Potret Pendidikan dalam Dua Naungan

Oleh : Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

Begitu mengejutkan. Saat was-was terhadap virus Corona masih menghantui, sekolah tatap muka justru diumumkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Yaitu untuk sekolah yang berada di zona kuning dan zona hijau.

Keputusan Kemendikbud ini menuai pro dan kontra. Pihak yang pro tentu lebih banyak berasal dari barisan orangtua (walau ada juga orangtua yang berdiri di pihak kontra), dimana mereka kelimpungan dalam hal waktu dan uang. Mereka dituntut harus mengurus anak-anaknya, yaitu mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk. Pada saat yang sama mereka juga harus membanting tulang memenuhi kebutuhan keluarga. Terkait persoalan keuangan, hampir dirasakan oleh setiap orangtua. Bagaimana tidak, kuota internet justru yang paling menunjang agar anak dapat mengikuti pembelajaran daring.

Pihak yang kontra datang dari Komnas Perlindungan Anak  Indonesia (KPAI). Arist Merdeka Sirait selaku ketua KPAI menuturkan, bahwa keputusan Kemendikbud belum tepat. Hal ini dikarenakan risiko penularan di zona kuning masih ada. (wow.tribunnews.com, Sabtu 8 Agustus 2020)

Terlihat jelas bahwa sekolah tatap muka menjadi pijakan atas banyaknya tuntutan menghilangkan aneka kendala belajar dalam jaringan (daring). Tetapi sangat disayangkan, karena pemerintah justru memberi respon yang sporadis akan desakan publik. Maka, pantas saja muncul berbagai penolakan akan keputusan Kemendikbud.

Respon tak terarah dari pemerintah tampak pada berbagai solusi yang disajikan. Pertama, pemerintah mengizinkan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk keperluan kuota internet. Tetapi persoalan tidak adanya jaringan justru dilupakan.

Kedua, pemerintah mengizinkan semua SMK dan Perguruan Tinggi (PT) di semua zona untuk belajar tatap muka pada ranah praktik seperti menggunakan mesin dan laboratorium. Sayangnya tidak diimbangi dengan persiapan yang memadai. Sedangkan untuk mata pelajaran teori masih dilakukan daring. 

Ketiga, pemerintah tak konsisten dalam menetapkan kebijakan. Hal ini tampak ketika pemerintah memutuskan sekolah tatap muka, tetapi kembali menegaskan bahwa harus ada kesepakatan dari pihak sekolah dan orangtua murid. Lugas mendeskripsikan pemerintah yang tak bisa mengatur rakyatnya.

Begitulah gambaran pemerintah sekuler dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Cenderung setengah-setengah, tak terarah, pun sporadis. Sangat miris menyaksikan potret pendidikan di sistem yang cacatnya dibawa sedari lahir ini.

Mengapa demikian? Tentunya karena di sistem sekuler hari ini, pendidikan tak dipandang sebagai kebutuhan rakyat yang wajib disediakan/dipenuhi oleh penguasa. Tetapi lebih menitikberatkan pendidikan pada aspek ekonomi. Pemerintah lebih melihat untung ketimbang ikhtiarnya dalam mengurusi rakyat.

Lantas di mana kita menjumpai penguasa yang bisa mengurus aneka kebutuhan rakyatnya? Tiada lain tiada bukan, yaitu dalam sistem Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai pijakan. Perihal pendidikan, dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan pokok rakyat, sehingga wajib diusahakan pemenuhannya oleh penguasa. Apalagi penguasa dalam Islam ialah orang yang mengurus kebutuhan rakyatnya. Seperti yang terujar dari lisan yang mulia, Rasulullah saw. yaitu,  “Seorang Imam/Khalifah/pemimpin adalah pengurus urusan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Karena penguasa merupakan pengurus segala kebutuhan rakyatnya, maka aspek ekonomi pun ada dalam ranahnya. Tidak melimpahkan pada masing-masing individu. Sehingga kericuhan terkait biaya pulsa dan semisalnya dapat teratasi dalam sistem Islam. Apalagi perekonomian dalam sistem Islam jika dilihat potretnya sangat maju bahkan sampai berabad-abad lamanya.

Sistem Islam mengeliminasi kesangsian dari pihak-pihak tertentu kepada pemerintah atas kebijakannya yang lazim ditemui di sistem sekuler hari ini.

Mengapa? Karena sistem Islam berstandar pada syariat Islam yang mampu memecahkan masalah hingga tuntas. Apalagi penguasa dalam sistem Islam diletakkan sebagai pelayan rakyat yang pastinya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan rakyat.

Perlu ditegaskan bahwa semua fasilitas pendidikan dalam sistem Islam disediakan oleh negara, tentunya termasuk sumber-sumbernya. Rakyat tak akan dibebankan sepeser pun. Terkait penyelenggaraan pendidikan, guru serta orang tua harus mendidik bersama-sama guna menghasilkan output seorang muslim berkepribadian Islam. Sehingga tak peduli masa pandemi ataupun masa normal. Pendidikan tetap bertujuan menguatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara totalitas.

Walhasil, kegalauan setiap pihak atas sporadisnya kebijakan pemerintah dalam sistem sekuler bisa teratasi. Tentunya dengan kembali pada pangkuan sistem Islam. Tidakkah kita menginginkannya?

Wallahu a’lam bishshawab.
Previous Post Next Post