Negara Islami atau Negara Islam?


Oleh : Khaulah 
Aktivis BMI Kota Kupang

Bagaikan lumbung ketidakjelasan, begitulah potret Indonesia hari ini. Kebijakan penanganan pandemi yang masih amburadul. Ditambah keambiguan bahkan ketakjelasan wacana yang dilayangkan.

Begitulah yang baru-baru ini terjadi. Adalah pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. “Mari membangun Indonesia sebagai negara islami. Bukan negara Islam, agar semua umat Islam di Indonesia dapat berkontribusi, masuk dari berbagai pintu. Jangan eksklusif.” Begitu katanya yang dilansir dalam laman Nasional.sindonews.com, Minggu 27 September 2020.

Mahfud MD pun menegaskan kepada pemuda, khususnya Muhammadiyah agar berdakwah jalan tengah. Tidak boleh menjadi Islam yang ekstrim. Beliau lebih lanjut mengajak membangun Indonesia menjadi negara islami. Yaitu lekat akan akhlak seperti jujur, toleran, dan lainnya.

Wacana terkait negara Islam sudah pernah dibumikan sebelum-sebelumnya. Dan hari ini, mereka lantas berikhtiar memudarkan pandangan umat perihal ajaran Islam dengan seruan semisal. Yaitu,  antara negara Islam dan negara islami.  

Pada substansinya, tujuan mereka tetaplah sama. Adalah untuk mengaburkan bahkan mengikis ajaran Islam dari pribadi umat. Juga menghendaki lahirnya keambiguan pada diri umat. Bahkan, menjauhkan umat dari ajaran Islam yang nyatanya harus melekat kuat. 

Gamblang terlihat dari wacana tersebut, adalah menghendaki diterapkannya aturan Islam tetapi lugas menolak negara Islam. Bisakah aturan Islam diterapkan secara sempurna tatkala tanpa naungan negara Islam? Jawabannya tampak pada potret hari ini. 

Bisa dilihat, mulai dari pendidikan yang menggunakan kurikulum sekuler kapitalis. Generasi dididik menjadi generasi buruh yang mengenyangkan kapitalis. Lalu, pada bidang kesehatan, tampak bahwa untuk mendapatkan pelayanan mesti merogoh kocek lebih dalam.  Lebih lanjut pada aspek sosial. Ialah karena tak diterapkan aturan Islam, seks bebas merajalela yang mengakibatkan mengguritanya aborsi. Dan tampak pada aspek lainnya.

Ya, tatkala tak ada negara Islam, maka penerapan aturan yang mendominasi ialah aturan selain Islam. Mana mungkin dengan aturan selain Islam, nilai-nilai Islam yang ditekankan Pak Mahfud bisa terealisasi? Sebut saja perihal jujur. Bukankah negara jualah yang menguatkan menguatkannya? Lalu jikalau negaranya menerapkan aturan sekuler, mana bisa?

Suatu negara islami tentu karena adanya penerapan syariat Islam di dalamnya. Penerapan secara sempurna, tak memilah dan memilih. Tak hanya penerapan pada aspek akhlak. 

Wacana Pak Menko Polhukam juga mengindikasikan dan menegaskan akan kehidupan sekuler hari ini. Ajaran Islam diambil dan diterapkan hanya pada aspek-aspek tertentu. Aturan yang menguntungkan versi mereka, bakal diterapkan. Kalau sebaliknya, tidak akan mungkin. Intinya ajaran Islam dimarginalkan secara sistemik. 

Dari wacana tersebut juga ditarik benang merah akan penolakan terhadap warisan Rasulullah saw. Adalah negara Islam termaktub di dalamnya. padahal sejatinya, Rasulullah saw. telah bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk... .”  (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Dari sini terlihat perintah Rasulullah saw untuk kita, yaitu senantiasa mengikuti jalannya dan jalan Khulafaur Rasyidin. Adalah mencakup sistem pemerintahan yang tak lain sistem Khilafah. Hanya dengan Khilafah-lah setiap ajaran Islam diimplementasikan sempurna tanpa memilah-milah. Yaitu dalam pendidikan, sosial ekonomi, kesehatan, pemerintahan, muamalah maupun perkara sanksi. 

Dengan khilafah kehidupan islami akan terwujud, karena diterapkannya syariat Islam secara totalitas. Jika menyelisik hari ini maka tak bisa dikatakan negara islami. Aturan diterapkan setengah-setengah, melibas batas-batas akidah dan syariat Islam.

Oleh karena itu, tak boleh terbawa arus retorika ambiguitas. Yang pelu dikuatkan ialah menolak lupa akan negara warisan Rasulullah saw. Semoga menjadi pemantik mewujudkan dan melanjutkan kembali kehidupan Islam di bawah naungan negara Islam.

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post