KETIKA NYAWA TAK LAGI BERHARGA


By : Fitria A, S.Si

Saat kepala keluarga pergi ke TPS dengan harapan mendapat pemimpin baru, justru Istrinya kehilangan harapan hidup. Inilah yang terjadi pada salah satu keluarga di Nias Utara. Sang Ibu, MT sudah diperiksa. Dari pemeriksaan awal sudah diketahui motifnya membunuh anak-anak. Pelaku melakukan pembunuhan tersebut karena faktor himpitan ekonomi. (www.viva.co.id)   Lebih mengenaskan lagi kejadian ini mencuat di saat Forbes merilis 50 orang terkaya di Indonesia.

Berita lain tidak kalah mengejutkan sekaligus menyayat hati ketika seorang anak dibunuh karena susah belajar daring. Pelaku IS, yang juga ibu korban, mengaku menganiaya korban pada 26 Agustus lalu, hingga tewas. (www.kompas.tv)

Sebenarnya apa yang salah dengan kondisi saat ini, ketika seorang ibu berperilaku lebih kejam dari binatang. Lantas kemana lagi nurani yang seharusnya menjadi filter dan menjadi terdepan untuk melindungi keluarga. Apalagi ini adalah seorang ibu yang notabene sangat marah apabila ada orang lain menyakiti anaknya. Pastinya ada sesuatu yang jauh lebih berpengaruh dalam dirinya yang pada akhirnya mengalahkan akal sehat dan nurani.

Adilkah jika menuduh pandemi hingga berdampak adanya daring dan kemiskinan ini. Sementara suami pelaku menyampaikan bahwa sejak mereka menikah tidak pernah bahagia karena kemiskinan. Rata-rata keluarga tersebut hanya makan sekali dalam 3 hari. Betapa makan sebenarnya kebutuhan yang amat sangat mendasar. Nofedi ayah korban juga bukanlah pemalas dan pengangguran. Namun penghasilannya sebagai kuli deres karet tidak mampu mencukupi kebutuhan ayah ibu dan 4 orang anak.

Demikian juga dengan pembelajaran daring yang harus dilakukan selama pandemi ini. Bukankah seharusnya pendidikan memang adalah tanggung jawab orangtua. Namun kondisi pandemi ini “memaksa” orangtua untuk menggantikan posisi guru yang seharusnya memberikan pendidikan anak-anak di sekolah secara langsung.

Mau tidak mau, suka tidak suka, keadaan ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang ada dan juga ketidakmampuan ibu mengajari anaknya sehingga kemudian emosi hingga membunuh anaknya adalah hasil diberlakukannya sistem yang ada saat ini. Bagaimana potret kemiskinan dengan berbagai dampaknya senantiasa menghiasi layar kaca dan media-media online. Berbagai bantuan yang diberikan pemerintah ternyata tidak menyentuh keluarga Nofedi sama sekali. Penyebabnya adalah keluarga Nofedi ini tidak memiliki Kartu Keluarga. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kemudian Pemerintah Desanya tidak memberikan fasilitas untuk memudahkan pengurusan Kartu Keluarga tersebut. Bisa jadi keluarga tersebut tidak memiliki dokumen-dokumen pendukung untuk mencetak kartu keluarga tersebut. Kembali lagi bisa jadi akta nikah yang menjadi salah satu syarat dicetaknya Kartu Keluarga tidak dimiliki karena faktor biaya atau minimnya informasi.

Saat ini standar kemiskinan dan kualitas hidup manusia dihitung secara rata-rata angka. Maka benar saja ketika kasus keluarga Nofedi dan IS tidak akan terbaca. Apalagi dengan melihat apa yang dirilis Forbes tentang kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan Rp 1.874,572 triliun hamper setara dengan APBN Indonesia 2020 sebesar Rp1.975,24 triliun. (www.tempo.com) Maka Pendapatan Perkapita tidak akan terlalu berpengaruh hanya karena kemiskinan seorang atau bahkan ratusan keluarga semacam keluarga Nofedi.

Sangat berbeda dengan ukuran kesejahteraan di dalam Islam. Dalam Islam kesejahteraan diukur orang per orang. Satu orang atau satu keluarga saja yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (minimal sandang pangan dan papan), maka dikatakan bahwa Negara belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebuah kisah masyhur mengenai apa yang dilakukan oleh Kholifah Umar bin Khottob dengan melakukan sidak setiap saat untuk memastikan semua warganya tidak ada yang kelaparan adalah sebuah bukti nyata bahwa kepala Negara bertanggung jawab atas kebutuhan mendasar rakyatnya. Saat itu Umar langsung memanggul sendiri gandum untuk keluarga yang dijumpai hanya memasak batu untuk mengelabuhi anaknya yang sedang kelaparan. Ketika pengawal Umar meminta untuk membawakan gandum itu, Umar dengan tegas menolak dengan alasan kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat adalah beliau sebagai kholifah bukan yang lain.

