Polemik POP: Bukti Gagalnya Demokrasi Menyelesaikan Masalah Pendidikan!

Oleh: Widya Astuti 
(Aktivis Dakwah Kampus)

Program Organisasi Penggerak (POP) merupakan program yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim pada Maret 2020. POP ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. 

Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. Ormas yang lolos seleksi akan diberi dana sesuai kategori yang telah ditetapkan. Kategori Gajah diberi dana hingga Rp20 miliar, kategori Macan dengan dana hingga Rp5 miliar, dan kategori Kijang dengan dana hingga Rp1 miliar.

Berharap program ini mendapatkan dukungan berbagai pihak dan organisasi masyarakat, ternyata menuai polemik. Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, dan  Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memutuskan mundur dari program ini. Menurut mereka, terdapat ketidakjelasan (tidak transparan) seleksi organisasi peserta POP dan adanya sejumlah peserta yang diragukan kemampuannya dalam dunia pendidikan karena tidak ketahuan rekam jejaknya. Selain itu, waktu pelaksanaan program juga sangat singkat, padahal dana yang dianggarkan begitu besar.

Proses seleksi yang cepat dan tidak transparan terhadap siapa saja yang berhak mendapatkan dana hibah, membuat banyak kalangan mempertanyakan ketidakjelasan proses dan urgensi program tersebut. Wajar akhirnya organisasi besar di bidang pendidikan yaitu PGRI, Muhammadiyah, dan NU, menyatakan mundur dari program tersebut. Padahal ketiga organisasi ini yang dinilai telah bekerja keras dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka. Mundurnya mereka dalam program ini adalah pukulan keras bagi Kemendikbud.

Belum lagi kontroversi masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation jadi mitra POP Kemendikbud. Keduanya mendapatkan kategori Gajah sebesar Rp20 miliar dari POP ini. Loh, Kok bisa?

Sebagaimana diketahui, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation merupakan yayasan dari perusahaan raksasa. DPR bahkan mempertanyakan maksud pemerintah mengikutsertakan kedua yayasan dari perusahaan raksasa tersebut dalam menerima anggaran negara. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai, dua lembaga itu terafiliasi dengan korporasi yang dinilai tidak butuh hibah APBN. 

Belakangan, Kemendikbud di laman resminya kemdikbud.go.id (28/7/2020), mengklarifikasi mengenai anggaran tersebut. Di situ tertulis Putera Sampoerna Foundation bersama Tanoto Foundation dipastikan menggunakan skema pembiayaan mandiri untuk mendukung POP. Benarkah? 

Meskipun demikian, banyak pihak tak percaya. Kedua lembaga CSR milik korporasi besar ini faktanya turut mengajukan proposal untuk mengikuti seleksi penjaringan mitra pemerintah dalam POP yang dananya sudah dialokasikan dari APBN. 

Keniscayaan Korporasi dalam Demokrasi
Masalah pendidikan seperti kurangnya kualitas tenaga pendidik, sarana dan prasarana belajar yang tidak mencukupi, rendahnya gaji guru, rendahnya prestasi, rusaknya moral generasi merupakan beberapa masalah yang dari dulu hingga sekarang belum juga usai. Padahal pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat urgent dan seharusnya segera diselesaikan apapun kendala atau masalahnya. 

Program Organisasi Penggerak yang di keluarkan oleh menteri pendidikan memang terlihat bagus dikarenakan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas guru. Namun, yang sangat disayangkan negara bukanlah menjadi penanggung jawab, tetapi diserahkan kepada organisasi masyarakat dan pihak swasta atau korporasi. Padahal pihak  yang pantas untuk menyelesaikan persoalan pendidikan adalah penguasa negara. Malahan sudah menjadi kewajibannya sebagai penguasa negara yang pada hakikatnya ia merupakan pelayan rakyat. 
Sungguh, negara tampak berlepas tangan dari tanggung jawab. Begitu jelas, didalam sistem demokrasi kapitalis negara hanya sebagai regulator bukan sebagai penanggung jawab dan penyelenggara langsung urusan kebutuhan publik. Pemerintah hanya berperan sebagi regulator (pembuat regulasi global) dan pemasok dana “seperlunya”. Selebihnya akan diserahkan kepada masyarakat dan swasta sebagai bentuk partisipasi pembangunan.

