Banjir akibat Kapitalisme Rakus dan Hanya Pengelolaan SDAE dengan Syariah yang Mampu Membawa Berkah


Oleh: Rina Rusaeny (Aktivis BMIC Samarinda)

Setiap memasuki musim penghujan, banjir telah mengancam beberapa daerah di Indonesia, khususnya di daerah Kalimantan.

Pada Rabu 13 Januari 2021 hujan telah mengguyur langit Kota Tepian, julukan Kota Samarinda petang hingga malam hari. Beberapa kawasan terpantau tergenang air, ketinggian air semakin tinggi, tidak berkurang. Khususnya di Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. https://kaltim.tribunnews.com/2021/01/13/hujan-sedari-petang-di-samarinda-muncul-banjir-di-beberapa-lokasi-muncul-pohon-tumbang-dan-longsor

Selain itu juga, bencana banjir juga terjadi pada 12-14 Januari yang menggenangi sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 10 Kabupaten/Kota terdampak banjir Kalimantan Selatan, per Minggu (17/1). Kabupaten/ kota tersebut antara lain Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Batola. Dua daerah terparah yaitu Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut

Tak hanya itu, data per 16 Januari sekitar pukul 18.00 WIB mencatat 112.709 jiwa terdampak dan mengungsi, serta 27.111 rumah terendam banjir. https://m.cnnindonesia.com/nasional/20210117184947-20-594863/10-daerah-terdampak-banjir-kalsel-pengungsi-tembus-100-ribu.

Berbagai analisis pun ramai disuarakan oleh beberapa lembaga.  Salah satu analisis dari tim tanggap darurat bencana di LAPAN menyebut selain dari faktor cuaca penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalimantan adalah berkurangnya hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar yaitu masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektar, 116 ribu hektar, 146 ribu hektar dan 47 ribu hektar. Sebaliknya, terjadi perluasan area perkebunan yang cukup signifikan sebesar 219 ribu hektar yang terjadi dalam rentan 10 tahun terakhir. "tulis LAPAN dilaman Facebook yang diunggah pada Minggu (17/01/2021).

Sementara itu, Manager Kampanye Walhi Kalsel M Jefri Raharja mengatakan masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.https://www.lapan.go.id/post/6832/ramai-soal-unggahan-gambar-penyusutan-hutan-kalimantan-benarkah-separah-itu

Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit," tegasnya.https://www.suara.com/news/2021/01/15/230000/walhi-banjir-kalsel-bukan-salah-hujan-tapi-akibat-tambang-dan-kebun-sawit

Akibatnya ekosistem alam yang ada di Hulu yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air atau Kasman area menjadi rusak area Hilir tidak lagi sanggup membendung air hujan yang berujung terjadinya banjir .

Karut Marut tata kelola lingkungan dan sumber daya alam di Kalimantan Selatan. Telah terbukti berkontribusi besar pada rusaknya daya tampung dan daya dukung lingkungan. Penerapan sistem pemerintahan demokrasi dengan paradigma sekuler kapitalistik yang diadopsi penguasa negeri ini telah membuat hal-hal di luar keuntungan materi menjadi terabaikan. Yang penting ada pembangunan dan keuntungan datang.

Terlebih, sistem pemerintahan seperti ini meniscayakan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam penetapan kebijakan. Hingga tak heran, banyak kebijakan yang justru melegitimasi para pemilik modal melakukan perusakan lingkungan, termasuk di daerah-daerah pedalaman, atas nama menggenjot investasi demi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Dalam Islam, manusia diperintah menjaga dan mengelola alam dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan penciptaan. Bahkan menjaga alam ini lekat dengan tugasnya sebagai hamba Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-A’raaf : 56)

Dalam hal ini, Islam tak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberi cara-caranya. Yakni berupa seperangkat aturan Islam yang melekat pada karakter manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara.

Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syariat soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi mungkar.

Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta. Karena Islam menetapkan fungsi negara sebagai pengatur dan juga pelindung sekaligus berperan menegakkan aturan Islam yang sejatinya memang diturunkan untuk menjaga keseimbangan alam hingga mewujud kerahmatan.

Dimulai dari aturan kepemimpinan atau sistem pemerintahan Khilafah yang berdimensi ruhiyah. Pemimpin, tak hanya bertanggung jawab pada rakyat, tapi juga pada Pemilik Alam Semesta. Maka khalifah akan tercegah dari konflik kepentingan dalam kebijakan-kebijakannya.

Dalam sistem ekonominya, Islam jelas membagi soal kepemilikan. Mana yang boleh dimiliki individu, mana yang merupakan milik umum dan negara. Maka Islam tak akan membiarkan para kapitalis dan penguasa rakus untuk merusak lahan-lahan milik umum demi keuntungan sesaat.

Islam juga punya sistem sanksi yang menjaga agar pelanggaran tak lazim terjadi. Islam akan menghukum berat pihak-pihak yang melanggar hak umat dan menimbulkan kemudaratan bahkan jika terjadi pada dirinya sendiri.

Dalam implementasinya, negara Khilafah akan merancang strategi pembangunan dengan paradigma lurus dan komprehensif. Semata-mata bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat dan pelestarian alam dan lingkungan. Termasuk dalam perkara tata kelola wilayah, pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, kebijakan infokom, dan lain-lain.

Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tak kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kaffah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan mendatangkan kehidupan penuh berkah.

Dan hal ini pernah mewujud dalam sebuah peradaban cemerlang kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah belasan abad lamanya. Sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf : 96)

Sudah saatnya kita kembali ka jalan Allah, yakni pada syariat islam kaffah dalam institusi khilafah islamiyyah. Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post