Gantungan Gak Tepat Dan Kembali lah ke Gantungan Yang Tepat



Oleh : Nesti Rahayu
Mahasiswa UIN IB Padang
( _Aktivis Kampus_)

HOME INTERNASIONAL
Jika Menang di Pilpres AS, Joe Biden Akan Perlakukan Islam Seperti Agama Lain, Netizen Terharu!
Aulia Nur Arhamni
7 November 2020, 13:56 WIB

JAKBARNEWS - Jika nantinya menang dan resmi terpilih jadi Presiden Amerika Serikat 2020, Joe Biden berjanji kepada umat muslim akan perlakukan agama Islam sebagaimana mestinya.

Hahaha, Terdengar lucu emang ketika membaca berita diatas, rasa nyaris sekali sekali ditelinga, bahkan menusuk kejantung yang terus menerus mendengar janji-janji manis  setiap pemilihan/disebut dikala pemilu, tapi ending nya janji-janji itu hanya lah tinggal kenangan buruk setetelah pemilihan selesai dan mendapatkan yang diingikan dan akhirnya yang dijanjikan hanya diacuhkan, ah pada tau lah maksud saya gimana pasti teman-teman semua juga udah tau.
Benarkah ganti presiden kali ini akan membawa kepada kemajuan, kamakmuran dan keakuran bagi palestina dan Israil yang masih dibawa pemerintahan  Demokrasi rasa nya nihil. Bisa kita berkaca pada keadaan atau sejarah sudah berapa banyak di ganti presiden tapi apakah memperbaiki keadaan ? Apakah membawa kemakmuran? Sama sekali tidak, dan yang lebih lagi apakah mempersatukan ummat ? sekali lagi tidak malahan memperkeruh keadaan, membuat ummat terpecah belah terutama ummat Islam. Ya karena yang diterapkan masih sama yaitu Demokrasi yang aturan nya buatan manusia, yang hanya berasaskan maanfa'at dan mengesamping agama. Atau lebih jelas bisa kita buka lagi apa itu  demokrasi adalah dari Rakyat untuk rakyat dan kembali lah kepada rakyat itu lah kesimpulannya.
Tapi pada kenyataan nya suara ra'yat yang didengarkan. Dan ternyata seperti ini lah sejarah demokrasi Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara Perancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok:
1. yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;
2. yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran.
Di Itali, dua kelompok ini dikenal sebagai Gulf dan Ghibelline, dan mereka saling berperang memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran agama (Kristen) dari kehidupan negara, atau dikenal dengan sekularisme.
Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang membatasi. Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Salahsatu lambang betapa liarnya dunia politik sekuler adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan The Prince. Salahsatu pilar pemikiran politiknya adalah: “….politik adalah sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan kelemahan mereka.”

Itulah awal mula nya demokrasi lahir dan sampai sekarang diagung-agungkan padahal bertentangan dengan fitra manusia dan menghapuskan Agama dari negara

Berbeda sekali dengan Islam Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah swt. Tetapi memang ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb.  Dalam hal ini Allah swt berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS al-Maaidah : 3)

Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah swt. Penetapan hukum tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk, halal-haram, terhadap sesuatu hal. Allah swt berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS al-An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (QS an-Nisaa : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS asy-Syuuraa : 10)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS al-Maaidah : 50)
Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: “Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad saw dari Tuhannya, yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia.”
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum), sebagai pihak yang paling berhak menentukan status baik-buruk terhadap suatu masalah. Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk kepada keempat sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas (ijtihad).


Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan atas dasar itu rakyat dapat memilih seorang penguasa (Khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridha wal ikhtiar). Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi, Khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit:
“Kami membaiat Rasulullah saw (sebagai kepala negara) untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah.”

Itu lah Sistem Islam yang sempurna aturannya dari sang Kholiq, sesuai fitrah, menentramkan jiwa serta memuaskan akal, tidak ada yang perlu diragukan lagi yuk kembali ke Aturan Sang pencipta campakan Demokrasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post