Desa Wisata Tumpuan Perbaikan Ekonomi


Oleh : Fathimah Salma
Pengelola Home Schooling Mandiri

Jumat, 08 Januari 2021,  H. Acep Purnama, S.H., M.H. mengikuti Panen Perdana Program Petani Mandiri Pupuk Raya di Desa Karangtawang, Jum’at (08/01/2021). Dalam sambutannya Bupati menyampaikan, Dengan adanya proyeksi di 2021 “Desa Wisata dan Wisata Desa”  Karangtawang bisa dijadikan objek Wisata Desa dengan lahan pertaniannya karena memiliki letak geografis dikelilingi perbukitan disebelah selatan dan pemandangan gunung ciremai disebelah barat dengan tema kekhasan organik dan edukasi pertanian, memiliki potensi dan dapat dijadikan sentra pertanian organik, dan lokasi desa yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. (https://www.kuningankab.go.id, 08/01/2021)

Desa wisata dalam beberapa dekade terakhir ini menjadi pusat perhatian pemerintah. Seiring dengan fokus penyelesaian pemerintah terhadap permasalahan ekonomi yang menimpa negeri ini pada sektor pariwisata. Jauh sebelum pandemi hal ini sudah berlangsung, apalagi pada masa pandemi. Sektor ini menjadi tumpuan dalam menyelesaikannya. Dan percepatan ekonomi melalui sektor ini bertumpu pada program pembentukan desa wisata.

Melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), saat ini pemerintah kabupaten Kuningan terus berupaya mewujudkan program inovasi desa, yakni pembentukan 25 desa wisata dan 100 desa pinunjul. Hingga awal tahun 2020, Pemerintah Kabupaten Kuningan sudah mewujudkan dua desa wisata, yakni Desa Cibuntu di Kecamatan Pasawahan dan Desa Wisata Kopi Cibeureum di Kecamatan Cilimus. Kini pada Januari 2021, pemerintah menargetkan desa Karangtawang untuk menjadi desa wisata juga. 

Semangat pemerintah kabupaten Kuningan dalam membangun desa wisata ini sejalan dengan yang dicanangkan oleh kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dirilis Tempo.com, 12 Juli 2021 bahwa program desa wisata untuk menarik sebanyak-banyak wisatawan mancanegara dan nusantara, terus dilaksanakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Untuk pencapaian targetnya, Kemenparekraf menyiapkan SDM pendamping. Kemenparekraf menggelar acara Training of Trainer (ToT) Pendampingan Desa Wisata.

Direktur Pengembangan Sumber Daya Manusia Pariwisata, Wisnu Bawa menjelaskan, "Program ini diinisiasi karena adanya kebutuhan membangun desa menjadi Desa Wisata sesuai arahan Presiden pada tahun 2017 untuk gerakan mengembangkan desa wisata".

Pemerintah membangun desa wisata yang menggabungkan desa dengan pariwisata ini adalah dalam rangka membangun ekonomi kerakyatan dan meciptakan ketahanan nasional melalui desa yang mandiri.

Berfokus pada pembangunan demi mewujudkan ketahanan ekonomi masyarakat sejatinya adalah tugas pemerintah. Ketahanan ekonomi diantaranya produktivitas masyarakat berjalan secara optimal, dinamis, dan tentu menghasilkan secara finansial. Semua hal ini akan berjalan dengan baik ketika support dan peran pemerintah maksimal.

Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya akan mudah dalam menciptakan segala akses yang memudahkan masyarakat untuk bisa produktif secara ekonomi. Pemerintah akan mudah melakukan edukasi terhadap masyarakat tentang berbagai hal terkait kegiatan ekonomi. Pemerintah akan mudah mensuplai berbagai hal untuk menciptakan berbagai kegiatan ekonomi di tengah masyarakat. Pemerintah akan mudah membangun infrastuktur untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat untuk produktif dalam kegiatan ekonominya dan menjamin distribusi barang-barang ekonominya. 

Hanya saja perlu di teliti lebih mendalam lagi ada apa di balik program Desa Wisata dan Wisata Desa. Tercium aroma kapitalisasi dan liberalisasi desa dalam program ini. 

Terlihat janggal ketika desa mengalami capaian membanggakan dalam mewujudkan produktivitas pertanian demi mewujudkan kemandirian ekonomi dan ketahanan pangan, pemerintah mendorong untuk menjadikan prestasi membanggakan ini sebagai aset pariwisata yang akan dijual demi mengundang sebanyak-banyaknya wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Mengapa harus dijadikan aset pariwisata? Bukankah jelas-jelas ini adalah kapitalisasi dan liberalisasi? 