Lantas apakah kemudian setiap warga menjadi tanggungan kepala Negara atau kholifah untuk memenuhi kebutuhan ekonominya?

Islam mempunyai tahapan mekanisme yang sangat rinci dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar untuk mencapai kesejahteraan. Yang pertama adalah memastikan setiap keluarga bekerja mencari nafkah. Jika belum ada ketrampilan yang dimiliki, maka Negara akan menyediakan fasilitasi untuk pemenuhan ketrampilan itu. Jika modal yang menjadi halangan, maka ada baitul mal yang siap membantu modal bagi mereka, jika kemalasan faktornya, maka Negara juga turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Berikutnya, jika kepala keluarga sudah bekerja namun tidak mampu memenuhi kebutuhannya maka mekanisme kepedulian kerabat dan tetangga terdekat menjadi hal yang dibudayakan di tengah-tengah masyarakat. Baru jika kemudian memang tetap tidak mampu, negaralah yang akan terjun langsung menyelesaikan.

Demikian juga dalam hal pendidikan. Sebuah hadist menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim dan muslimat. Hadist ini membawa konsekuensi kepada Negara untuk menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung untuk hal itu. Tidak hanya untuk anak usia sekolah namun bagi seluruh warganya.

Seorang ibu yang depresi karena tidak bisa mengajari anaknya saat pembelajaran daring adalah sebuah potret ketidakmampuan seorang ibu secara intelektualitas. Jika ibu bisa mengajari, maka tidak akan terjadi stres apalagi depresi. Berbeda sekali dengan di masa-masa ketika Islam diterapkan secara kaffah. Pada saat pemerintahan Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Spanyol. Cordoba saat itu juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Volume kunjungan ke perpustakaan mencapai angka 400.000 kunjungan, di saat yang sama perpustakaan-perpustakaan besar di Eropa jarang mencapai angka seribu. Pada masa kekuasaan Abdurhaman III, didirikan Universitas Cordoba yang terkenal dan menjadi kebanggaan umat Islam. Banyak mahasiswa dari berbagai negara, termasuk mahasiswa Kristen dari Eropa, menuntut ilmu di universitas itu. Geliat pendidikan di Cordoba makin bersinar pada era pemerintahan Al Hakam Al Muntasir. Sebanyak 27 sekolah swasta didirikan, bahkan gedung perpustakaan mencapai 70 buah. Anak-anak miskin dan terlantar bisa bersekolah secara gratis di 80 sekolah yang disediakan pemerintah.

Pemerintah yang melandaskan hanya pada wahyu Allah sebagai sandaran pasti berbeda dengan sistem demokrasi yang menjadikan akal manusia sebagai standar baik dan benar serta halal dan haram. Dalam sistem demokrasi pengaturan Negara menjadi kekuasaan rakyat yang dalam hal ini dwakili oleh DPR dan DPRD untuk membuat regulasi. Walhasil lahirlah UU Minerba, UU SDA, UU Perbankan, UU Cilaka, dan lain-lainnya. Semua Undang-undang tersebut harus melalui proses legislasi yang diawali dengan prolegnas, pengajuan disertai naskah akademik, kemudian dirapatkan dalam rapat komisi, rapat legislasi, rapat anggaran atau rapat panitia khusus dan seterusnya hingga kemudian RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Proses ini sama sekali mengesampingkan bagaimana sebenarnya Allah sebagai pencipta manusia memberikan aturan dan tuntunan. Bukankah Allah telah menegaskan bahwa Islam diturunkan secara sempurna (QS Al Maidah:3) dan Islam juga diturunkan tidak hanya untuk umat Islam saja tapi untuk rahmat bagi seluruh alam. (QS Al Anbiya : 107). Kembali lagi Allah menegaskan bahwa tidak ada hukum Allah adaalah hukum yang terbaik (QS Al Maidah: 50).

Sistem yang ada saat ini telah melahirkan sosok-sosok yang tidak manusiawi seperti halnya MT dan IS. Kasus ibu MT dan IS hanyalah sebagian kecil dampak ketika hukum Allah ditinggalkan. Diabaikannya hukum Allah akan mengakibatkan kemiskinan kenistaan, keterpurukan, kekacauan dan kegoncangan. Sebagaimana firman Allah, yang artinya: Apakah engkau tidak melihat bagaimana orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan Allah menyesatkan mereka atas dasar ilmu, menutup pendengaran mereka dan menjadikan penutup pada penglihatan mereka. Maka siapakah yang memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah?. Maka tidakkah engkau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 2 3)

Jika kita mau merenung, sampai kapan kondisi ini akan terus begini, haruskah menunggu MT-MT dan IS-IS lain. Sudah kurang banyak apa peringatan yang Allah berikan agar manusia kembali pada aturanNya. Hanya Allah yang Maha Tahu aturan apa yang terbaik untuk diterapkan manusia.

Wallohu ‘alam bi ash showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post