Pengesahan Omnibuslaw, Bukti Rusaknya Sistem Kapitalisme

Oleh : Opa Anggraena

DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin (05/10) sore walau terus mendapat penolakan dari berbagai kelompok buruh dan sejumlah pihak lainnya. Tujuh fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, dan beberapa di antaranya menerima dengan catatan, sementara dua fraksi menolaknya. Usai pembacaan pendapat fraksi-fraksi, sejumlah politikus Partai Demokrat melakukan interupsi sebelum akhirnya melakukan aksi "walk out" atau meninggalkan ruangan. Keputusan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini digelar setelah Badan Musyawarah DPR pada Senin siang menyetujui untuk disahkan pada rapat paripurna. Sejumlah kalangan menilai pengesahan RUU yang kontroversial ini "dikebut". Sebelumnya, pembahasan RUU Cipta Kerja telah diselesaikan Badan Legislasi DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) malam.

Dari catatan detikcom, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan ada 7 hal yang ditolak buruh dalam RUU Cipta Kerja.

1. Upah Minimum Penuh Syarat
2. Pesangon Berkurang
3. Kontrak Kerja Tanpa Batas Waktu
4. Outsourcsing seumur Hidup
5.  Dapat Kompensasi Minimal 1 Tahun
6. Waktu Kerja yang Berlebihan
7. Hak Upah Cuti yang Hilang

Untuk kepentingan siapa RUU ini di sah kan ? Siapa yang di untungkan dari pengesahan RUU ini ? Tentu bukan para pekerja buruh. Ditengah pandemi yang belum mereda, pemerintah sibuk membuat uu yang hanya akan menambah kesengsaraan rakyat terutama para buruh. Hak hak mereka terampas dan semakin jauh dari kesejahteraan .

Kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak memihak buruh namun menguntungkan para cukong investor besar. Rakyat dikhianati oleh wakil mereka yang mengatas namakan diri mereka Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebagai wakil rakyat seharusnya mewakili segala keluh kesah rakyat, menampung semua aspirasi rakyat. Tapi yang terjadi aspirasi rakyat dalam demokrasi adalah fiktif. Keanggotaan wakil rakyat di parlemen adalah untuk mewakili partai-partai politik yang dianggap merepresentasikan rakyat. Mereka dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat dan mengimplementasikan aspirasi rakyat dalam perundangan, serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan tugas mereka. Namun, realitas menunjukkan bahwa yang dibawa oleh wakil rakyat adalah kepentingan partainya dan pihak-pihak yang mensponsori kampanyenya. Adanya draft UU migas dan sumber daya air yang ternyata ‘diimpor’ dari lembaga internasional untuk menjamin kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Bagi negara-negara ‘berkembang’, adanya parlemen menjadi jalan masuk dan menguatnya cengkeraman negara asing melalui undang-undang.  Mereka duduk disana bukan untuk kepentingan rakyat, mereka hanya butuh suara rakyat saat pemilu namun tidak ada sedikitpun mereka akan memperjuangkan hak rakyat. Inilah wujud parlemen dalam sistem kapitalis sekuler .

Berbeda dengan parlemen dalam sistem islam yakni khilafah yang bernama majelis ummat. Majelis umat merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol/muhasabah. Terdapat perbedaan antara syura dan muhâsabah. Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan, sedangkan muhâsabah adalah melakukan penentangan setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan. Perlu ditekankan juga bahwa majelis umat bukan bagian dari struktur pemerintahan, karena itulah anggotanya pun bisa saja dipilih dari kaum wanita.

Ada beberapa hal yang menjadi wewenang majelis ummat, dimana pendapat majelis dapat bersifat mengikat khalifah atau tidak mengikat. Wewenang tersebut adalah sebagai berikut:

1.Dimintai masukan dan memberikan masukan kepada khalifah terkait urusan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Dalam hal ini, jika aktifitas tersebut memerlukan pengkajiaan dan analisis yang mendalam, maka pendapat majelis ummat tidak bersifat mengikat, bahkan khalifah tidak harus merujuk kepada majelis ummat. Namun, jika aktifitas tersebut tidak membutuhkan pengkajian dan analisis yang mendalam, pendapat majelis ummat dalam hal ini bersifat mengikat, misalnya: permintaan rakyat atas perbaikan kota-kota dan penjagaan keamanan, dll.

2.Memberikan masukan terhadap penetapan hukum, tapi tidak melakukan adopsi hukum, dan pendapat majelis ummat dalam hal ini tidak mengikat.

3.Mengoreksi khalifah atas semua aktifitas praktis daulah. Pendapat majelis dalam hal ini bersifat mengikat kecuali yang berkaitan dengan aspek syariah yang telah sempurna dilaksanakan, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada makhamah madzalim.

4.Berhak untuk menampakkan ketidakrelaan terhadap para mu’awin, wali maupun amil. Pendapat mayoritas majelis dalam hal ini bersifat mengikat, kecuali jika pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat majelis wilayah di wilayah tersebut.

5.Membatasi calon-calon khalifah yang sudah ditetapkan mahkamah madzalim. Pendapat majelis dalam hal ini bersifat mengikat.

Dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa jika menyimpang karena penguasa pun adalah manusia biasa. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda:Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya (HR Abu Dawud). Abdul Kareem Newell dalam buku Akuntabilitas Negara Khilafah mengatakan bahwa ada pengimbang kekuatan eksekutif Khalifah di dalam negara Khilafah, yaitu majelis umat dan mahkamah mazhalim. Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Di sisi lain, individu warga negara maupun keberadaan partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan hanya boleh, tetapi wajib (QS Ali Imran [3]: 103). Inilah jaminan penyaluran aspirasi rakyat dalam Negara Khilafah, tidak kah kita rindu akan sistem islam ?

Wallahu'alam bish shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post