Terlihat janggal ketika pemerintah terus mendorong masyarakat hingga masyarakat bawah kelas desa untuk terus mencapai kemandirian ekonominya. Sementara seiring dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan banyak kebijakan yang pro terhadap para investor. Pemerintah begitu mudah mengeluarkan perizinan pada mereka untuk menguasai aset-aset vital negeri ini. Dari mulai pertambangan, kehutanan, pertanian dengan kebijakan impor beras, dan lain-lain. 

Sungguh jika kita membahas kedua realita ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kemandirian ekonomi masyarakat ini tidak lain demi tercipta langgengnya daya beli masyarakat terhadap produk-produk mereka yang merupakan hasil kepenguasaan aset-aset vital negeri ini. 

Lihat saja bagaimana BBM dari Hulu hingga hilir sudah dikuasainya. Hampir semua SPBU di negeri ini sudah dikuasainya. Belum lagi dengan kebijakan impor beras, impor kedelai yang menjadikan harga barang pokok ini meroket tanpa ampun. Bagaimana masyarakat bisa membeli semuanya jika tidak mandiri ekonominya. 

Jelas, ini sejatinya terjadi kapitalisasi dan liberalisasi dibalik jargon kemandirian ekonomi desa dan desa wisata.

Belum lagi, apakah program ini memang untuk swasembada pangan sehingga terpenuhi kebutuhan masyarakat ataukah kental dengan tujuan wisata saja? Swasembada pangan sejatinya harus menjadi fokus pemerintah. Karena dengannya akan terwujud ketahanan pangan. Ketika ketahanan pangan terwujud, maka bisa dipastikan masyarakat sejahtera karena pangan mudah diakses. Bahkan akan menjadikan negeri ini sebagai pemasok pangan dunia sehingga akan memiliki posisi yang diperhitungkan dunia.

Untuk mencapai hal ini tentu perlu upaya yang keras dari semua pihak, terutama peran pemerintah. Dari mulai penetapan kebijakan berbagai hal terkait dunia pertanian, membangun infrastuktur yang memudahkan akses memperoleh sarana produksi pertanian (saprotan) dan memudahkan distribusi hasil pertanian, hingga melakukan edukasi terhadap masyarakat dalam pemahaman berbagai kegiatan ekonomi dalam bidang pertanian dan lain-lain.

Sungguh sayang jika melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini, hanya masyarakat saja yang didorong untuk mandiri dalam produktivitasnya, sementara kebijakan-kebijakan lainnya tidak sejalan. Sementara barang-barang impor terus membanjiri negeri ini, dari impor saprotan hingga hasil pertanian. Sementara kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat pro terhadap investor asing. 

Jika demikian, terciptakah swasembada pangan? Mampukah pangan produk kita menyaingi pangan impor? Sungguh ironis, apalagi capaian produktivitas pertanian desa diiringi tekad menjadikan desa pariwisata dengan menjualnya sebagai aset pariwisata. 

Belum lagi di satu sisi, kebutuhan masyarakat tak hanya beras. Sehingga perlu keseriusan untuk memenuhi pangan rakyat yang sehat dan berkualitas.

Dalam Islam negara wajib memenuhi kebutuhan pangan masyarakat demi menghasilkan generasi yang berkualitas. Negara wajib memfasilitasi berbagai sarana untuk terciptanya ketahanan pangan ini. Islam memiliki mekanisme dalam menciptakan ketahanan pangan ini, diantaranya:

1. Aturan mekanisme kepemilikan tanah. Islam memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memperoleh kepemilikan tanah. Hanya dengan pemberian tanda pada tanah tak bertuan akan digarap, kepemlikinan sah baginya. Kemudian Islam memberikan tenggang waktu 3 tahun untuk melihat keseriusan pemiliknya untuk memproduktifkan tanah tersebut.

2. Islam akan melakukan edukasi dan pendampingan dalam memproduktifkan tanah tersebut.

3. Islam memberikan fasilitas sarana pertanian kepada masyarakat yang tidak sanggup. 

4. Islam membangun infrastuktur yang memudahkan akses memperoleh saprotan dan pendistribusian hasil pertaniannya. 

5. Islam tidak mengeluarkan kebijakan impor ketika pangan sangat memadai bahkan Islam terus menggenjot pengadaan pangan ini untuk memasok seluruh negeri. Bahkan untuk mencapai target ekspor.

Wallahu A'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post