KHILAFAH WUJUDKAN HARAPAN MENGATASI STUNTING


Oleh: Yuliyati, S.Pd

Survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPA) menunjukan masalah gizi dan tumbuh kembang anak menjadi hambatan besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia.
Secara statistik pada September 2019, angka kemiskinan Indonesia menjadi 9,22 persen, turun 0,19 persen dibanding Maret 2019. Namun pada akhir Desember lalu BPS merilis prevalensi bayi di bawah lima tahun yang menderita stunting (bertubuh pendek). Mencapai 27,7 persen pada 2019. Artinya 28 dari 100 balita masih memiliki tinggi badan kurang dari normal. (The Conversation 06/01/2021)
Walau angka tersebut turun sekitar tiga persen dibanding tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut tetap tinggi karena WHO menetapkan batas atasnya 20%.

Ironisnya Indonesia dinyatakan berada pada urutan ke -4 dunia dan kedua di Asia Tenggara dalam hal balita stunting. Pemerintahan diingatkan melakukan evaluasi pembangunan keluarga agar persoalan ini teratasi.

Terkait hal ini, anggota komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher menyatakan, pemerintah harus mengevaluasi pembangunan keluarga. Karena disitulah hulu perkara yang harus diatasi, demi bisa mencetak SDM unggul agar stunting tak terus menerus menghantui calon generasi bangsa.(Merdeka.com 06/01/2021)

Tidak hanya itu, diapun mengatakan, negara juga harus memberikan jaminan dan perlindungan agar keluarga Indonesia mampu tumbuh kembang secara optimal. Termasuk dalam hal akses terhadap asupan tinggi gizi dan pelayanan kesehatan, sehingga memiliki ketahanan dalam menghadapi kerentanan. Karena bagaimanapun, ketahanan keluarga menjadi faktor utama terwujudnya ketahanan Nasional.

Pernyataan lainya datang daripada Mentri koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Muhajir Effendi mengatakan, Presiden Jokowi Widodo menginginkan hanya satu badan khusus yang menangani persoalan stunting di tanah air. Harapanya agar hasilnya lebih maksimal. Bahkan, dia menyampaikan capaian pembangunan manusia dan kebudayaan, terutama dalam permasalah stunting, sebagai salah satu program prioritas nasional. Menurutnya, permasalahan stunting menjadi penting mengingat hal tersebut berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan hasil riset yang mengungkapkan sebesar 54 persen angkatan kerja tidak maksimal karena pada 1000 kelahiran pertama pernah mengalami stunting. Karena itu, pemerintah menargetkan penurunan stuntingdari 27,7 persen menurun menjadi 14 persen.(Merdeka.com 06/01/2012)

Walaupun selama ini stunting ditangani 21 lembaga pemerintahan dan akan dipersiapkan menjadi satu badan khusus, nyatanya tetap tidak akan mampu menurunkan angka stunting. Pasalnya problem utama bukan terletak pada minimalisnya penanganan stungtin. Akan tetapi karena tegaknya sistem demokrasi kapitalis sebagai sistem penegak kekidupan itulah yang meniscayakan beragam kepentingan, hingga stunting tidak dapat dihindari.

Demokrasi yang berbasiskan ideologi kapitalisme hanya sibuk memperhatikan ekonomi daripada pengurusan hajat hidup rakyat secara manusiawi. Faktanya kesenjangan gaya hidup antara si kaya dan si miskin juga sangat dikotomis. Belum lagi beragam kebijakan impor pangan berikut masuknya korporasi pangan asing, ternyata masih belum cukup mendiskripsikan niat baik pemerintah untuk mengatasi ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Alih-alih mengatasi stunting, jelas masih jauh dari kata layak.

Padahal, mandat untuk mengatasi stunting yang digali dari UU Pembangunan Keluarga ( UU Nomo 52 Tahun 2009 Tentang perkembangan Kependudukan Dan Perkembangan Keluarga), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian dan kecerdasan. Itu semua merupakan dasar untuk mengukur sejauh mana masyarakat menikmati kehidupan layaknya manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan memiliki kehidupan yang layak.

Sangat disayangkan, potret generasi yang terlahir dari rahim demokrasi jauh dari harapan, sehingga dapat dipastikan untuk kedepannya masalah demi masalah akan mulai bermunculan.  SDM yang unggul hanyalah ilusi yang sulit untuk diwujudkan.

Dalam islam, yang terdiri dari bingkai negara Khilafah merupakan sistem hakiki yang melayani umat, sistem yang memanusiakan-manusia, tanpa melihat kasta, warna kulit, suku ddl. Sebagai kaum muslim tentu harus menyadari berada pada zona aman tidaklah enak, begitu pula ketika merasa nyaman dengan sistem demokrasi, maka sudah waktunya kaum muslimin memilih sistem alternatif untuk mengelola kehidupan ini, agar senantiasa sesuai fitrah manusi. Itulah Khilafah, sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, penegak syariah kaffah.

Bagi khilafah, sumber daya manusia merupakan aset berharga, karena kekuatan perdaban dan khazanah pemikiran adalah kekayaan yang tidak ternilai. Sejatinya semua itu semata-mata menjadi bekal untuk meuju ketaatan kepada Allah swt.

Dan oleh karenanya, umat islam akan memperoleh posisi selaku Khairu ummah (umat terbaik). Firman Allah SWT, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf(islam) dan mencegah dariyang mungkar dan beriman kepada Allah.”(QS Ali Imran:110)

Inilah hakikat pengurusan urusan umat, yang berujung pada ketakwaan kepada Allah SWT dan sejahtera secara fisiknya. Maka kesejahteraan hanya didapatkan dalam politik islam. Maka politik islam merupakan siyasah(mengatur), bukan mendzolimi. Wallahu a’alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post