Pesta di Tengah Rakyat Terpapar Corona



Oleh: Dian Ummu Ziya
(Aktivis Dakwah Muslimah)

Pilkada yang  akan digelar 9 Desember 2020 mendatang menuai polemik dimasyarakat. Bagaimana tidak, kondisi belum stabil akibat pandemi, masih membutuhkan perhatian yang besar dan serius untuk segera ditangani. Bahkan kabar terbaru lonjakan kasus Covid-19 mulai terulang lagi. Jikalau pilkada tetap dilaksanakan, bisa dipastikan  memunculkan ledakan penyebaran virus. Bahkan bisa dipastikan lebih besar dari sebelumnya.

Dilansir dari detik.com kasus positif Corona di Indonesia mencapai 262.022 jiwa. Pasien meninggalpun mencapai 10. 105 jiwa. Tentu ini bukanlah jumlah yang sedikit  dan harus ada upaya menekan bahkan menghentikan penyebarannya.

Namun tingginya angka kematian covid-19 nyatanya tidak menghentikan para pejabat negara untuk tetap mengadakan pesta. Kesepakatan telah dibacakan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung selaku pimpinan rapat dalam rapat kerja di Komisi II DPR, pada Senin, 21 September 2020. Dalam rapat tersebut menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap akan dilangsungkan pada 9 Desember 2020, dengan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. (Beritasatu.com, 14/09/20)

Penolakanpun datang dari berbagai pihak. Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) memutuskan meminta pemerintah menunda penyelenggaraan pilkada tahun ini karena dinilai akan memunculkan klaster baru sehingga penanganan kasus Covid-19 di Indonesia tidak kunjung selesai.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menyebut, 45 kab/kota yang akan melaksanakan pilkada serentak di Desember 2020 adalah zona merah Covid-19. Ini jelas berbahaya.

Selain itu, laporan kasus baru Covid-19 yang dicatat Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi di antara negara Asia Tenggara lainnya (tribunnews.com, 18/9/2020).

Menanggapi permintaan penundaan pilkada yang dijadwalkan 9 Desember 2020, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penundaan pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR.

Ngototnya pemerintah menyelenggarakan pesta di tengah pandemi, setidaknya ada dua alasan. Pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugasp.
Kedua, ketidakpastian kapan akan berakhir pandemi ini. (Beritasatu.com, 14/09/20).

Dalam ranah sistem demokrasi, pilkada merupakan upaya negara untuk mewujudkan pemimpin amanah, adil dan mumpuni. Dengan harapan hadirnya pemimpin baru akan mengubah wajah Indonesia menjadi lebih baik. Pemilihan yang melibatkan rakyat secara langsung dinilai lebih efektif untuk benar-benar bisa mewakili aspirasi mayoritas rakyat. Tentu, akan lebih baik jika dilaksanakan dalam kondisi dan waktu baik pula. Sehingga rakyat benar-benar fokus dalam menyeleksi siapa yang layak untuk duduk di tampuk kekuasaan dalam rangka mewakilinya.

Namun ketika negara mengalami musibah, keterpurukan ekonomi dan mental masyarakat yang belum stabil akibat pandemi. Bukankah hasilnya pun tak maksimal? Bahkan justru akan menambah klaster baru.

Alasan belum adanya UU untuk menunda pilkada merupakan bukti lemahnya sistem di negeri ini. Penguasa cenderung mengedepankan  aspek politik ekonomi daripada menyelematkan nyawa rakyat. Lahirnya UU dari manusia telah menunjukkan kelemahan untuk mengatur negara. Karena manusia akan cenderung membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga jargon "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" hanyalah ilusi semata.  Bagaimana memperbaiki negara, jika rakyat dalam kondisi sekarat?

Ketidakmauan pemerintah dan DPR akan kepemimpinan pelaksana tugas di tiap daerah, perlu ditinjau ulang. Kondisi pandemi seperti ini, jika  tetap memaksakan pilkada justru akan menambah klaster baru yang jauh lebih besar. Pengumpulan masa saat kampanye, kehadiran saat pemilihan tidak bisa dihindari meskipun dengan aturan protokol kesehatan. Saat ini saja, masyarakat justru mulai acuh dengan pandemi. Lantas apakah adanya sanksi akan efektif untuk mengatur pelaksanaan pilkada?

Ketidakjelasan berakhirnya pandemi ini, harusnya mendorong pemerintah untuk  segera fokus dan serius menangani. Mencegah dan mengobati serta menekan hal-hal yang dapat memperluas penyebaran. Penanganan yang baik dan serius akan mempercepat berakhirnya pandemi sehingga kehidupan publik dan masyarakat bisa kembali seperti semula. Bahkan pilkada bisa dilaksanakan dengan kondisi yang aman dan nyaman.

Buruknya penanganan wabah saat ini, tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi sekuler. Sistem ini lebih mengedepankan aspek ekonomi politik dari nyawa rakyat. Jelas hal ini tidak layak untuk mengatur kehidupan manusia pada umumnya, apalagi kaum muslim. Sistem yang menihilkan aturan Allah Swt. telah terbukti membawa kesengsaraan dan kehinaan.

Islam Solusi Hakiki

Islam merupakan aturan hidup yang sempurna. Tidak hanya mengatur urusan ibadah dan akhlak, namun juga mengatur kelangsungan hidup manusia dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan.

Begitupun dalam membuat aturan kehidupan, harusnya senantiasa terikat dengan aturan Sang Maha Pencipta. Karena Dialah yang mengetahui apa yang baik dan buruk bagi makhluknya. Terlebih Allah Swt. telah berfirman dalam surah Al Maidah 48

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Artinya: Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.

Dari penggalan ayat diatas sangat jelas, bahwasanya kita sebagai seorang mukmin harus senantiasa menggunakan petunjuk yakni Al-Quran sebagai pemutus segala perkara, termasuk dalam mengatur urusan umat.

Disisi lain syariah Islam sangat menjaga nyawa dan keselamatan rakyat. Allah Swt. berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS an-Nisâ’: 93)

Rasulullah Saw. bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)

Oleh karena itu haram bagi negara untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang dapat membahayakan nyawa rakyat.

Penguasa dalam syariat Islam merupakan wakil umat untuk mengatur kehidupan sesuai tuntutan Al-Qur'an dan sunah. Oleh karena itu pemimpin dalam pandangan Islam merupakan junnah/pelindung dari berbagai marabahaya. Nabi Muhammad Saw. bersabda,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Dalam hadis lain, “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).

Dengan demikian, hadirnya pemimpin amanah dan adil hanya mampu diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama mengupayakan kehadirannya agar kehidupan kita mendapatkan berkah dari Allah Swt.

Wallahu'alam bi shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post