Tangisan Tanah Papua


Oleh: Yan Setiawati, S.Pd.I., M.Pd.
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah

Lagi-lagi pembakaran hutan terjadi. Kali ini sasaran pembakaran hutan itu adalah hutan Papua, dimana hutan papua merupakan paru-paru dunia. Ada modus apalagi dibalik pembakaran hutan ini?

Dikutip dari www.bbc.com (12/11/2020), sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan "secara sengaja" menggunakan api untuk membuka hutan Papua demi memperluas lahan sawit.

Investigasi visual oleh Forensic Architecture yang berbasis di Inggris menyelidiki hal itu. Dengan menggunakan petunjuk visual dari video udara yang diambil oleh Greenpeace Internasional pada 2013 serta sistem geolokasi, mereka menemukan kebakaran terjadi di konsesi PT Dongin Prabhawa-anak perusahaan Korindo.
"Pola, arah dan kecepatan munculnya titik-titik api sangat sesuai dengan arah, pola, dan kecepatan pembukaan lahan di area konsesi. Ini adalah bukti bahwa kebakaran lahan terjadi secara disengaja. Jika api berasal dari luar area konsesi atau terjadi karena kondisi cuaca yang kering pola kebakarannya akan bergerak dengan arah yang berbeda," ujar Samaneh Moafi, peneliti Forensic Architecture.

Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan di Indonesia, hal itu tidak dibenarkan. Tidak diperbolehkan atau melanggar dari hukum apabila ada perusahaan menggunakan api, karena menggunakan api adalah cara termurah bagi perusahaan untuk land clearing.

"Dalam investigasi ini kami ingin menunjukkan bahwa mereka terbukti menggunakan api dalam pembukaan hutan," tutur Kiki Taufik dari Greenpeace Indonesia.

Dampak dari pembakaran hutan ini tidak hanya berefek pada ekonomi dan lingkungan hidup saja. Dibalik semua ini ada simbolisasi kepentingan asing yang semakin mencengkram situasi politik dan ekonomi Papua. 

Sementara itu masyarakat suku Malind, yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung. Mereka sedih karena hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.

"Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak-cucu, kami jaga hutan ini dengan baik," kata perempuan suku Malind, Elisabeth Ndiwaen.

"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka," ujarnya. (news.detik.com/14/11/2020). 

Begitu sakitnya hati masyarakat tanah Papua melihat hutan yang selama ini dijaga dan menjadi tempat hajat hidup mereka dibakar begitu saja. Dimana peran negara yang selama ini mengelu-elukan demokrasi? Rakyat menolak hutan dijadikan lahan sawit pun tidak didengar penguasa. Inilah bukti kemandulan sistem demokrasi melindungi rakyat dan hak rakyat atas SDA dari campur tangan dan perusakan yang dilakukan asing. 

Miris memang, melihat Negara Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam namun tidak bisa dinikmati masyarakatnya. Begitu bobroknya negara demokrasi yang seharusnya kedaulatan ada ditangan rakyat ini namun ternyata negara lebih berpihak pada negara asing yang diam-diam mengambil kekayaan masyarakat Indonesia.  

Semua kebrobrokan itu tidak akan terjadi jika Islam dijadikan solusi.  Dalam Islam, haram hukumnya membuka peluang lepasnya sejengkal tanah negara  kepada asing. SDA akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan digunakan untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat.  

Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’: 141)

Islam akan memberikan jaminan kesejahteraan dan penjagaan alam. Dalam Islam ada beberapa langkah yang akan dilakukan dalam mengelola hutan, yaitu:

1. Hutan termasuk dalam harta kepemilikan umum,  bukan milik Individu atau negara.  
Rasulullah Saw. bersabda:
"kaum muslim bersekutu (bersama-sama)  memiliki hak dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Jadi, jika benda-benda tersebut benar-benar fasilitas umum maka dapat dinikmati secara bersama-sama. 

2. Hak mengelola hutan sebagai harta milik umum berada di tangan negara bukan swasta atau Individu. 
Islam melarang penguasaan aset milik umum pada Individu atau swasta. Dalam prakteknya kepemilikan umum harus dikelola negara dan hasil pemanfaatannya dikembalikan kepada masyarakat.  

3. Pengelolaan hutan yang tak mudah dilakukan individu seperti eksplorasi tambang gas,  minyak, dan emas dibutuhkan peran negara dalam mengelolanya, sebab pemanfaatan Sumber Daya Alam jenis ini membutuhkan keahlian khusus, sarana dan prasarana juga dana yang besar.  

4. Pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan individu secara langsung dalam skala terbatas,  misalnya mengambil ranting kayu, menebang pohon secara terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil rotan, madu, buah-buahan, dan air dalam hutan, negara melakukan pengawasan terhadap kegiatan masyarakat di hutan tersebut. Semua itu dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.  

5. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi. Sedangkan segi administratif bersifat desentralisasi (ditangani pemerintah provinsi/wilayah). 
Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan dan kebijakan keuangan (Maliyah) ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintahan pusat.  Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) pengelolaan hutan ditangani oleh pemerintah wilayah/provinsi. 

6. Hasil kelola hutan dimasukkan ke kas negara (baitul mal) dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat sesuai syari'at Islam. 

7. Negara wajib mengawasi dan mencegah perusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Dilakukan oleh lembaga peradilan (qadhi hisbah).  Lembaga peradilan ini bertugas menjaga hak-hak masyarakat secara umum termasuk pengelolaan hutan. 

8. Negara memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, dan penebangan di luar batas yang dibolehkan. Sanksi ta'zir bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkan. Prinsipnya harus memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya. 

Itulah hal-hal yang akan dilakukan Islam dalam melakukan pengelolaan, pengawasan, dan pemberian sanksi terhadap hutan dan kekayaan alam yang menjadi hak milik umum.  Dengan begitu, kekayaan alam tidak akan pernah bisa dimiliki oleh asing. 

Wallaahu 'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post