GeNose C19, Memenuhi Asa Rakyat atau Bancakan Baru Korporat?


Oleh Dwi Indah Lestari, S.TP
 (Pemerhati Persoalan Publik)

Baru-baru ini, masyarakat menerima kabar gembira dengan penemuan GeNose C19. Alat pendeteksi Covid-19 buatan anak negeri ini digadang-gadang memiliki tingkat akurasi hingga 90 persen. Luar biasanya lagi, pengetesan menggunakan alat tersebut juga diklaim jauh mudah dibandingkan dengan pendeteksi lainnya seperti rapid test antigent dan PCR. Cukup dengan embusan napas, hasil tes akan diketahui dalam waktu 3 menit saja.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan telah menyatakan akan menggunakan alat yang dikembangkan oleh para peneliti Universitas Gajah Mada ini di berbagai fasilitas umum (kompas.com, 25 Januari 2021). Sementara itu menurut Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, pemanfaatan GeNose C19 akan dimulai di stasiun-stasiun kereta api pada 5 Februari 2021. Baru setelahnya akan diterapkan untuk pesawat terbang (merdeka.com, 23 Januari 2021).

Kabar gembira ini seakan menerbitkan kembali asa masyarakat. Berbulan-bulan hidup dalam kungkungan pandemi, membuat rakyat betul-betul merasakan kesempitan hidup. Tentu rakyat sangat berharap alat pendeteksi baru Covid-19 dapat menjadi harapan agar penanggulangan pandemi ini bisa berjalan lebih efektif. Dengan begitu wabah akan segera bisa diakhiri.

Namun sepertinya harapan ini masih akan terganjal. Pasalnya, upaya untuk memproduksi alat ini secara massal masih terkendala tidak adanya kapasitas produksi. Padahal GeNose C19 sudah mendapatkan ijin edar dari Kementerian Kesehatan. Pada akhirnya pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, kemudian berencana menggandeng sejumlah perusahaan seperti PT. Pindad dan PT. Len Industry serta perusahaan swasta yang lain untuk membantu produksi Genose C19 (merdeka.com, 14 Januari 2021).

Dengan begitu, dapat diprediksi, dalam implementasinya, akan ada biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang akan memanfaatkannya. Diperkirakan tarif yang dipatok dalam penggunaan alat ini berkisar Rp.20.000. Padahal jelas rakyat pasti berharap pemerintah dapat menggratiskannya untuk mereka. Apalagi alat ini adalah hasil karya anak bangsa sendiri.

Namun jauh api dari panggang, indikasi bahwa GeNose akan menjadi proyek bancakan baru korporasi nampak sudah tercium dengan digandengnya swasta dalam produksi massalnya. Korporasi tentunya akan menjadi pihak yang paling diuntungkan. Sementara rakyat nyatanya tetap harus membayar pelayanan kesehatan yang semestinya menjadi hak dasarnya.

Pemerintah sendiri juga sepertinya tak bisa melepaskan diri dari paradigma komersialisasi dalam pelayanan urusan rakyat. Padahal semestinya kemajuan yang luar biasa dari penemuan alat pendeteksi Covid-19 ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk dijadikan sebagai bagian dari upaya untuk segera menuntaskan wabah.

Bayangkan saja, alat ini diklaim juga mampu melakukan pengetesan dalam jumlah besar perharinya. Untuk 100 unit alat dapat digunakan untuk melakukan tes sebanyak 120 tes/alat atau total mampu mengetes sebanyak 12ribu orang dalam sehari. Bila secara maksimal digunakan, Indonesia dapat menghasilkan data tes Covid-19 perhari terbesar di dunia.
Jika pemerintah serius untuk menuntaskan pandemi, alat ini dapat digunakan untuk segera melakukan tes pada masyarakat dengan cara yang lebih mudah, karena hanya membutuhkan embusan napas saja. Sehingga pemisahan antara orang yang sakit dan sehat bisa lebih cepat dilakukan. Dengan begitu data jumlah penderita Covid akan lebih akurat didapatkan, sehingga pencegahan penyebaran virus dapat segera dilakukan dan pemetaan langkah penanganan wabah bisa lebih terarah 

Namun rasanya keseriusan penguasa negeri ini masih harus dipertanyakan. Memang sulit melepaskan diri dari pandangan materialistik dalam pengurusan urusan rakyatnya bila sistem kapitalisme masih menjadi arah pandang kehidupannya. Hubungan penguasa dengan rakyat tak ubahnya jual beli. Sementara pemerintah hanya memposisikan diri sebagai regulator saja. Asa rakyat untuk bisa menikmati pelayanan kesehatan secara cuma-cuma pun sirna.

Hal ini tak akan terjadi seandainya masyarakat diatur dengan sistem Islam. Sebab dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat. Ia bertanggung jawab dalam pengurusan seluruh urusan rakyatnya dengan menerapkan aturan Islam atas mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Islam mewajibkan tanggungjawab pemenuhan kebutuhan pokok dan dasar umat di atas pundak pemimpin. Kesehatan sendiri merupakan bagian dari kebutuhan dasar rakyat. Pemenuhannya pun telah ditetapkan melalui mekanisme secara langsung. Ini berarti, negara wajib menyediakannya secara langsung dengan pembiayaan sepenuhnya ditanggung olehnya. 

Dana yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan seperti pembangunan rumah sakit, alat-alat medis, sarana prasarana termasuk upah tenaga medis dan lain-lain diambil dari Baitul Maal. Sumber pembiayaannya bisa dari berbagai pemasukan yang diterima oleh negara, seperti dari hasil pengelolaan harta milik umum maupun harta milik negara atau pemasukan lainnya, seperti fa’I, kharaj, ghanimah dan lain sebagainya.

Dengan dukungan sistem keuangan yang kuat, negara akan mampu menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti saat ini, negara akan mendorong dan menyokong berbagai penelitian, termasuk penemuan alat, obat ataupun vaksin yang dapat digunakan sebagai bagian dari upaya penuntasan wabah secara maksimal. Negara juga akan memproduksinya secara massal dan mendistribusikannya secara luas. 

Rakyat pun tak perlu dipusingkan dengan tarif-tarif yang harus dikeluarkan saat memanfaatkannya. Bahkan mereka justru akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik. Orang yang sakit akan dirawat dan ditangani oleh tenaga kesehatan profesional dan mumpuni serta mendapatkan obat-obatan berkualitas tinggi yang dapat mempercepat kesembuhannya.

Semua itu karena pemimpin dalam sistem Islam memahami bahwa amanah kepemimpinan yang dibebankan pada mereka, nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari penghisaban kelak. Sehingga mereka takut bila melalaikannya karena khawatir dengan kemurkaanNya. Semua itu bersumber dari keimanan yang kuat dan lahir dari pribadi-pribadi yang bertakwa.

"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim). Wallahu'alam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post