Oleh: Farah Sari, A. Md.
(Aktivitas Dakwah Islam,
Jambi)
Dalam
waktu yang singkat lembaga legislator negeri ini telah menyetujui pengesahan UU Cipta Lapangan
Kerja (Cilaka) pada tanggal 8 Oktober 2020. Sejak diserahkan ke DPR oleh
Pemerintah pada bulan Februari 2020. Ini berarti baru berjalan sekitar 8 bulan. Jika
dibandingkan AS dalam membentuk UU sejenis, pembahasan hingga pengesahan butuh
waktu 5 (lima) tahun. Sungguh pengesahan UU Cilaka ini terkesan terburu-buru. Kenapa? Semua ini
dilakukan demi kepentingan siapa?
Opini
yang dimunculkan pengusul UU tersebut ketengah-tengah masyarakat bahwa, UU ini
diharapkan mampu mereformasi perizinan agar lebih sederhana. Memberikan
kemudahan investasi dan memberikan dampak bagi penyerapan tenaga kerja serta
pertumbuhan ekonomi rakyat.
Sistem
Demokrasi Melahirkan Kebijakan yang Menyengsarakan Rakyat
Benarkah harapan ini akan terwujud melalui UU Cilaka? Melihat banyaknya pihak yang meragukan dan menolak pengesahan UU tersebut sejak awal. Bahkan pasca disahkan. Tak
tanggung-tanggung, penolakan terjadi dari berbagai kalangan. Mulai dari rakyat biasa hingga pejabat negara.Seperti
pernyataan yang datang dari anggota DPR
Fraksi Gerindra Fadli Zon meminta maaf karena tidak berdaya mencegah
pengesahan UU Cilaka. "Walau saya bukan anggota Baleg, saya pastikan
perjuangan Gerindra menampung dan mengakomodir aspirasi rakyat sudah
maksimal," kata Wakil Ketua Umum Gerindra. (detikNews,7/10/20)
Penolakan
rakyat bukan hal yang salah. Karena rakyat menghawatirkan keberlangsungan kehidupan (ekonominya) jika UU Cilaka ini
dijalankan. Dan ternyata para wakil rakyat dan partai politik tidak mampu berbuat apa-apa ketika lahir UU
yang tidak pro rakyat. Bukankah mereka dipilih rakyat? Lalu keberadaan mereka
untuk siapa?
Wakil
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan
penolakan undang-undang UU Cilaka dari sejumlah kalangan. Khususnya para kepala
daerah yang meneruskan aspirasi warganya. "Ketentuan Pasal 18 ayat (2)
menjamin adanya asas otonomi daerah dan Pasal 18 ayat (4) memberikan kewenangan
otonomi yang seluas-luasnya," ujarnya. (detiknews,10/10/20)
Menteri
Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD
menyebut ketidakpuasan atas UU Cilaka bisa ditempuh secara konstitusional.
"Ketidakpuasan atas UU Ciptakerja bisa ditempuh dengan cara yang sesuai
dengan konstitusi," kata Mahfud dalam konferensi pers virtualnya. (warta
ekonomi.co.id, 9/10/20)
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan mendukung uji materi atau judicial
review UU Cilaka ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Nahdlatul Ulama membersamai
pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional
dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua Umum PBNU
Said Aqil Siroj. (cnnIndonesia, 9/10/20)
Inilah
watak asli sistem demokrasi. Sistem yang buta melihat penderitaan rakyat dan
tuli mendengar aspirasi rakyat. Slogan demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat hanya omong kosong. Keputusan berdasar suara terbanyak juga omong
kosong. Terbukti saat mayoritas rakyat menginginkan RUU Cilaka tidak disahkan
menjadi UU Cilaka penguasa diam seribu bahasa. Kini UU Cilaka siap mencekik
leher rakyat.
Fakta
tak terbantahkan jika sistem demokrasi berpotensi menghasilkan aturan yang
memicu perbedaan. Karena menjadikan akal dan kepentingan sebagai landasan.
Disamping aturannya rusak dan menyengsarakan rakyat.
Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai wadah protes terhadap UU yang baru disahkan. Artinya,
sejak awal sudah diprediksi akan ada penolakan terhadap suatu UU. Jika sumber dan asas lahirnya UU itu sahih,
tidak perlu ada lembaga seperti itu.
Jika
dari awal sudah terlihat potensi perbedaan pandangan dalam melahirkan kebijakan
dan menghasilkan kerusakan, mengapa sistem ini masih dipertahankan? Tindakan
bijak adalah meninggalkannya dan beralih pada sistem lain. Sebuah sistem
kehidupan yang benar. Karena datang dari zat yang maha benar yaitu Allah SWT.
Pencipta dan pengatur manusia dan alam semesta beserta seluruh isinya. Karena
bersumber dari Allah maka nihil dari perbedaan pandangan yg berarti.
