OMNIBUS LAW MENUSIK STANDAR HALAL


OLEH : HJ PADLIYATI SIREGAR ST

RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) rencananya segera rampung dalam waktu dekat. Undang-Undang (UU) ini akan memberikan berbagai kemudahan kepada masyarakat. Selain memberikan penyederhanaan dan percepatan proses perizinan usaha di Indonesia, peraturan perundangan ini juga memperluas Lembaga Pemeriksa Halal. 

Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal bisa dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah. 

“Sekarang, baik NU dan Muhammadiyah, bisa membuat sertifikasi Halal. UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Saya ingin yang terbaik dan adil untuk rakyat,” kata Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PAN, M. Ali Taher.

Berbagai instrumen kemudahan untuk UMKM dalam pemberian sertifikasi halal itu sudah melalui banyak proses, termasuk pendapat dari berbagai elemen yang disampaikan sejak beberapa bulan lalu. 

Tentu saja kemudian timbul pertanyaan, apakah hal itu tidak membuka peluang adanya ketidakpastian hukum serta peluang deklarasi mandiri (self declare)?

Namun Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menampik anggapan UU Cipta Kerja memberi peluang self declare (deklarasi mandiri) produk halal dapat dilakukan secara serampangan oleh setiap produsen,bisa jadi  terdapat pemahaman yang tidak utuh oleh sebagian masyarakat yang berkesimpulan self declare halal dapat dilakukan siapapun dengan cara remeh temeh.

Sementara itu ditempat yang berbeda,Konsultan Halal Staf LPPOM MUI sejak 1999 hingga 2012  mempertanyakan keajegan peraturan yang mengizinkan para pengusaha kecil untuk mendeklarasikan sendiri produknya sebagai produk halal ini. Menurutnya, ketidakjelasan peraturan justru akan semakin membingungkan masyarakat sekaligus mereduksi fungsi proses sertifikasi halal itu sendiri.

"Self declare itu kalau memang benar akan dilaksanakan, teknisnya seperti apa? siapa penjaminnya? bagaimana sistem pengawasannya? siapa yang mengawasi? berapa lama masa berlaku self declare itu? nah ini yang jadi pertanyaan. Apa para perumus Omnibus Law itu bisa merincikannya dengan jelas?" ujar Aisha saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/10).

Dia juga menjelaskan, pendekatan kehalalan produk bukan hanya dikaji dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Tetapi, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.

"Saya tidak tahu siapa yang mengusulkan self declare ini tapi kayaknya yang bersangkutan tidak mengerti  lapangan, dan tidak mengerti bagaimana proses sertifikasi halal," ujarnya.

"Padahal menurut saya, prosedur sertifikasi halal sebelumnya, bahkan sebelum ada BPJPH, sudah bagus dan produsen sudah nyaman dengan regulasinya. Tapi sekarang, di saat UU JPH belum sempurna, BPJPH juga belum settle, ditambah dengan kehadiran UU Ciptaker ini. Jadi semakin ruwet!" tambahnya.

Kehadiran UU Ciptaker dirasa tidak begitu diperlukan, terlebih dalam regulasi produk halal, mengingat masih adanya UU Jaminan Produk Halal, yang hingga saat ini saja masih perlu dikoreksi, kata Aisha. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan UU Ciptaker yang belum 'matang' ini juga sangat beresiko, sambungnya.

"UU Ciptaker ini sebenarnya tidak harus ada, karena UU Jaminan Produk Halal saja masih banyak yang perlu dikoreksi dan belum 100 persen berjalan, lalu BPJPH juga baru satu tahun disahkan, dimana pengelolaan teknis pendaftaran yang basic saja belum sempurna, ini malah ditambah dengan UU lain. apa tidak pusing!?" tegasnya.

"Jadi bukannya meningkatnya kualitas sertifikasi halal itu sendiri, tapi justru memberikan celah terjadinya hal yang tidak diharapkan selama proses sertifikasi halal, dengan alibi percepatan prosedur. Yang dikhawatirkan, orang-orang akan menjadi antipati dan merendahkan fungsi sertifikat halal," ujar Aisha.(REPUBLIKA.CO.ID)

Padahal bagi seorang muslim  halal Bukan Sekadar Label  atau bukan sekedar pilihan tetapi sebuah keharusan. Berbeda dengan Sistem kapitalisme sekuler saat ini memang hanya fokus pada industri dan keuntungan materi. Pemerintah kapitalistik memberikan label atau sertifikat halal bukan didorong oleh keimanan kepada Allah SWT namun karena faktor ekonomis dan materialistik, salah satunya untuk mengejar target pengembangan kawasan industri halal (KIH).

Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia. Bersamaan dengan persiapan KIH tersebut, Pemerintah saat ini tengah melakukan penguatan terhadap industri-industri kecil atau usaha mikro dan kecil (UMK) yang bergerak dalam pembuatan produk-produk halal.

Wapres menyebut ada delapan kawasan industri halal (KIH) yang sedang dalam pembangunan di berbagai daerah. Layanan sertifikasi halal akan dilakukan secara satu atap atau one stop service (liputan6.com, 15/10/2020). Inilah yang mendorong pemerintah mempercepat pengurusan sertifikasi halal agar semakin banyak pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) dan industri kecil segera mengantongi sertifikat halal bagi produknya.

Keterlibatan Negara dalam Sistem Jaminan Halal

Makanan menjadi bagian penting dalam Islam sebab makanan akan memengaruhi fisik dan perilaku manusia. Islam mengatur Muslim untuk memakan makanan halal dan menghindari makanan haram dan meragukan.

Aturan dasar mengenai makanan dalam Islam semakin jelas dalam risalah yang dibawa Rasulullah SAW. Aturan ini berlaku tak hanya sebagai bagian ajaran agama, tapi juga sistem negara, terutama setelah Islam memiliki entitas negara kota di Madinah.

Lesley Stone dalam A Contextual Introduction to Islamic Food Res trictions menulis, catatan hadis menun jukkan Muhammad SAW menyembelih hewan dengan terlebih dulu menyebut nama Allah SWT. Ini merupakan bentuk dari upaya memberikan jaminan halal terhadap daging yang akan dikonsumsi.

Tak hanya soal makanan. Sejarah Islam mencatat bahwa aturan-aturan tegas dan diberlakukan untuk melindungi Muslim dari minuman yang haram dan tidak tayyib. Contoh kasusnya adalah larangan meminum khamar atau minuman beralkohol. Khamar sudah dikenal masyarakat Arab sejak sebelum Islam datang.

Begitu juga dalam sistem Islam, kehalalan produk yang beredar di pasar sangat dijaga. Semua warga negara Islam mengkonsumsi makanan halal ataupun memproduksi makanan yang halal bukan didasari karena asas keuntungan yang diperoleh dari jaminan halalnya, tetapi karena mengonsumsi makanan yang halal adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
Surat Al-Ma'idah Ayat 88

ÙˆَÙƒُÙ„ُوا Ù…ِÙ…َّا رَزَÙ‚َÙƒُÙ…ُ اللَّÙ‡ُ Ø­َÙ„َالًا Ø·َÙŠِّبًا ۚ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ الَّØ°ِÙŠ Ø£َÙ†ْتُÙ…ْ بِÙ‡ِ Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ُونَ

“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Ma’idah: 88) 
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post