Rezim Oligarki Buta dan Tuli Terhadap Aspirasi

Oleh : Sisi Yanti, S.E

Pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja jadi sorotan banyak kalangan. Poin-poin dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini pun siap untuk diundangkan. Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 dini hari. Meski dalam proses pembahasan antara pemerintah dengan parlemen diiringi gelombang protes dari masyarakat baik dari kaum buruh hingga kaum intelektual seperti mahasiswa. Mereka berbondong-bondong turun ke jalan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.

Gelombang protes masyarakat dari berbagai daerah yang tujuannya, untuk mendesak pemerintah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan pada 5 Oktober lalu menuai berbagai komentar dari berbagai kalangan elit pemerintah contohnya di kutip dari detik news ( Rabu, 07/10/2020 ) " Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon meminta maaf karena tidak berdaya mencegah pengesahan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker). Merespons ini, DPP Gerindra memastikan partai sudah menampung aspirasi rakyat."

Begitu pun dikutip dari warta ekonomi.co.id ( Jumat,'09/10/ 2020 ) Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut ketidakpuasan atas omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bisa ditempuh secara konstitusional. 
"Ketidakpuasan atas UU Ciptakerja bisa ditempuh dengan cara yang sesuai dengan konstitusi," kata Mahfud dalam konferensi pers virtualnya, Kamis (8/10/2020) malam.

Tidak ketinggalan ketua PBNU pun ikut berkomentar Jakarta, CNN Indonesia  Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan mendukung uji materi atau judicial review Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (CNNIndonesia,9/10/2020)

Pemerintah Seolah Abai 

Bila merujuk pada draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, terdapat sejumlah pasal-pasal bermasalah, yang mencakup ketenagakerjaan, pendidikan, pers hingga lingkungan hidup.

Dalam hal ketenagakerjaan,  misalnya menurut Amnesty Internasional, RUU Ciptaker berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja. “RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional," kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja," tambah Usman. 

Dalam hal lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mengkritik hilangnya pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) di RUU Cipta Kerja. Sebab, Walhi mendapati pemerintah dan tim dari pengusaha menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" dalam pasal 88.

Bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan." 
Namun, dalam RUU Cilaka, isinya hanya tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya."

Dalam dunia pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia. Menurut Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo, RUU ini akan berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers. 
Dalam dunia pendidikan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid menyatakan ada sejumlah sanksi pidana yang berpotensi kriminalisasi terhadap penyelenggara pendidikan Pesantren dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Untuk pasal-pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja, selengkapnya bisa dibaca di sini (Daftar Pasal Bermasalah dan Kontroversi Omnibus Law RUU Cipta Kerja). (Tirto.id, 5/10/2020)

Gelombang protes di sahkannya RUU cipta kerja menjadi undang-undang seolah-olah di abaikan oleh pemerintah. Buktinya meskipun gelombang protes makin hari makin menggunung di lapangan dan juga di media sosial tapi  pemerintah diam seribu bahasa, serta membiarkan masyarakat yang protes di lapangan baku hantam dengan para aparat. Hingga banyak korban yang mengalami luka-luka hingga di larikan ke rumah sakit baik dari kalangan peserta aksi maupun dari para aparat pemeintah. 

Begitulah watak asli demokrasi yang buta terhadap derita rakyat dan tuli terhadap aspirasi masyarakat serta seolah -olah sangat pro terhadap kepentingan para penguasa ketimbang rakyatnya. Hingga menunjukan watak pemimpinya yang oligarki. 
Oligarki (Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk "sedikit" (ὀλίγον óligon) dan "memerintah" (ἄρχω arkho).(wikipedia bahasa Indonesia)

Profesor Imu Politik dari Northwestern University, AS, Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarky (2011) menyimpulkan bahwa motif semua keberadaan oligarki adalah mempertahankan kekayaan. Berbagai cara akan ditempuh untuk memelihara kekuasaan termasuk keterlibatan para oligarki) mengklaim hak milik dan kekuasaan kolektif secara paksa terhadap cabang-cabang produksi negara.[1]

Demikianlah realitas kehidupan yang dijalankan tanpa petunjuk Alquran dan Sunah, melainkan menjalankan pemerintahan mengikuti sistem kapitalis yang dirumuskan dari hawa nafsu manusia. Kesempitan hidup dihadapi hampir seluruh rakyat, dan tak mustahil para oligarki serta kroninya akan merasakan sempit di akhirat.

Karena itu tak ada cara lain kecuali “… maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku. Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.“ (TQS Thaha: 123).

Maka kembali berpegang teguh dan melaksanakan Islam kafah dalam naungan khilafah, niscaya akan melenyapkan semua himpitan sekaligus memusnahkan semua potensi rezim oligarki penghisap darah rakyat.

Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post