700 jiwa mengungsi dan lima orang meninggal dunia. Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, bahwa banjir bukan sekadar cuaca ekstrem melainkan akibat rusaknya ekologis.

Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif, tetapi ditinggal begitu saja tanpa reklamasi (pengurukan). Belum lagi luasnya perkebunan kelapa sawit yang berdampak mengurangi daya serap tanah.

Hal tersebut menunjukkan di Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebab dari total luas wilayah 3,7 juta hektare, hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. (suara.com. 15/1/2021)

Semua itu akibat dari sistem sekularisme-kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Sistem yang menafikan agama dalam urusan publik. Pilarnya adalah kebebasan, yakni bebas beragama, bebas berperilaku, bebas berpendapat, dan bebas berkepemilikan. Kebebasan inilah yang menyebabkan rusaknya tatanan di semua lini kehidupan. 

Terjadinya bencana atau musibah tidak lain karena perilaku rakus dan tamak untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Tanpa memikirkan dampak dari perbuatannya, tanpa merasa diawasi Allah, sehingga tidak takut dosa. Itulah wajah buruk demokrasi yang menjadi anak kandung sistem kapitalisme. Tolok ukur perbuatannya berdasarkan manfaat, bukan haram dan halal. Jadi, wajar jika semua cara dihalalkan.

Negara telah melegalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara ugal-ugalan. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan dan pembangunan infrastruktur atas nama menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi terjadinya penebangan hutan dan alih fungsi lahan di dataran tinggi, juga menyebabkan tanah tidak mampu menahan erosi. Akibatnya, laju sedimentasi tinggi dan berujung longsor.

Sejatinya investasi merupakan pintu masuk penjajahan. Para cukong asing dan aseng yang rakus dan tamak, bebas menguasai dan menjarah sumber daya alam sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampaknya. Terlebih lagi negara abai tidak mengatur urusan rakyat. Ironisnya, keberadaan negara hanya sebagai regulator atau pembuat undang-undang yang memihak pada korporasi pemilik modal dan investasi. Fatalnya lagi, banyak penguasa dan pejabat rasa pengusaha. Semua itu, karena buah busuk dari sistem demokrasi. Adanya kongkalikong antara penguasa dan pengusaha ketika pemilu. Terjadilah simbiosis mutualisme. Dalam hal ini, lagi-lagi rakyat yang dikorbankan.

Begitu pula dengan  wilayah Indonesia yang rawan gempa, seharusnya diantisipasi dengan konstruksi bangunan yang tahan gempa. Berbagai riset geologi berpendapat, bahwa gempa 7 SR sekalipun, seharusnya tidak mencelakakan. Namun hal ini diabaikan oleh penguasa.

Inilah bentuk dan bukti kelalaian pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanggulangan segala sesuatu yang membahayakan bagi masyarakat. Kelalaian ini adalah bagian dari kemaksiatan. Sebab, penguasa telah melanggar syariat Allah. Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Ketiganya itu merupakan kepemilikan umum, yang mana manusia berserikat dalam memilikinya. Artinya, tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta, maupun negara. Syariat mewajibkan negara yang mengelola untuk mengatur pemanfaatannya, agar dapat dinikmati oleh rakyat secara adil, baik itu muslim maupun nonmuslim. Bukan malah mengkhianati dan menzalimi rakyatnya.

Seharusnya semua musibah disikapi dengan muhasabah. Bahwa kemaksiatan yang dilakukan manusia, dapat mendatangkan bencana atau musibah. Sebagaimana firman Allah:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. ar-Rum [30]: 41)

Saat menafsirkan QS. ar-Rum 41 itu, Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan Abu al- 'Aliyah, terkait perusakan di bumi yaitu, "Siapa saja bermaksiat kepada Allah di bumi, maka sungguh ia telah merusak bumi. Sungguh kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala." (Ibnu Katsir, tafsir Al-Qur'an Al Azhim 320/6)

Allah memberikan teguran bencana agar manusia berhenti dari kemaksiatan. Suatu kali, di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, "Tenanglah ... belum datang saatnya bagimu. "Lalu, Nabi saw. menoleh ke arah para sahabat dan berkata, sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian ... maka jawablah, (buatlah Allah rida kepada kalian)!" 

Imam Ibnul qoyyim dalam kitab Al jawab Al-Kafy mengungkapkan, "Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat menimbulkan rasa takut, kusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, 'Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'."

Karena itu satu-satunya cara untuk mengakhiri ragam bencana ini, tidak lain dengan bersegera bertobat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Tobat harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Khususnya para penguasa dan pejabat negara. Mereka harus segera bertobat dari dosa dan maksiat serta ragam kezaliman.
Sebab, kezaliman terbesar adalah saat manusia terutama penguasa tidak berhukum dengan hukum Allah. Saatnya demokrasi kita campakkan. Sudah terbukti bahwa demokrasi sistem rusak dan membawa kerusakan, serta mengundang bencana dan musibah.

Oleh sebab itu, tobat harus dibuktikan dengan kembali pada aturan Allah. Dengan cara mengamalkan dan memberlakukan syariat-Nya secara kafah dalam semua aspek kehidupannya, yakni pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik, hukum, sosial, dan lainnya.

Jika syariat Islam diterapkan secara kafah, tentu keberkahan akan berlimpah-limpah memenuhi bumi.
Allah berfirman:

وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ‏

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. al-A'raf [7]: 96)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post