Ilusi Tak Bertepi Penguasa Bijaksana, Nyatanya Boneka


Goresan Pena : Sahara 
(Aktivis Dakwah Lubuk Pakam )

Di negeri +62 yang menganut dasar demokrasi sebagai sistem negara, dengan semboyan "dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat" nyatanya hanya seperti guyonan belaka saja.

Pasalnya kedaulatan yang diberikan pada rakyat, tak lebih dari omong kosong yang dibesar-besarkan. Sebab seringkali keputusan yang diambil oleh penguasa, bertolak belakang dengan harapan dan keinginan rakyat. Lantas suara rakyat yang bagaimana yang akan didengar penguasa? yang dimaksud  "rakyat" dalam hal ini ialah mereka para kapital, sang pemilik modal. Jelas sudah suara rakyat yang tak memiliki kekuatan dan kekuasaan, hanya terdengar seperti suara sumbang.

Membuat ketetapan hukum untuk melindungi eksistensi jabatan mereka, sekaligus memperbanyak pundi pundi harta kekayaan, padahal uang yang mereka dapatkan berasal dari keringat rakyat yang diperas sekaligus dipaksa mengikuti berbagai aturan yang telah legalisasi.

Sudah tidak ada lagi tabir penutup untuk menutupi kebobrokan negara, antara yang benar dan yang salah sudah transparan di depan mata. Keputusan DPR mengenai disahkanny UU cipta kerja (omnibus Law) sangat melukai perasaan rakyat, DPR pantas mendapatkan mosi tidak percaya dari rakyat, sebab mereka yang menyetujui dan yang menetapkan UU cipta kerja ini, sudah hilang urat malu, hingga sikap kebijakan yang diambil tak mencerminkan adanya hati nurani sedikit pun. Masa bodoh dengan jeritan pilu rakyat, padahal mereka makan gaji dari rakyat, memalukan ! Jangankan mendengar aspirasi rakyat, pendapat dari teman sejawatnya sendiri pun tidak didengar.

Fraksi Partai Demokrat DPR walk out saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sudah sewenang-wenang dalam memimpin forum tersebut.

"Jadi karena pimpinan sewenang-wenang tidak dikasih kesempatan kami untuk sampaikan pandangan, maka kami mengambil sikap walk out," ujar Benny di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Menurutnya, pengambilan keputusan tingkat II pada RUU Cipta Kerja harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Namun masih ada dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, mayoritas dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Ciptaker ini.

Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker.

Dalam pandangan mini fraksi, Partai Demokrat menyebut mekanisme pembahasan RUU Cipta Kerja yang ideal.

Demokrat menilai RUU Cipta Kerja dibahas terlalu cepat dan terburu-buru. “Sehingga pembahasan pasal-per pasal tidak mendalam,” kata juru bicara Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga disebut telah memicu pergeseran semangat Pancasila. “Terutama sila keadilan sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neoliberalistik,” ujar dia.

Demokrat menyatakan RUU Cipta Kerja memiliki cacat baik secara substansial maupun prosedural. Marwan mengungkapkan dalam pembahasannya RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat, pekerja, dan civil society.

“Berdasarkan argumentasi di atas maka Fraksi Partai Demokrat menolak RUU Cipta Kerja. Banyak hal perlu dibahas lagi secara komprehensif agar produk hukum RUU ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial,” ujar dia.

Pengesahan RUU Cipta Kerja dihadiri langsung perwakilan pemerintah, di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

RUU Cipta Kerja mulai dibahas DPR dan pemerintah pada April 2020. Sepanjang pembahasannya RUU Ciptaker mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil.

Elemen buruh, aktivis HAM dan lingkungan, serta gerakan prodemokrasi menolak pengesahan RUU Ciptaker karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan.

RUU Ciptaker juga dituding lebih memihak korporasi, namun DPR dan pemerintah terus melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker.

Pada Sabtu (3/10), DPR dan pemerintah akhirnya menyelesaikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tingkat I atau tingkat badan legislasi (baleg) DPR, untuk selanjutnya disahkan di rapat paripurna.Pada masa pandemi pembahasan RUU Ciptaker dikebut. DPR dan pemerintah bahkan menggelar rapat di hotel demi merampungkan pembahasan ini.

Keputusan tingkat I diambil dalam rapat terakhir panitia kerja RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR pada Sabtu malam. Perwakilan pemerintah yang hadir secara langsung dan daring antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkumham Yasonna Laoly, Menaker Ida 

Kemudian, Menteri Keuangan Sri MulyIPani, Menteri KLHK Siti Nurbaya Menteri  ESDM Arifin Tasrif serta Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.

