Oleh: Dian Salindri
Anggota
Komunitas Muslimah Menulis Depok
Suatu ketika Nabi Ibrahim a.s
datang berkunjung ke rumah putranya, Nabi Ismail a.s.
Sayangnya pada
kesempatan itu ia tak bertemu dengan Ismail, namun bertemu dengan istrinya. Nabi
Ibrahim menanyakan keberadaan
Ismail kepada menantunya.
Menantunya menjawab, “Ia
sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Nabi Ibrahim
menanyakan tentang kehidupan mereka. “Kami manusia
biasa, kami menghadapi kesempitan dan kesulitan,” jawab
menantunya.
Menantunya pun melanjutkan
keluh-kesahnya kepada Nabi Ibrahim. Kemudian Nabi Ibrahim beranjak pulang, namun
sebelum berpamitan ia berpesan “Jika suamimu pulang, sampaikan salam kepadanya dan katakan kepadanya agar merubah ambang
pintu rumahnya.
Setelah Nabi Ismail
pulang, ia merasakan
ada sesuatu lalu bertanya pada istrinya apakah tadi ada tamu yang datang ke rumahnya.
Istrinya menjelaskan ciri-ciri tamu yang datang tadi dan menyampaikan pesan
dari Nabi Ibrahim.
Saat mendengar pesan itu Nabi Ismail pun
menceraikan istrinya, karena itulah yang dimaksud dengan mengganti ambang pintu
rumah.
Jika dilihat, keduanya adalah
nabi mulia utusan Allah SWT yang tidak
mengedepankan hawa nafsu dan pastinya memiliki penilaian yang tidak
bertentangan dengan syariat Allah. Lalu apakah kita sebagai manusia biasa
berhak menghujat Nabi Ibrahim
karena memerintahkan Ismail untuk menceraikan istrinya? Dan apakah
kita pantas untuk menghujat nabi Ismail karena menuruti perintah ayahnya?
Begitu pula dengan
kisah Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah dan
kemudian dijadikan anak angkatnya. Kisah rumah tangganya dengan Zainab binti
Jahsy menjadi pelajaran yang bisa
diambil hikmahnya. Seperti yang kita ketahui Zainab binti Jahsy merupakan salah
satu istri dari Rasulullah SAW, namun sebelum
beliau menjadi ummahatul mu’minin, Zainab pernah menikah dengan Zaid bin Haritsah yang
disayangkan pernikahan keduanya hanya bertahan selama setahun.
Keduanya adalah
orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasulnya, namun banyak faktor yang
membuat pernikahan mereka tidak bisa langgeng. Zaid yang kala itu menyerahkan
segala urusan kepada Rasulullah untuk mencarikannya mempelai wanita,
menjodohkannya dengan Zainab yang kala itu memiliki status sosial lebih tinggi
dari Zaid. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Arab tidak melihat kepada
status sosial ataupun kasta sesorang yang kala itu menjadi sebuah tradisi di
bangsa Arab. Zainab-pun yang awalnya menolak lamaran Rasulullah untuk Zaid
akhirnya menyetujuinya karena ketaatannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ternyata, amat disayangkan pernikahan dua insan yang taat ini tak berjalan
mulus.
Awalnya Zaid
mendatangi Rasulullah dan mengadukan prahara rumah tangganya, namun Rasulullah
memerintahkan Zaid untuk bersabar, kali kedua Zaid kembali mendatangi
Rasulullah dengan prahara yang sama bahwa rumah tangganya tak
berjalan dengan baik. Pada kali ini Rasulullah menganjurkan Zaid untuk
menceraikan Zainab. Kemudian keduanya mendapatkan pengganti yang lebih baik,
Zainab binti jahsy menikah dengan Rasulullah SAW sesuai dengan perintah Allah SWT. Sedangkan Zaid
menikah dengan Ummu Aiman dan dikaruniai anak yang salih dan menjadi
satu sahabat Rasulullah.
Kisah di atas menjelaskan
kepada kita kaum Muslimin, bahwa
perceraian bukanlah suatu aib dan menjadikan kita pantas menghujat pasangan
yang memutuskan untuk bercerai. Ketika seorang public figure ataupun seorang tokoh agama memutuskan untuk
bercerai, bukanlah hak kita untuk menghujat dan mencemoohnya. Menghakimi
perbuatan mereka dan menganggap bahwa perbuatannya tidak sesuai dengan
ceramahnya. Aaahh netizen yang selalu merasa paling benar.
Islam merupakan
agama yang paripurna, yang mampu mengatur setiap sendi kehidupan manusia, termasuk
pernikahan dan perceraian yang kesemuanya dijelaskan dalam Al-Qur’an. Benarlah
adanya bahwa perceraian adalah sesuatu yang halal namun dibenci oleh Allah SWT.
Sebagaimana
Rasulullah SAW telah
bersabda, “Sesuatu yang halal yang amat
dibenci Allah ialah talak.” (HR. Abu Dawud)
Namun jika
sebuah rumah tangga tidak
lagi menjadi sebuah wadah yang menghasilkan ketenangan, bukan lagi sebuah wadah
yang penuh cinta dan kasih sayang maka perceraian menjadi solusi yang telah
diatur tata caranya dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat
227 yang artinya “Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan,
maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” dan diteruskan ke ayat
selanjutnya sampai pada ayat 232 yang mengatur tata cara talak.
Perceraian di sini tentunya
bukan hanya semata karena sudah tidak ada lagi cinta di antara suami
dan istri, bukan
pula semata-mata hanya mengedepankan syahwat atau pun amarah saat
mengambil keputusan cerai ini. Perceraian ini menjadi solusi paling akhir, jika
semua solusi sebelumnya sudah diupayakan oleh kedua belah pihak.
Jadi sudah
sepatutnya kita sebagai kaum Muslim yang taat
kepada Allah SWT tidak meragukan aturan yang telah dituliskan di dalam
Al-Qur’an. Dan tak sepatutnya kita mencela seseorang yang memutuskan untuk
mengakhiri pernikahnya. Karena perceraian merupakan salah satu solusi yang
diatur dalam Islam. []
Post a Comment