SEKOLAH TATAP MUKA: ANTARA HARAPAN DAN MINIMNYA PERSIAPAN

Oleh : Dwi Suryati Ningsih, S.H 
(Guru)

Sejak terdeteksinya kasus covid-19 bulan Maret lalu, hingga bulan Agustus ini penyebaran virusnya masih tinggi. Meski sudah diberlakukan new normal, namun tidak belum menjamin penyebaran covid-19 rendah. Akibatnya, dunia pendidikan masih dilakukan dengan jarak jauh atau daring. Hal itu tentu untuk dapat mencegah penularan virus corona. Namun, belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memberikan kabar gembira bagi dunia pendidikan. Ia mengumumkan bahwa seluruh SMK dan Perguruan Tinggi di seluruh zona sudah boleh lakukan pembelajaran secara tatap muka. 

Saat konferensi pers secara virtual, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan bahwa seluruh SMK dan Perguruan Tinggi di seluruh zona sudah boleh lakukan pembelajaran secara tatap muka. Namun, ia menegaskan bahwa protokol kesehatan harus tetap dilakukan secara ketat. “Untuk SMK maupun perguruan tinggi di semua tempat boleh melakukan praktik di sekolah, yaitu pembelajaran produktif di semua protokol. Yang harus menggunakan mesin, laboratorium ini bisa untuk melaksanakan praktik tersebut,” kata Nadiem. Meski demikian, untuk pembelajaran teori harus diminta tetap secara online dengan sistem rotasi, yaitu maksimal 18 peserta. Sementara untuk SD, SMP dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pelmbelajaran tatap muka juga dapat dilakukan. Namun dalam pelaksanaannya harus ada kesepakatan antara pihak sekolah dan orangtua. (Grid Hits, 07/08/2020)

Meski demikian, Arist Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bahwa keputusan dari Kemendikbud tersebut belum tepat waktunya, mengingat resiko untuk tertular masih ada, terlebih untuk zona kuning. Ia mempertanyakan sikap pemerintah yang terkesan memaksakan dan lebih memilih untuk mempertaruhkan resiko. Menurutnya, seharusnya peran pemerintah di bidang pendidikan saat ini adalah memikirkan bagaimana cara untuk memudahkan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran online yang tentunya memiliki resiko tertular lebih rendah. Tak hanya itu, dalam tayangan Mata Najwa, di kanal YouTube Najwa Shihab, Mendikbud, Nadiem Makarim juga menyebutkan akan meluncurkan kurikulum baru di tengah pandemi Covid-19 ini. “Satunya lagi yang akan dikeluarkan, bayangkan kita ditantang untuk melakukan revisi kurikulum yang biasanya minimal mau mengubah kurikulum 3 tahun,” katanya. “Kita dipaksa melakukannya dalam waktu 3-4 bulan,” lanjutnya. Ia juga menyebutkan bahwa kurikulum baru tersebut pembelajarannya akan lebih banyak kembali ke kompetensi dasar dan memudahkan guru. (Tribun Wow.com, 08/08/2020)

Harapan untuk segera melaksanakan sekolah tatap muka di tengah pandemi ini merupakan rencana yang terlalu memaksakan dan tidak terarah. Hal itu juga karena tidak adanya persiapan pemerintah dalam pelaksanaannya. Semua fakta kebijakan di atas menunjukkan lemahnya pemerintah sekuler dalam mengatasi masalah pendidikan akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi. Selain itu, tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publik yang wajib dijamin oleh negara.  Pemerintah dinilai gagal fokus dalam mengatasi masalah ini karena permasalahan sinyal yang tidak merata, tidak dimiliki di daerah-daerah pelosok, namun sibuk dengan pengeluaran kurikulum baru. Maka, meski dengan kurikulum baru sekali pun, jika sinyal tidak merata sampai pada pelosok, tentu akan sulit diterapkan. Maka, dalam rangka negara mencerdaskan bangsa yang tercantum dalam teks pembukaan layaknya jauh panggang dari api. 
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam, dimana kebutuhan publik dalam hal pendidikan adalah hal yang harus dipenuhi. Pada masa awal kejayaan Islam, dapat kita ketahui bahwa Islam sangat menghargai ilmu. Negara benar-benar memperhatikan berbagai sarana pendidikan. Beasiswa selalu diberikan kepada seluruh warganya.  
Pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap individu. Khalifah sebagai pemimpin negara berkewajiban untuk melayani umat. Termasuk dalam hal ini bertanggungjawab terhadap warganya agar setiap warga mampu melakukan kewajiban itu. Maka, biaya pendidikan merupakan tanggungjawab negara dengan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara. Selain itu, negara juga bertanggungjawab menyediakan sarana dan prasarana bagi rakyatnya. Dengan begitu, meski seorang warga negara miskin, atau mungkin tinggal di pelosok, dia akan tetap mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang sama seperti warga negara yang kaya. Sehingga, permasalahan sinyal adalah hal yang sudah seharusnya penuhi oleh seorang khalifah demi mencerdaskan umat. Hal itu karena khalifah memahami bahwa pendidikan rakyat adalah tanggungjawab negara. Sehingga, apa yang dilakukan khalifah adalah semata-mata khalifah sadar akan pertanggungjawabannya kelak di hadapan sang Pencipta. 
Previous Post Next Post