“Apakah semuanya setuju untuk dibawa ke tingkat selanjutnya?” kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas.

“Setuju.” tutur para peserta rapat.

Miris bukan? Jelas dan terbukti para penguasa hanya memihak pada para korporasi. Suara terbanyak nyatanya juga tidak menghasilkan kesejahteraan bagi umat, yang ada malah semakin merugikan.

Beginilah bila kita terus menerus terkungkung dalam sistem demokrasi kapitalis, yang berlandaskan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Dimana kedaulatan berada di tangan manusia, dan tujuan pencapaian nya hanya manfaat, baik itu materil dan non materil. Kedaulatan seperti ini sewaktu waktu bisa berubah menjadi belati. Sebab manusia senantiasa tak pernah lepas dari kekhilafan. Bisa jadi hukum yang dibuat berdasarkan hawa nafsu belaka. Dan inilah yang terjadi pada negeri kita saat ini. Apalagi bila dikaitkan dengan omnibus law soal regulasi pajak, yaitu pengusaha akan mendapat banyak insentif pajak. Jelas menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat.

Sementara itu para buruh hidupnya makin tercekik dengan harga-harga yang semakin tak manusiawi akibat inflasi, bersaing dengan buruh asing di lapangan kerja yang makin sempit, pajak di semua lini, dan makin tak terjangkaunya kebutuhan rumah tangga, pendidikan berkualitas, dan kesehatan bagi seluruh keluarganya.

Sadarlah, ketidakadilan ini terjadi karena berlakunya sistem kapitalistik. Dan tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam.
Sangat disayangkan sekali banyak dari kita yang masih terlelap, masih nyenyak dari dongeng panjang. Mereka terdoktrin dengan framing media yang menyatakan bahwasanya UU ciptaker ini adalah hoax. Padahal jika memang kita manusia yang berakal dan mampu mengambil pelajaran. Akankah mereka yang berada di dalam gedung melakukan rapat ditengah malam sedang beradu akting? Apakah orang orang yang mempunyai prestasi dan kredibilitas yang tidak setuju dengan adanya UU cipta kerja ini adalah orang idiot yang gampang terpengaruh Hoax? Atau apakah penguasa hobi membuat hoax, mereka yang melakukan dan mereka menyatakan ini adalah hoax? Mari berpikir logis ! Statement opini hoax yang diberitakan ini adalah upaya untuk meredam kemarahan rakyat. Agar rakyat tetap percaya pada ulah keji mereka. Agar mereka bisa membersihkan nama mereka. Dan menunjuk korban sebagai pelaku. Seolah olah mereka lantas dibela setelah menetapkan UU yang tidak manusiawi.

Untuk itu penting bagi umat, khususnya muslim. Bahwa aqidah kita tidak hanya memancarkan peraturan untuk mengatur diri pribadi saja. Tidak hanya sebatas akhlak yang baik dan tata cara menunaikan ibadah saja. Islam memiliki aturan yang mendasar dan menyeluruh untuk setiap lini kehidupan manusia. Dari bangun tidur sampai bangun negara. Islam memiliki aturan yang kompleks dan terjamin efektivitas solusi dan resolusi yang terkandung didalamnya. Jangan sampai kita hanya seperti keledai pengangkut kitab. Sibuk memperbaiki diri pribadi, tapi tutup mata atas kedzaliman para penguasa. Ingatlah jika Rosulullah hanya sibuk mengamalkan amalan nafsiah nya, niscaya sampai detik ini kita masih dalam keadaan jahiliah.

Lantas apa yang akan dilakukan Islam untuk kesejahteraan umat?
Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu melalui mekanisme bekerja:

1) Membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan SDAE yang ditangani oleh negara, bukan diserahkan pada investor;

2) Khilafah juga memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pension. Ini mekanisme yang fair tanpa merugikan kedua belah pihak;

3) Negara menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha. Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan;

4) Negara dilarang menjadi tukang palak yang banyak memungut pajak dan retribusi di segala lini. Negara dalam Islam adalah daulah riayahbukan daulah jibayah.

Inilah sistem yang hari ini dibutuhkan kaum buruh, yang menghadirkan peran negara secara utuh untuk menjamin terpenuhinya hajat asasi rakyat. Bukan hanya hadir untuk meregulasi hubungan harmonis tanpa konflik antara buruh dan pengusaha.

Untuk itu umat harus segera kembali ke dalam sistem Islam, sebab umat hanya butuh solusi yang pasti bukan solusi yang penuh ilusi. Dan penerapan Islam hanya bisa dilakukan dalam sebuah institusi , daulah khilafah ala Minhajjin Nubuwwah. Wallahu a'lam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post