Tiga Elemen Penting Solusi Pandemi

Ummu Maryam
(Ibu Rumah Tangga)

Life is a problem. No problem, means life is ended.
Hidup adalah sebuah masalah. Tidak ada masalah, itu berarti hidup telah berakhir. Kira-kira seperti itulah arti peribahasa dalam bahasa Inggris tersebut. Memang dalam kehidupan ini manusia selalu diliputi oleh permasalahan, entah itu berdampak pada diri sendiri, masyarakat atau seluruh dunia seperti pandemi Covid-19 yang sekarang tengah kita alami. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut kita bisa belajar dari konsep Charles Darwin ’’Survival of the fittest’’ yang artinya kunci untuk bisa  survive bukanlah siapa yang paling kuat atau paling cerdas, tapi yang paling adaptif dengan lingkungan dan permasalahan yang dihadapi. 

Oleh karena itu, untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini kita dituntut untuk bisa beradaptasi dengan keadaan. Karena jika tidak, masalah yang timbul akan lebih besar lagi, terbukti dengan terjadinya pandemi Covid-19 ini dunia diterpa badai kemiskinan yang kian kencang, gelombang PHK yang tiada hentinya dan tersendatnya perekonomian di seluruh pelosok dunia. WHO (World Health Organization) lalu menyebut bentuk adaptasi itu dengan new normal atau di Indonesia disebut dengan istilah AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru).

Sayangnya AKB ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita lakukan. Pemberlakukan AKB yang tidak diiringi kesiapan protokol kesehatan yang benar justru akan menyebabkan lebih banyak nyawa dikorbankan. 

Disampaikan oleh Epidemiolog Universitas Padjajaran Bony Wiem Lestari bahwa sejak mulai relaksasi PSBB 26 Juni 2020 lalu, terjadi tren peningkatan zona resiko. Yang  di Minggu periode 20-26 Juli hanya ada 9 daerah di zona sedang, dan tidak ada yang masuk resiko tinggi. Minggu ini ada yang masuk resiko tinggi. (m.ayobandung.com/7 Agustus 2020)

Alhasil, Selasa 18 Agustus 2020 sudah ada 8685 kasus positif Covid-19 di Jawa Barat dengan 3718 orang masih diisolasi, 4728 orang sembuh dan 238 orang dinyatakan meninggal dunia. Angka ini  membawa Jawa Barat masuk kategori 10 daerah yang paling banyak di Indonesia. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Pemprov (Pemerintah Provinsi) Jawa Barat serta daerah yang lainnya.

Jika kita ibaratkan, virus Covid-19 ini seperti musuh yang tidak bisa terlihat oleh mata telanjang yang mudah saja menempel pada badan, baju dan barang yang kita bawa. Virus ini juga bisa dengan mudah masuk ke dalam tubuh kita lewat udara yang kita hirup atau lewat sentuhan tangan ke bagian wajah. Karenanya untuk mencegah penularan virus ini WHO menganjurkan untuk membiasakan cuci tangan pakai sabun, jaga jarak minimal satu meter, selalu pakai masker saat ke ruang publik, hindari tempat ramai, hindari ruang tertutup dengan ventilasi yang buruk dan jika perlu kita dianjurkan menggunakan face shield.

Karenanya kita sangat dilarang untuk pergi ke tempat ramai dimana banyak orang berkerumun. Namun, saat masa AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) kita sudah boleh beraktivitas sebagaimana biasa meski harus menjalankan protokol kesehatan.
Sayangnya dalam sistem kapitalis  protokol kesehatan nampaknya hanya menjadi tanggung jawab dari masing-masing individu saja. Karena pemerintah begitu kelimpungan untuk menyediakan fasilitas yang memadai untuk menjalankan protokol kesehatan ini. Contohnya untuk menjaga kebersihan tangan pemerintah membangun tempat cuci tangan di ruang publik, tapi air dan sabun di tempat tersebut sering kali habis dan lama untuk diisi kembali. Masyarakat yang sadar bisa menggunakan hand sanitizer yang dia bawa sendiri, sedangkan masyarakat yang kurang kesadaran akhirnya tidak menjalankan protokol kesehatan ini.