UU
Cilaka hanya satu dari sekian banyak UU yang lahir dari rahim demokrasi. Satu
dari sekian banyak UU yang menyakiti hati, menzalimi dan akan menyengsarakan
rakyat. Dikarenakan penerapannya bukan untuk kesejahteraan rakyat. Melainkan
kesejahteraan para pengusaha (pemodal). Dan penguasa sebagi pihak yang memiliki wewenang melakukan
pengesahan.
Demokrasi
juga sukses melahirkan sistem oligarki. Menurut KBBI, oligarki adalah
pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan
atau kelompok tertentu. Artinya kekuasaan negeri ini hanya dikendalikan oleh
beberapa orang yang punya kekuatan. Pengusaha dan penguasa. Mereka telah
bersekongkol dari rakyat. Demi mengamankan kepentingannya masing-masing.
Pengusaha
butuh jaminan kemudahan mengeruk kekayaan negeri lewat payung UU. Dan penguasa
harus balas budi atas mahalnya mahar dalam pesta demokrasi. Serta tergoda kompensasi materi yang ditawarkan pengusaha
jika berhasil mengesahkan UU pesanan.
Maka,
UU yang menzalimi rakyat sejenis UU Cilaka akan terus lahir dari rahim
demokrasi kapitalis. Sekalipun wajah pemimpin negeri berganti. Selama sistemnya
masih sama, tidak akan ada perubahan yang bermakna. Sudah cukup banyak UU yang
lahir dan diterapkan, tidak berpihak
pada kesejahteraan rakyat. Seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal
dll. Rakyat sulit merasakan kesejahteraan meski hidup di negeri yang kaya
sumber daya alam (SDA). Bahkan UU tersebut hadir untuk melegalkan perampokan
SDA.
Karenanya
kita membutuhkan arah perubahan yang benar (sahih). Rakyat tidak boleh tertipu
lagi, janji manis rezim dalam sistem
demokrasi. Rakyat butuh perubahan yang menghantarkan pada kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dan itu butuh perubahan rezim dan sistem.
Penguasa yang baik dan bertakwa sekalipun akan sulit tetap menjadi baik
dilingkungan yang tidak baik. Kebaikan itu adalah Islam. Penerapan syariat
islam secara total dalam bingkai sebuah negara.
Kesempurnaan
syariat Islam telah Allah SWT gambarkan dalam firmanNYA: “… Pada hari ini telah
Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (Al-Maidah: 3)
Selain
itu seorang pemimpin yang memutuskan kebijakan layaknya sebagai perisai bagi
rakyat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.
Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza
wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan
jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Sistem Islam
(Khilafah) Melahirkan Kebijakan yang Mensejahterakan Rakyat
Ada dua
kebijakan yang dilakukan Negara Khilafah untuk pengembangan ekonomi serta
peningkatan partisipasi kerja dan produksi.
Pertama:
mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh Baitul Mal
(Kas Keuangan Negara). Peran Negara Khilafah adalah membangun iklim usaha yang
kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif.
Beberapa
mekanisme inti yang akan dilakukan Negara Khilafah adalah: menata ulang
hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan dan
pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat, menjamin
pelaksanaan mekanisme pasar yang sesuai syariah, menghilangkan berbagai
distorsi yang menghambat (seperti penimbunan, kanzul-mal, riba, monopoli,
penipuan), menyediakan informasi ekonomi dan pasar, serta membuka akses
informasi untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi
asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara
tidak benar, mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana
dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan profesional, menghilangkan berbagai
pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap, menghilangkan sektor
non-riil sehingga produksi barang dan jasa di sektor riil akan meningkat.
Kedua:
mengeluarkan dana Baitul Mal (Kas Negara), dalam bentuk pemberian subsidi tunai
tanpa kompensasi bagi orang yang tidak mampu. Subsidi negara untuk kaum fuqara
dan masakin (orang-orang yang tidak mampu) bukan sekadar dibagi rata dan
diberikan dalam jumlah yang kecil-kecil, tetapi juga mereka dijamin oleh
pemerintah selama satu tahun agar tidak sampai kekurangan. Subsidi diberikan
dalam jumlah yang cukup besar untuk memulai bisnis, tidak hanya untuk
dikonsumsi saja. Dengan demikian fungsinya betul-betul untuk mengangkat
seseorang dari garis kemiskinan. Rasulullah saw. pernah memberi subsidi 400
dirham (sekitar Rp 28 juta). Saat itu harga baju yang paling mahal pada masa
itu sebesar 19 dirham (sekitar Rp 1,3 juta) dan baju biasa seharga 4 dirham
(sekitar Rp 280 ribu).
Keunggulan
kompetitif dari beberapa kebijakan Negara Khilafah yang berdampak pada luasnya
lapangan pekerjaan dan terciptanya iklim usaha yang produktif antara lain
kebijakan pembangunan infrastruktur secara mandiri, mekanisme rate yang khas
pada kharaj dan zakat, serta aktivitas penyebaran Islam yang juga menimbulkan
dampak ekonomis.
Allah SWT berfirman: "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 96)
Post a Comment