Adanya pemihakan rezim penguasa pada korporasi memang bukan rahasia lagi. Bahkan hal ini lumrah terjadi sebagai karakter menonjol dalam negara yang menerapkan sistem Demokrasi sekuler kapitalis neoliberal.

Tak hanya dalam satu dua bidang, karakter ini bahkan lekat dalam seluruh bidang kehidupan. Termasuk sektor layanan publik seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Aroma kapitalisasi dan liberalisasi di sektor-sektor ini sangat menyengat dan tak mampu ditutup-tutupi lagi.

Program peningkatan kualitas guru yang dilakukan CSR sebuah perusahaan besar misalnya. Besar kemungkinan tujuan mengarah pada profit. Meski konsep CSR adalah sebagai kontribusi mereka di bidang sosial masyarakat, tetap saja tak akan terlepas dari target keuntungan perusahaan.

Maka, kualitas guru yang mereka inginkan tentu sosok guru yang sejalan dan “tidak akan mengganggu” kepentingan mereka. Selain itu, kemitraan ini berpotensi buruk terhadap arah pendidikan negara yang bisa disetir kepentingan korporasi.

Sudahlah rezim saat ini sedang dikendalikan korporasi, adanya POP ini menambah langgengnya “persahabatan” korporasi dan birokrasi. Sebab, sejatinya program ini sedang menyiapkan generasi yang memuluskan persahabatan tadi.

Itulah korporatokrasi, model negara dalam kapitalisme. Yaitu negara yang menyerahkan program-program pembangunannya pada korporasi, sudah tentu keuntungan menjadi orientasinya.

Nah seharusnya dana Rp.567 miliar yang disiapkan negara untuk kelangsungan POP, lebih baik digunakan untuk yang lain yang memang urgent seperti membantu para peserta didik dalam mendapatkan akses pendidikan bisa berupa pemberian kuota internet dan pemenuhan sarana prasarana yang menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar. Bukan untuk diperebutkan demi kepentingan kelompok atau golongan.

Solusi Islam
Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar yang dijamin negara dan merupakan hak setiap warga negara. Pendidikan bukan hanya berbicara soal proses belajar mengajar, namun juga seluruh hal yang mendukungnya. Termasuk sarana prasarana, kurikulum, akreditasi, kualitas guru, dan sebagainya.

Juga yang terpenting, bagaimana agar pendidikan bisa diakses seluruh masyarakat dengan mudah. Karena sesungguhnya, negara adalah pemelihara dan pengatur umatnya, termasuk masalah pendidikan.

Islam menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak publik yang wajib dipenuhi negara tanpa kompensasi apa pun. Urusan pendanaan, sarana prasarana, dan semua instrumen pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan. Tentu dengan kualitas memadai yang mampu mengantarkan pendidikan pada tujuannya yang mulia.
Keterlibatan masyarakat atau swasta dalam penyelenggaraan pendidikan tidaklah menjadi sesuatu yang utama. Bahkan negara wajib meminimalisir ketergantungan pada mereka.

Negara berkewajiban penuh memastikan arah dan tujuan pendidikan berjalan sesuai yang seharusnya. Tak boleh sedikit pun memberi celah intervensi, pembelokan arah, apalagi membiarkan upaya kooptasi yang menjauhkan pendidikan dari tujuan hakiki.

Hal ini dimungkinkan karena negara Islam atau Khilafah tegak di atas paradigma sahih dan aturan-aturan hidupnya yang dipastikan membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Yakni akidah dan hukum-hukum Islam.

Dalam Khilafah, kepala negara yang disebut Khalifah bertanggung jawab menyediakan guru kompeten sesuai kebutuhan rakyat. Mekanismenya paralel dengan pelaksanaaan syariat Islam di semua bidang kehidupan.

“Hal tersebut bukan sesuatu yang sulit bagi Khalifah. Hal ini tentu tidak didapatkan dalam sistem kapitalis saat ini. Inilah mengapa solusi parsial tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Solusi sahih haruslah melibatkan sistem sahih, yakni Khilafah. Dukungan terhadap penyediaan guru kompeten dalam Khilafah tercermin dalam sistem pendidikan Islam yang dijalankan negara.

Dengan landasan penyelenggaraan pendidikan berdasar akidah Islam, maka berbagai problem terkait guru akan mudah dituntaskan. 
Wallahu'alam bissawab.
Previous Post Next Post