Masa AKB juga memungkinkan tempat wisata untuk dibuka kembali dengan catatan kita harus menjaga jarak aman. Namun kemacetan yang terjadi saat libur panjang hari kemerdekaan kemarin menunjukkan pada kita begitu  berjubelnya orang yang masuk tempat wisata.  Bahkan diperjalanan sebelum lokasi pun penuh sesak dengan orang yang hendak berlibur. Lalu, mana bisa menjaga jarak jika kaadaannya seperti itu?

Momen ini tak bisa dipungkiri semakin mengokohkan pihak-pihak tertentu yang egois dan ingin meraup materi dalam kondisi pandemi. Saat ini mereka berlomba mengklaim telah berhasil membuat obat atau vaksin Covid-19 padahal proses penelitian dan perizinannya belum selesai. Ini tentu akan sangat membahayakan, melihat prosesnya saja belum sempurna maka dikhawatirkan akan ada efek samping berbahaya yang ditimbulkan dari penggunanan vaksin atau obat ini karena efektifitasnya belum teruji dengan baik.
Inilah potret buram dalam sistem sekuler kapitalis, rakyat dibiarkan mengurus diri sendiri, masyarakat kacau dan negara abai dalam mengurusi urusan rakyat. Beda halnya dengan sistem Islam yang memiliki aturan yang didasari wahyu dari Allah Swt yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Dengan aturan ini akan tercipta tiga elemen penting dalam penanganan wabah.
Pertama, individu yang memilki kesadaran tinggi. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menaati syariat. Maka ketika syariat memerintahkan untuk stay at home saat ada wabah seorang muslim akan senantiasa sabar untuk tetap dirumah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu." (H.R Bukhari dan Muslim)

Kedua, masyarakat yang memiliki kepedulian pada sesama. Islam mengajarkan untuk saling menyayangi sesama muslim satu sama lain. Selain itu dalam Islam diwajibkan untuk melakukan amar ma'ruf nahyi munkar yang artinya seorang muslim tidak akan membiarkan saudaranya saat melakukan kesalahan. Maka saat ada seseorang melanggar protokol kesehatan seperti tidak memakai masker muslim lain tak segan untuk mengingatkan atau bahkan memberikan masker secara cuma-cuma.

Adapun warga yang ada di luar wilayah wabah mereka akan beraktivitas sebagaimana biasanya sehingga mereka mampu untuk membantu perekonomian warga lain yang sedang ada dalam ujian wabah.

Ketiga, negara yang sanggup menjalankan tugasnya untuk mengurusi urusan rakyat. Dalam Islam, negara memiliki pendapatan yang sangat besar yang dikelola oleh baitul mal. Adapun sumber penghasilan baitul mal ini berasal dari pemanfaatan SDA (Sumber Daya Alam) yang dimiliki negaranya, fa'i, kharaj, jizyah, sedekah, hibah, zakat sampai harta dlaribah. Semua penghasilan itu akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh warganya terutama selama pandemi. Kebutuhan yang dipenuhi bukan hanya sebatas makanan pokok, tapi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan juga akan menjadi tanggung jawab negara. Jadi rakyat akan tenang stay at home dan negara akan fokus untuk menangani penyebaran wabah.

Dengan adanya kerjasama dari tiga elemen penting ini persoalan pandemi tentu akan bisa tertangani dengan cepat tanpa mengakibatkan masalah baru. Inilah sistem terbaik yang mampu menjadi solusi untuk kita saat ini. Sistem Islam ini hanya bisa dijalankan dalam naungan khilafah 'alaa minhaajin nubuwwah. Oleh karenanya jika kita menginginkan solasi tuntas untuk seluruh problematika umat maka khilafah adalah solusinya. Sudah saatnya Islam memimpin peradaban kembali. Allaahu Akbar !
Wallaahu a'lam bish shawaab.
Previous Post Next Post