Menilik Perbandingan Omnibus Law dengan Sistem Perundang-undangan Islam


Oleh: Gemi Yaumaghda

Unjuk rasa terhadap penolakan omnibus law Undang- undang Cipta kerja yang diikuti ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat terutama mahasiswa dan buruh pada sejumlah daerah di Indonesia berakhir ricuh dan mengakibatkan banyak kerusakan fasilitas umum (8/10).

Penyebutan istilah omnibus law  pertama kali diucapkan oleh Presiden RI Joko Widodo pada pelantikannya  untuk periode 2019-2024 tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Menurutnya,  omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang serta akan memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global (27/12). 

Pemangkasan regulasi di sektor ekonomi dan investasi dinilai akan menghilangkan tumpang-tindihnya aturan, memudahkan akses layanan publik, dan memiliki kepastian hukum. Sebab,menurut catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada masa pemerintahan Jokowi hingga November 2019, telah terbit 10.180 regulasi. Sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi (12/12/19).

Namun penyederhanaan regulasi dalam konsep omnibus law, justru akan menambah beban regulasi yang lebih kompleks jika penerapannya gagal. Karena pembahasan undang-undang omnibus law dikhawatirkan tidak komprehensif. Bahkan banyak negara disebut kapok memakai omnibus law. 

Jika dibandingkan dengan sistem perundang-undangan Islam, Islam mampu menjawab tantangan zaman untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Rancangan Undang-undang dalam Islam dibuat bersumber dari aqidah Islam, diambil dari hukum-hukum syara', dan dibangun di atas kekuatan dalil. Pengambilannya berpedoman pada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma shahabat dan qiyas. Di dalamnya harus tidak ada satu pun yang tidak Islami dan tidak dikhususkan pada satu benua atau satu negara tertentu, tapi meliputi seluruh dunia Islam. Sistem perundang-undangan ini diterapkan oleh sebuah negara yang disebut Khilafah Islamiah. Khilafah inilah yang akan menjalankan perundang-undangan tersebut.

Khalifah sebagai pemimpin di dalamnya, membangun hukum-hukum syara' tertentu yang diberlakukan sebagai Undang-undang Dasar (UUD) dan Undang-undang (UU). Jika Khalifah melegalisasi hukum-hukum syara', maka hukum itu menjadi satu-satunya hukum syara' yang harus dilaksanakan. Seketika itu juga hukum tersebut menjadi UUD yang mengikat dan menuntut ketaatan tiap individu rakyat terhadapnya secara batin dan zahir. Hal ini berbeda dengan demokrasi yang membuat aturan berdasar akal manusia semata. Sehingga, aturan dibuat karena dibaliknya ada kepentingan manusia. Jadilah aturan-aturannya banyak yang tumpang tindih. 

 Maka dalam hal ini sistem perundang-undangan Islam memiliki nilai tambah dibandingkan dengan konsep omnibus law. Karena sistem perundang-undangan Islam berasal dari Allah SWT sebagai pencipta manusia dan sudah memiliki kesempurnaan dalam aturan. Manusia tidak perlu repot memikirkan lagi bagaimana mengatur berbagai persoalan. Tinggal menggali hukum berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut sesuai kebutuhan. Sederhana namun solutif. Terbukti, institusi Khilafah bisa menjadi sebuah negara yang sangat kuat dan mampu menyejahterakan rakyatnya dalam waktu berabad-abad.

Post a Comment

Previous Post Next Post